Banyak data penelitian yang membuktikan bumi menghangat. Sejarah singkat kepercayaan masyarakat terhadap perubahan iklim diikuti oleh usaha mengaburkan juga. Industri memiliki cukup alasan dan uang untuk melakukan hal ini.
Desember 2019, Majalah Time menjadikan Greta Thunberg sebagai 2019 Time’s Person of the Year karena ia berhasil menyuarakan isu perubahan iklim. Melalui berbagai kampanye, ia menjadi panutan bagi jutaan orang yang menyuarakan perubahan iklim. Belakangan juga, nama Naomi Seibt muncul dalam portal berita internasional dengan sebutan Anti-Greta Activist karena ia menyebut suara terhadap krisis iklim terlalu berlebihan.
Seibt hadir dalam Conservative Political Action Conference (CPAC) yang juga dihadiri oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. The guardian menyebut aktivitas Seibt disponsori oleh Heartland Institute, institusi yang menyalurkan dana dari Amerika Serikat untuk aktivis climate-denial atau pembantah perubahan iklim di negara lain. Hangatnya perbincangan perubahan iklim diiringi oleh usaha-usaha untuk menyerukan hal sebaliknya, seperti yang dilakukan Seibt.
Perubahan iklim didukung oleh data dari banyak ilmuwan sebagai fenomena yang sedang dihadapi bumi saat ini. Pada 2016, NASA menyebut perubahan temperatur global dan kenaikan suhu di Antartika merupakan masalah yang didorong oleh naiknya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK), terutama karbon dioksida. GRK menahan energi panas matahari di dalam atmosfer bumi, menyebabkan panas tersebut terperangkap dan memanaskan bumi seperti pada rumah kaca.
Sejumlah data menyatakan bahwa kondisi iklim di bumi mengalami perubahan yang cukup signifikan. Laporan IPCC tahun 2014 menunjukkan bahwa rata-rata ketinggian air laut meningkat sebanyak 1.26-1.52mm/tahun pada 1993-2010 dibandingkan pada 1901-1993. Data lain menyatakan pada 2020 suhu rata-rata permukaan bumi naik sebanyak 10 C dari rata-rata suhu tahun 1951-1980.
Namun demikian, konsensus ilmuwan tidak bulat menyimpulkan penyebab dari perubahan iklim. Sebuah esai yang ditulis John Cook, pegiat perubahan iklim, pada tahun 2016 menunjukkan 97% ilmuwan iklim setuju bahwa manusia bertanggung jawab atas perubahan iklim. Sisanya adalah ilmuwan yang tidak mau menyebut manusia sebagai faktor tunggal penyebab perubahan iklim. Perbedaan pendalaman bidang keilmuwan menyebabkan hasil konsensus tidak bisa mencapai angka seratus persen. Hal ini berkaitan homogenitas bidang keilmuwan peserta konsesus. Semakin tinggi angka kesepakatan yang didapatkan menggambarkan kesamanan bidang keilmuan peserta konsensus. Namun, perubahan iklim bukanlah hal yang bisa dipahami dan dijelaskan dari satu bidang keilmuwan saja.
Di antara kelompok yang tidak mendukung perubahan iklim, terdapat beberapa sebutan yang sering muncul; climate-denial, climate skepticism, dan juga anti-climate change. Istilah climate-denial lebih tepat digunakan untuk menyebut kelompok yang berusaha membantah perubahan iklim (Wong-Parodi dan Feygina, 2020). Gerakan ini didukung oleh sebagian industri minyak internasional serta beberapa ilmuwan. Tujuan utama dari gerakan ini adalah menolak adanya kebijakan yang membatasi produksi, guna mengurangi GRK. Walaupun tujuan mereka sama, argumen yang mereka ajukan berbeda-beda, seperti tidak ada pemanasan global atau pemanasan global bukan disebabkan oleh manusia.
Sejarah Gerakan Perubahan Iklim
Mengutip dari Weart (2011), kekhawatiran mengenai perubahan iklim dimulai sejak 1930-an. Saat itu, terjadi kekeringan yang melanda AS dengan penyebab yang tidak diketahui. Namun, Guy Callendar, seorang insinyur Inggris, berhasil menunjukkan kenaikan temperatur global sebanyak sepuluh persen dari hasil kompilasi data yang dilakukannya. Ia menyebut hal ini mungkin disebabkan oleh GRK dan bumi bisa menghangat secara permanen.
