
©Anggi/BAL
Setelah menghabiskan waktu lebih dari satu dasawarsa, Azhari Aiyub kembali menerbitkan karyanya dalam sastra Indonesia kontemporer. Tidak jauh berbeda dari buku kumpulan cerpen Perempuan Pala (2004), Azhari kembali menceritakan Aceh dari perspektifnya dalam Kura-Kura Berjanggut. Azhari berhasil menyusun dunia baru dengan menggabungkan sejarah Aceh dengan imajinasinya dalam menulis novel fiksi sejarah itu. Novel Kura-Kura Berjanggut bahkan melambungkan nama Azhari dalam penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa kategori prosa.
Berangkat dari penghargaan yang diraih itu pula, Kampung Buku Jogja V mengundang Azhari pada Selasa (03-09) lalu. Diskusi bertajuk “Saya, Kura-Kura Berjanggut, dan Sejarah Aceh” itu diselenggarakan di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri, UGM. Setelah diskusi selesai, BALAIRUNG berkesempatan menemui dan berbincang dengan penulis novel fiksi sejarah itu. Ia membagi kisahnya menggeluti dunia literasi hingga pandangannya tentang fiksi sejarah.
Bagaimana awal terjun ke dunia literasi?
Secara kebetulan, kegemaran saya membaca dan menulis dipengaruhi sewaktu menempuh pendidikan di Sekolah Dasar. Saat itu, sekolah saya sedang direnovasi dan petugasnya adalah orang kampung kenalan saya. Lalu, saya meminta izin untuk membawa buku-buku pulang, dan ternyata diizinkan oleh petugasnya. Ketika saya sedang tidak ada tugas sekolah, saya baca buku-buku itu. Sejak saat itulah muncul minat saya untuk membaca dan menulis.
Kalau ide-ide dalam menulis datang dari mana?
Bagi saya ide itu datang dari dua hal. Pertama, buku-buku yang dibaca itu membantu kita untuk menemukan ide-ide. Membaca juga membantu untuk mendapatkan perbandingan apakah sebelumnya sudah ada model tulisan seperti yang kita pikirkan atau belum. Jadi, semakin banyak kita membaca, semakin banyak pula itu membantu kita. Membaca maksudnya bukan hanya dengan sekilas, tetapi juga memperhatikan segala hal. Kedua, dari gosip-gosip yang saya dengar dari nenek-nenek, ibu-ibu, atau orang-orang di kedai kopi. Saya sering mendapat cerita dari sana, meskipun terkadang bagus, kadang juga tidak.
Lalu, bagaimana proses dari karya-karya itu lahir?
Saya selalu menulis dan hanya bisa menulis di pagi hari. Setiap bangun, minum kopi, lalu mulai menulis. Setelah menghabiskan waktu 4 jam, nanti tulisannya saya print, dan baca-baca lagi. Kalau bahannya terbatas saya tidak bisa sama sekali menulis. Kalau sudah begitu saya mulai membaca referensi lagi untuk mendapatkan sesuatu. Seperti meramu obat, kita masuk ke hutan, ambil daunnya, setelah cukup, masuk ke dalam lab baru kita racik obatnya. Jadi menulisnya pagi, sisanya dihabiskan membaca, begitu kira-kira.
Apa yang membuat Anda menulis novel sejarah?
Awalnya, saya tidak berniat untuk menulis novel sejarah. Pada waktu itu sedang maraknya novel-novel tentang sejarah, seperti tentang Samudra Pasai, Gajah Mada, dan sebagainya. Saya tidak tertantang sama sekali untuk menulis hal serupa, karena ketika saya menulis itu akan sangat terbatas. Lalu saya berpikir membuat cerita yang tokoh-tokohnya datang dari sumber-sumber sejarah. Dengan demikian saya bisa membuat dan menyusun satu dunia baru, di luar dari dunia lama yang datang kepada kita melalui buku.
Bagaimana riset yang Anda dilakukan untuk dapat menulis novel sejarah?
Apa yang saya tulis sebenarnya mengandalkan sumber-sumber sekunder. Sumber-sumber itu saya dapat dari buku yang ditulis oleh orang lain atau cendekiawan dengan topik tertentu. Mereka memberikan catatan-catatan yang menggambarkan sesuatu kepada kita bagaimana tempat yang mereka singgahi. Saya seperti seorang kerbau yang naik ke atas pundak para raksasa. Nah, pundak-pundak raksasa inilah tempat berdiri untuk melihat, mencatat, dan menguping sesuatu yang perlu saya tuliskan.
