Kamis (24-10), Wisma Pastoran Mahasiswa PMKRI ramai dengan adanya diskusi bertajuk “Matinya Demokrasi dan Bangkitnya Gerakan Mahasiswa.” Diskusi yang diselenggarakan oleh Social Movement Institute (SMI) dan Akademi Amartya tersebut dihadiri Asfinawati, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Andhy Panca Kurniawan, salah satu pendiri Watchdoc. Kedua pembicara tersebut setuju bahwa beberapa RUU yang bermasalah akhir-akhir ini menjadi penyebab bangkitnya gerakan mahasiswa di beberapa daerah di Indonesia.
Asfin mengawali diskusi dengan menuturkan bahwa polemik yang terjadi pada beberapa RUU akhir-akhir ini berpotensi pada perampasan hak rakyat. Hal tersebut menjadi upaya DPR mendisiplinkan masyarakat agar mudah dikriminalisasi. Asfin juga menuturkan bahwa DPR sembarangan dalam menyusun undang-undang karena selama ini mereka menganggap bisa berbuat apa saja untuk menundukkan masyarakat. “Pada satu titik, DPR sangat percaya diri untuk berbuat apapun dan menganggap rakyat akan diam, tetapi ternyata tidak,” imbuhnya.
Kondisi masyarakat tersebut dijelaskan oleh Asfin sebagai titik puncak bahwa masyarakat merasa harus bersuara. “Itulah yang namanya momentum, kita tidak bisa memprediksi datangnya, tetapi kita bisa berusaha supaya momentum itu datang,” tutur Asfin. Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa ada yang perlu dilihat dalam setiap momentum tersebut, yaitu pentingnya menentukan langkah massa aksi selanjutnya. Sebab, seringkali massa akan berhenti ketika tuntutan penundaan RUU telah dipenuhi.
Menanggapi hal tersebut, Eko Prasetyo sebagai ketua SMI menuturkan bahwa selama ini gerakan-gerakan yang dilakukan hanya terjadi sesaat saja dan berhenti ketika gerakan tersebut telah usai. “Perlu adanya kesetiaan setelah gerakan itu dilakukan, agar aksi yang pernah terjadi tidak hanya berlalu begitu saja,” jelas Eko. Selain itu, Eko juga menekankan bahwa sejarah di masa lalu penting dijadikan refleksi untuk gerakan yang lebih baik lagi.
Kurangnya kesetiaan itulah yang kemudian dijelaskan Asfin sebagai salah satu penyebab menurunnya suara massa sebagai tahapan terakhir dalam pergerakan sosial. Pasalnya, banyak ahli sudah memetakan gerakan sosial yang memiliki siklus yang sama. Pada mulanya, kondisi masyarakat normal. Kemudian, masyarakat merasa ada sesuatu yang salah lalu mereka bersatu hingga membentuk semangat yang memuncak. Namun, pada akhirnya semangat tersebut akan turun. “Polanya sama dan terus berulang,” jelasnya.
Asfin melanjutkan, setidaknya terdapat beberapa alasan yang menyebabkan menurunnya suara massa. Pertama, karena tuntutan massa sudah tercapai. Maka dari itu, Asfin menekankan bahwa sangat penting untuk menentukan apa yang akan diminta oleh massa aksi. “Karena kalau kita tidak hati-hati, gerakan ini akan muncul secepat matahari terbit, dan akan turun secepat matahari terbenam,” lengkapnya. Dalam artian, gerakan ini akan mudah muncul dan juga mudah hilang yang pada akhirnya akan menjadi sia-sia.
Kedua, gerakan mahasiswa juga rawan dikooptasi bukan hanya oleh orang lain, tetapi juga oleh pemikiran-pemikiran lainnya. Ketiga, terdapat represi yang menyebabkan banyak gerakan mahasiswa menjadi ragu-ragu. “Ancamannya bukan hanya dipenjara, tetapi juga kekerasan,” lanjutnya. Kemudian, Asfin menceritakan kondisi represi terhadap massa yang terlibat aksi di Jakarta. Menurutnya, tindakan tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia, aksi masih dianggap sebagai tindakan yang salah.