Tahun 1960, seorang ilmuwan muda, Charles David Keeling menunjukan adanya kenaikan jumlah karbon dioksida tahunan akibat pembakaran bahan bakar fosil. Pada dekade ini pula orang-orang mulai menyadari bahwa populasi manusia dan jumlah industri meningkat pesat. Dari peningkatan ini, diperkirakan bahwa tingkat GRK di atmosfer pada akhir tahun 1999 akan berdampak signifikan bagi kehidupan manusia.
Gerakan sosial perubahan iklim baru muncul dan mulai berkembang pesat di tahun 1980-an bersamaan dengan banyaknya temuan ilmiah perubahan iklim. Hal ini disebabkan oleh dampak perubahan iklim yang mulai dipahami mengancam kehidupan manusia secara langsung, seperti kekeringan dan kenaikan tinggi permukaan air laut.
Pada tahun 1988, PBB mendirikan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang berfungsi untuk menyediakan informasi saintifik mengenai perubahan iklim kepada pemerintah negara anggota. Pada tahun 1990, IPCC mengeluarkan laporan pertamanya yang menyatakan bahwa perubahan iklim sedang terjadi, namun penyebabnya belum dapat dipastikan.
Laporan yang dikeluarkan oleh IPCC mendorong diadakannya pertemuan aktivis lingkungan pada tahun 1990. Hasil dari pertemuan ini adalah desakan bagi pemerintah di seluruh dunia untuk mengeluarkan kebijakan guna mengurangi penyebab perubahan iklim. Akibat dari desakan ini, pertemuan antarpemimpin dunia diadakan pada tahun 1992 untuk membahas kebijakan mengenai perubahan iklim.
Pada tahun 1997, IPCC mengeluarkan laporan mengenai dampak perubahan iklim bagi tiap-tiap negara. Laporan ini dijadikan landasan dalam konferensi PBB yang diadakan pada tahun 1997 di Kyoto, Jepang. Hasil dari konferensi ini adalah dibentuknya Protokol Kyoto yang mewajibkan tiga puluh enam negara penandatangan protokol ini untuk menurunkan tingkat produksi GRK mereka.
Dari target pengurangan emisi karbon dioksida sebesar 4.7%, negara-negara tersebut berhasil menurunkan emisi sebanyak 12.5% pada akhir periode I (1990-2012). Namun, pengurangan tersebut bukan hasil murni dari upaya yang dilakukan oleh negara-negara anggota protokol. Peristiwa runtuhnya Uni Soviet, Kanada, dan Ukraina pada 1990 menyebabkan penurunan jumlah total emisi karbon dioksida dari negara yang berpartisipasi dalam Protokol Tokyo. Tanpa keruntuhan tersebut, pengurangan emisi karbon dioksida hanya sebesar 2.7%.
Kepercayaan publik terhadap perubahan iklim mulai berkurang pada tahun 2009. Hal ini disebabkan oleh isu skandal climategate dan adanya kesalahan kecil dalam laporan IPCC pada tahun 2010. Kesalahan kecil tersebut adalah adanya klaim mengenai glasier Himalaya yang akan menghilang pada 2035 serta kesalahan pada angka salah satu persentase dalam laporan. Menurut prediksi yang banyak dipercayai, glasier Himalaya baru akan mencair pada 2135. Kesalahan kecil ini menyebabkan menurunnya kredibilitas IPCC yang berdampak pada menurunnya kepercayaan publik. Menurunnya kepercayaan publik ini dimanfaatkan oleh kelompok climate-denial.
Gerakan climate-denial mulai mempropagandakan sikapnya terhadap perubahan iklim sejak runtuhnya Uni Soviet di tahun 1990an. Keruntuhan negara komunis tersebut menyebabkan perhatian masyarakat bergeser dari isu komunisme ke isu lingkungan. Pembentukan IPCC oleh PBB pun seolah menambah intensitas gerakan ini. Perlahan, isu ini mulai diperhatikan oleh banyak pihak, terutama industri.
Peran Industri di Balik Gerakan Climate-Denial
Industri memengaruhi perubahan iklim melalui emisi GRK serta melancarkan gerakan climate-denial (Grasso, 2019). Richard Heede dari Climate Accountability Institute pada 2014 melakukan penelitian untuk melacak industri pengemisi karbon terbanyak di dunia. Ia memusatkan penelitian pada 90 industri minyak dan semen internasional yang menyumbang kurang lebih dua per tiga emisi karbon dioksida global dalam rentang 1751-2010. Setengah dari jumlah karbon dioksida dan metana diemisikan pada rentang 1986-2010 saja. Bahkan emisi sebesar 15.8% dihasilkan hanya oleh 10 perusahaan besar internasional, dengan Chevron (USA), Exxon, dan Saudi Aramco (Saudi Arabia) berada di tiga posisi teratas (Heede, 2014).