Bagaimana fiksi sejarah itu dikemas dalam Novel Kura-Kura Berjanggut?
Novel Kura-Kura Berjanggut itu adalah pertemuan beberapa buku dan terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama adalah buku autobiografi Si Ujud yang ditulis pada abad ke-17 dalam Hikayat Malem Dagang. Ujud merupakan seorang bandit yang balas dendam dengan Kesultanan Aceh yang membantai rakyatnya sendiri. Dalam Si Ujud juga tergambarkan Aceh sebagai kota yang kosmopolit, sebelum kolonialisme dan globalisasi dimulai. Buku itu kemudian bertemu dengan catatan harian Tobias Fuller yang ditulis pada awal abad ke-20. Catatan itu ditulis oleh seorang dokter jiwa Belanda yang sedang melakukan penelitian di salah satu tempat yang bernama Lamuri. Rentang waktu yang jauh sekitar 300 tahun lamanya itu yang membuat saya berpikir untuk menyelipkan cerita lainnya.
Cerita Aceh seperti apa yang ingin diketahui masyarakat dari perspektif yang ditawarkan dalam Kura-Kura Berjanggut ini?
Saya pikir apa yang diketahui masyarakat Aceh sekarang adalah sejarah populer. Sejarah populer yang berarti sejarah yang diberikan melalui pendidikan, keluarga, dan kadang-kadang melalui doktrin. Seperti yang dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mereka melakukan doktrin terhadap beberapa bagian sejarah Aceh. GAM melakukan glorifikasi untuk menentang segala hal yang datang dari Jawa. Misalnya seperti pernyataan-pernyataan yang mengatakan “kita adalah bangsa paling luhur di muka bumi ini,”; “kita adalah bangsa yang punya pengalaman yang banyak, punya perjuangan yang cukup lama,” sejarah-sejarah doktrinisasi itu yang sampai kepada masyarakat Aceh.
Apa yang memotivasi Anda untuk menyelesaikan dan menyampaikan karya kepada pembaca? Misalnya Novel Kura-Kura Berjanggut yang menghabiskan waktu hingga 12 tahun lamanya.
Sebenarnya, saya hampir tenggelam dan mati karena kesulitan mengatur nafas dalam menulis. Terkadang dalam satu tahun, saya hanya menyelesaikan satu bab, dan tahun-tahun berikutnya menulis dua bab. Ada pula tahun-tahun saya tidak menulis sama sekali, misalnya ketika saya bekerja penuh mencari uang dan lainnya. Namun, belakangan, saya betul-betul mengerjakan penuh tulisan ini. Meski kadang-kadang berhenti, tetap saya lanjutkan lagi. Saya selalu merasa sangat terpukul ketika pergi ke tempat-tempat pameran buku. Ketika melihat buku-buku karya orang lain, membuat saya iri karena karya sendiri belum ada. Bahkan, saya sempat merasa putus asa juga, memikirkan tulisan saya tidak bisa selesai. Bagi saya ketika saya mulai menulis sesuatu, saya harus menulis yang sesuai standar yang bagus menurut saya sendiri. Sudah menjadi prinsip saya ketika mengerjakan sesuatu, saya harus serius, tidak mau terburu-buru, dan harus bagus.
Ada ketegangan antara sejarah di Aceh dan sejarah yang diceritakan dalam novel. Apa hal yang mungkin terjadi dari pembaca yang juga sebelumnya sudah mengetahui sejarah?
Setelah novel ini terbit, sempat diadakan beberapa kali diskusi, dari situ saya melihat respons baik dari orang Aceh. Mereka senang berjumpa dengan bagian glorifikasi yang diceritakan dalam novel, karena memuaskan hasrat mereka tentang Aceh di masa lalu. Anggapan bahwa Aceh dulu adalah bangsa yang besar dan bangsa paling tangguh di atas muka bumi ini tergambarkan pada novel ini. Meski demikian, tetap ada rasa kecewa yang timbul dari orang Aceh karena sisi frontal dari Kura-Kura Berjanggut. Misalnya, diceritakan terdapat satu kota yang sangat terbuka dengan seks dan hubungan bebas yang jelas menimbulkan penyangkalan-penyangkalan dari orang Aceh saat ini.