Senada dengan kondisi tersebut, Panca menyatakan bahwa memang terjadi kegagalan. Menurutnya, terdapat kesalahan yang dipahami ketika reformasi 98 yaitu gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil terlalu mempercayai orang tua seperti Amien Rais dan Megawati. Maksudnya, masyarakat tidak menggagas rencana jangka panjang untuk menata Indonesia ke depannya. “Maka orang-orang tua inilah yang akhirnya menata Indonesia dengan perspektif kedekatan dengan lingkungannya yaitu politik,” jelasnya. Hal tersebut dijelaskannya sebagai reformasi yang sangat kuat partai politiknya, namun advokasi ke masyarakatnya lemah.
Panca melanjutkan bahwa enam program reformasi tidak sepenuhnya berhasil. Misalnya, mengenai pemisahan TNI dan Polri. Pada awalnya, keduanya dipisahkan agar Polri bisa menjadi bagian dari masyarakat sipil. Tetapi, Panca menjelaskan bahwa ketakutan terhadap militer pada waktu itu justru dilakukan oleh polisi pada gerakan mahasiswa sekarang. Selain itu, desentralisasi yang bertujuan memakmurkan daerah yang tertinggal justru melahirkan raja-raja kecil. “Apalagi yang bisa dibanggakan dari hasil reformasi?” tanya Panca. Kondisi ini yang membuat Panca dan kawan-kawan merasa reformasi akhirnya dibajak.
Lebih lanjut, Panca menjelaskan bahwa pembajakan reformasi tersebut terjadi karena selama ini politik ditempatkan di ranah yang tidak bisa disentuh oleh masyarakat. Maka dari itu, dijelaskannya bahwa iklim kebebasan yang terjadi adalah kepentingan memperebutkan ruang dan waktu. Dia mencontohkan kebebasan pers yang menemui dilema antara bertanggung jawab melayani kepentingan masyarakat atau mencari keuntungan. “Dalam hal ini, yang menang selalu yang memiliki modal,” tambahnya.
Asfin menanggapi hal tersebut dengan memberikan beberapa masukan untuk gerakan mahasiswa selanjutnya. “Maka dari itu, penting untuk mendiskusikan agar gerakan mahasiswa tidak turun terlalu cepat,” ungkap Asfin. Salah satunya, penting untuk merumuskan tuntutan yang pas terhadap kondisi Indonesia secara makro, tidak hanya apa yang terjadi akhir-akhir ini. Setelah itu, diperlukan pula upaya untuk menghadapi represi dan kooptasi yang terjadi selama gerakan mahasiswa berlangsung.
Asfin juga memberikan solusi agar gerakan mahasiswa ini tidak berhenti di tengah jalan. Pertama, memahami pengalaman pergerakan 98 secara luas karena tidak semua pemahaman dari orang yang pernah terlibat bisa dijadikan rujukan. Selain itu, dukungan dari organisasi juga sangat diperlukan agar pergerakan tetap berjalan. Asfin menyatakan bahwa organisasi adalah kunci dimulainya suatu pergerakan. Hal itu dapat diperkuat dengan melakukan konsolidasi. Kedua, advokasi negara atau pembelaan negara memiliki kecenderungan melunakkan gerakan. Asfin menjelaskan perlu adanya penggiat komunitas untuk mempermudah dan mempercepat penyampaian pesan pergerakan. Ketiga, meminimalisir ruang bagi pihak yang mau menghentikan pergerakan. “Jangan memberikan ruang ataupun kesempatan kepada musuh,” tutupnya.
Penulis : Anis Nurul dan Afifah Fauziah
Penyunting : Andara Rose