Bagaimanapun, bahan bakar fosil masih mendominasi sumber energi di negara maju seperti AS dan negara berkembang seperti India dan China. World Economic Forum pada 2017 menyebut bahan bakar fosil masih akan mendominasi energi hingga dua puluh tahun kedepan. Peralihan sumber energi fosil ke sumber energi terbarukan tidak mengubah tren penggunaan bahan bakar fosil, terutama di negara berkembang. Fokus mereka masih mengembangkan industri berbahan bakar fosil untuk meningkatkan ekonomi ketimbang mengalihkannya ke sumber energi terbarukan.
United States Environmental Protection Agency melaporkan bahwa bahan bakar fosil yang digunakan oleh industri menyumbang 22% total emisi GRK di AS. Emisi juga dihasilkan dalam proses pembangkitan energi listrik yang sebagian besar masih menggunakan bahan bakar fosil. Tidak sampai di sini, transportasi menjadi sektor penyumbang terbesar emisi GRK di AS sebanyak 28%. Proses distribusi barang-barang hasil industri menyumbang porsi GRK yang besar dalam kegiatan transportasi di samping penggunaan oleh manusia.
Di samping emisi GRK, industri besar juga turut campur dalam mempengaruhi opini publik terhadap perubahan iklim. Setelah GRK diketahui sebagai penyebab perubahan iklim, perusahaan minyak mulai bergabung dengan gerakan climate-denial untuk mengamankan bisnisnya. Dikutip dari The Guardian, Margaret Klein Salamon, psikolog klinis pendiri Climate Mobilization, mengatakan bahwa industri minyak mengeluarkan jutaan dolar untuk mematikan kontroversi perubahan iklim di AS. Upaya ini berhasil meningkatkan ketidakpercayaan warga AS terhadap perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. Kegentingan perubahan iklim tidak membuat negara sebesar AS untuk sepenuhnya berpartisipasi aktif dalam kegiatan mengatasi perubahan iklim. Sektor industri yang masih mendominasi adalah salah satu alasan tindakan yang diambil AS.
Setelah terpilih menjadi presiden AS, pada 1 Juni 2017, Donald J. Trump berpidato mengenai rencananya keluar dari Perjanjian Paris. Perjanjian Paris mengikat suatu negara untuk mengambil bagian dalam usaha menjaga suhu rata-rata permukaan bumi agar tidak naik lebih dari 1.5oC. Ia menyebut Perjanjian Paris merusak ekonomi, melumpuhkan pekerja, dan menempatkan negaranya dalam keuntungan tidak strategis terhadap negara lain. Dari 197 negara, sepuluh negara tidak menandatanganinya, termasuk Iran dan Turki. Iran sendiri memiliki industri minyak penyumbang emisi GRK tertinggi ketujuh di dunia, yaitu National Iranian Oil Company (Heede, 2014). Di AS terdapat perusahaan penyumbang emisi GRK tertinggi pertama dan kedua di dunia. Masing-masing perusahaan ini berkontribusi besar terhadap perekonomian AS dan Iran. Keluarnya mereka dari perjanjian ini melanggengkan industri dengan menghilangkan kewajibannya untuk mengurangi emisi.
Peran industri terlihat jelas dalam pembantahan perubahan iklim. Sejak GRK diketahui sebagai penyebab dari perubahan iklim, beberapa perusahaan minyak mulai bergabung dengan gerakan climate-denial. Salah satu kontribusi perusahaan minyak tersebut kepada gerakan climate–denial adalah dengan membiayai kelompok think-tank  konservatif yang secara langsung memotori gerakan climate-denial (Dunlap & McCricht, 2011). Exxon Oil, misalnya, merupakan sebuah perusahaan yang menurut Greenpeace telah memberikan 30 juta US Dollar kepada gerakan ini. Dengan membiayai gerakan climate-denial, perusahan minyak menjadikan gerakan ini seakan-akan besar dan tersebar luas. Gerakan climate-denial yang dibiayai oleh Exxon Oil antara lain adalah Tech Central Station, the Cato Institute dan Heritage Foundation  (Washington & Cook, 2011).