Berkaitan dengan hal itu, yang saya dengar orang-orang Aceh membenci Snouck, tetapi tidak pada apa yang dia tulis. Toh, sebagian besar pengetahuan mereka tentang masa lalu juga datang dari Snouck. Artinya, kita tidak bisa membayangkan bagaimana mozaik sejarah Aceh kalau Snouck tidak ada. Sebelum Snouck, catatan-catatan tentang Aceh hampir sedikit sekali, terutama tentang abad ke-19 dan 20. Namun, hampir sebagian besar orang membenci Snouck karena dia menggunakan agama untuk tujuan penaklukan Van Heutz.
Dalam menulis novel fiksi sejarah, apakah pernah terpikir untuk menyelipkan unsur politis?
Saya pikir ketika kita mulai memutuskan menulis baik itu puisi, naskah drama, novel atau cerpen, kita telah mulai mengambil satu tindakan politis. Kalau saja ingin mengatakan sesuatu tentang kebenaran misalnya seorang antropologi, ya tulis saja risalah antropologi. Kalau seorang sosiolog melihat sesuatu yang agak aneh di dalam masyarakat, ya tinggal Anda menulis laporan penelitian. Namun, ketika memutuskan menulis cerpen, novel, atau puisi itu berarti memilih suatu tindakan yang bersifat politis. Apakah sesuatu itu dirasa politis oleh pembaca? Tentu saja tidak bisa kita ukur. Contohnya, dalam Kura-Kura Berjanggut dibahas satu buku yang ditulis oleh seorang pecundang dari abad ke 17, tetapi bisa mempengaruhi orang-orang di abad ke 19 untuk membunuh orang kulit putih . Mungkin tindakan politis ini juga akan terjadi di beberapa tahun kemudian. Contoh lain misalnya, yang lebih jelas di Aceh Selatan 30 tahun yang lalu, ada seorang kakek-kakek yang menceritakan satu hikayat kepada orang-orang dengan pembacaan biasa. Dia membaca hikayat itu biasa saja, tetapi bisa tiba-tiba merasuki orang yang mendengarkan lalu mau membunuh orang kulit putih. Hal itu terjadi baru 30 tahun yang lalu, jadi bisa saja yang dibaca tidak secara provokatif tetapi bisa memprovokasi orang. Kenapa itu terjadi? Saya juga tidak tahu.
Adakah kesulitan yang dihadapi dalam menggabungkan imajinasi dan sejarah?
Kesulitan sebenarnya adalah untuk membuat pembaca tidak lagi dapat membedakan mana yang benar dan tidak. Jika pembaca masih mudah mengenali itu adalah fakta sejarah, maka berarti penulis tidak bekerja apa-apa. Penulis harus bekerja memanipulasi pembaca. Hal ini sama saja seperti pesulap yang memotong orang. Penonton akan berpikir itu benar atau tidak. Nah, bagi saya, pekerjaan penulis pun begitu, memanipulasi pembaca hingga muncul pernyataan-pernyataan “ini benar tidak ya, sepertinya benar.” Itulah pekerjaan penulis, seperti pesulap.
Apa yang diharapkan dari pembaca setelah selesai membaca karya fiksi sejarah yang Anda buat?
Seperti yang saya umpamakan tadi, kalau kita menonton pertunjukkan sulap, setelah itu pikiran kita jadi terlatih. Hal itulah yang seharusnya juga muncul setelah kita membaca buku. Artinya hal itu menjadikan kita untuk bertanya lagi kebenaran yang dibaca. Jadi esok hari, seandainya kita berhadapan dengan hoaks, kita tidak akan mudah percaya lagi, kita bisa lebih santai menghadapinya. Melalui sastra itu bisa terjadi, karena sastra yang membuat kita terlatih. Tidak hanya bagi pembaca, sebagai penulis pun sama. Karya sastra ini membantu untuk melatih pikiran saya juga. Bila diibaratkan, pikiran saya itu seperti api. Sebelum membuat pikiran pembaca terbakar dan berpikir seperti menonton sulap, pikiran penulis dulu yang harus hidup. Bayangkan ketika kita tidak menulis, pikiran kita bisa mati.
Setelah Kura-Kura Berjanggut, apakah Anda memiliki rencana untuk menulis novel fiksi sejarah lainnya?
Saya berpikir untuk mulai menulis tentang Kota Medan. Menarik sekali untuk mengangkat cerita tentang perkebunan tembakaunya. Apalagi Medan merupakan kota baru yang muncul di abad ke-20. Tidak hanya tentang Medan, mungkin juga Aceh Timur dan Langsa. Ceritanya mungkin bukan tentang sejarah, tetapi untuk menulis itu tentu juga harus belajar sejarah.
Penulis: Anggriani Mahdianingsih
Penyunting: Citra Maudy