Selain memberikan bantuan dana, perusahaan minyak juga membentuk koalisi untuk melobi pemerintah, seperti adanya koalisi antara DuPont, Ford, General Motors, Shell, Texaco dan Exxon. Mereka melobi pemerintah AS untuk tidak meratifikasi protokol Kyoto dan mereka berhasil (Washington & Cook, 2011). AS resmi mundur dari protokol Kyoto pada tahun 2001 sebagaimana diumumkan oleh Christie Withman, Administrator of the United States Agency.
Argumen-argumen yang diangkat gerakan climate-denial menunjukkan keberpihakan mereka terhadap perusahaan dan industri. Salah satu yang disebut Michael Mann, Direktur Earth System Science Center, Pennsylvania State University, adalah usaha menggeser perhatian publik melalui berbagai informasi mengenai pentingnya perubahan gaya hidup personal sehingga solusi berbentuk regulasi terhadap industri menjadi tidak begitu diperhatikan. Salah satunya menekankan pentingnya menghindari makanan non-lokal yang tinggi emisi alih-alih membatasi emisi di industri tersebut secara langsung melalui peraturan yang mengikat.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh dua ilmuwan dari Tyndall Centre for Climate Change Research, UK, menyebutkan bahwa iklan dan promosi visual perubahan iklim lainnya tidak berhasil memotivasi masyarakat untuk mengambil aksi. Sebaliknya, terdapat kecenderungan untuk membiarkan perubahan iklim terjadi begitu saja. Sederhananya saat mereka disuguhi pernyataan bahwa kita harus bertindak atau kita semua akan mati, masyarakat cenderung memilih opsi yang kedua (O’Neill & Nicholson-Cole, 2009). Hasil ini menjelaskan dengan cukup baik bahwa masyarakat memiliki kepedulian yang rendah terhadap perubahan iklim.
Strategi yang Dilakukan oleh Gerakan Climate-Denial
Gerakan climate-denial berusaha menciptakan keraguan dalam masyarakat mengenai perubahan iklim. Cara yang mereka tempuh untuk menciptakan keraguan itu antara lain adalah menyerang saintis yang mendukung perubahan iklim, menciptakan argumen ilmiah, dan memengaruhi kebijakan pemerintah. Perubahan iklim adalah fenomena kompleks yang sulit untuk diobservasi sendirian sehingga peran publikasi penelitian sangat penting dalam proses pemahaman konsep ini (jylha, 2018). Konsekuensinya adalah publikasi dari gerakan climate-denial sangat mungkin dianggap sebagai sumber yang dapat dipercaya (Dunlap & McCricht, 2011).
Mengutip dari Washington & Cook (2011), gerakan climate-denial mempunyai empat strategi untuk menolak fakta perubahan iklim. Keempat strategi tersebut antara lain adalah menciptakan teori konspirasi, menghadirkan ilmuwan palsu, menggunakan kerancuan berpikir dan mengutip sebagian kecil hasil penelitian mengenai perubahan iklim. Tujuan mereka dalam menerapkan empat strategi ini adalah untuk meyakinkan publik dan media bahwa perubahan iklim tidak terbukti secara saintifik.
Salah satu teori konspirasi yang diciptakan oleh gerakan climate-denial adalah skandal climategate. Skandal ini terjadi pada 2009, ketika email sekelompok ilmuwan dari University of East Anglia in Britain diretas dan dipublikasikan di internet. Dari email yang diretas ini, pegiat climate-denial berusaha menunjukan bahwa para ilmuwan dengan sengaja menutup fakta mengenai perubahan iklim. Kevin Trenberth, seorang ilmuwan IPCC, diretas emailnya oleh pegiat climate-denial. Mereka membuat email Trenberth tampak seolah para ilmuwan secara diam-diam mengakui bahwa perubahan iklim telah berhenti. Padahal, konteks dari email tersebut adalah membahas penurunan suhu permukaan bumi secara temporal di tengah suhu iklim yang terus meningkat.
Untuk memberikan kesan bahwa gerakan climate-denial didukung oleh ilmuwan, gerakan ini menciptakan ilmuwan palsu sebagai alat legitimasi. Alat yang mereka gunakan adalah petisi yang dikeluarkan oleh Oregon Institute of Science and Medicine (OISM) pada tahun 2008. Petisi ini ditandatangani oleh 31.000 orang yang mengklaim dirinya sebagai ilmuwan. Diketahui bahwa orang-orang yang menandatangani petisi tersebut adalah lulusan ilmu komputer, ilmu zoologi, farmasi dan bidang keilmuan lain yang tidak berhubungan dengan iklim.
Demi menciptakan sebuah argumen, gerakan climate-denial menggunakan kerancuan berpikir. Salah satu contohnya adalah argumen mereka yang mengatakan bahwa perubahan iklim pernah terjadi di masa lalu, sehingga perubahan iklim merupakan siklus alami yang terjadi pada bumi. Namun, argumen ini mengesampingkan fakta bahwa tingkat kenaikan suhu di era sekarang jauh lebih cepat daripada siklus alami bumi. Â Milankovitch cycles menjelaskan siklus perubahan temperatur bumi didasarkan pada aspek astronomis, seperti proses rotasi dan revolusi bumi. Durasi siklus ini mencapai 100.000 tahun dan berlangsung tanpa campur tangan makhluk hidup. Telah dipaparkan juga sebelumnya bahwa emisi GRK oleh manusia banyak dibuktikan sebagai faktor perubahan iklim saat ini.
Publikasi mengenai perubahan iklim merupakan relasi kompleks dari para ilmuwan, politik, dan sains itu sendiri (Heede, 2014). Publikasi ilmiah seharusnya perlu dibandingkan dengan publikasi yang lain untuk tujuan verifikasi. Gerakan climate-denial hanya mengutip dari satu publikasi ilmiah tanpa melakukan verifikasi terhadap publikasi yang lain. Seperti kutipan hasil publikasi dari Hadley Centre of the UK Met Office and the Climate Research Unit mengenai kenaikan suhu daratan dengan tingkat yang rendah di tahun 1998. Gerakan climate-denial menyimpulkan bahwa perubahan iklim sudah berhenti di tahun itu. Padahal, suhu daratan hanya merupakan sebagian kecil unsur dari perubahan iklim. Unsur terbesar perubahan iklim adalah suhu lautan yang terus mengalami kenaikan.
Perubahan iklim adalah fenomena yang dipercayai mayoritas ilmuwan. Namun, masih ada kelompok minoritas yang tidak mempercayainya. Sejarah panjang perubahan iklim pun ternyata tidak lepas dari pengaruh industri, baik karena aktivitas produksinya dalam mencemari lingkungan maupun aktivitas sosialnya dalam memengaruhi opini publik. Industri besar juga terbukti mendanai berbagai kegiatan climate-denial melalui berbagai jenis think-tank. Strategi yang digunakan climate-denial antara lain menciptakan teori konspirasi, menghadirkan ahli palsu, menggunakan kerancuan berpikir, dan mengutip sebagian kecil hasil penelitian mengenai perubahan iklim.
Penulis : Megantara Massie dan Fandy Arrifqi
Editor: Fadhilla Dwi Prameswari Rayes
Ilustrator: Fanisa
Â
Referensi
Dunlap, R. E., & McCricht, A. M. (2011). Organized Climate Change Denial. The Oxford Handbook of Climate Change and Society.
Grasso, M. (2019). Oily politics: A critical assessment of the oil and gas industry’s contribution to climate change. Energy Research & Social Science, 50, 106–115. doi:10.1016/j.erss.2018.11.017
Heede, R. (2013). Tracing anthropogenic carbon dioxide and methane emissions to fossil fuel and cement producers, 1854–2010. Climatic Change, 122(1-2), 229–241. doi:10.1007/s10584-013-0986-y
Jylhä, K. M. (2018). Denial Versus Reality of Climate Change. Encyclopedia of the Anthropocene, 487–492. doi:10.1016/b978-0-12-809665-9.09762-7
O’Neill, S., & Nicholson-Cole, S. (2009). “Fear Won’t Do It.” Science Communication, 30(3), 355–379. doi:10.1177/1075547008329201
R.K. Pachauri, L.A. Meyer (Eds.), Climate Change 2014: Synthesis Report. Contribution of Working Groups I, II and III to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Core Writing Team, IPCC, Geneva, Switzerland (2014), p. \151
Washington, H., & Cook, J. (2011). Climate Change Denial: Heads in the Sand. New York: Earthscan.
Weart, S. (2011). The Development of the Concept of Dangerous Anthropogenic Climate Change. The Oxford Handbook of Climate Change and Society.
Wong-Parodi, G., & Feygina, I. (2020). Understanding and countering the motivated roots of climate change denial. Current Opinion in Environmental Sustainability. doi:10.1016/j.cosust.2019.11.008