Berbagai organisasi yang tergabung dalam Aliansi Aksi Solidaritas Melawan Kekerasan Seksual di UGM menggelar aksi longmars dari Fakultas Psikologi menuju Grha Sabha Pramana (GSP) UGM, Kamis (22-11). Namun, massa aksi dihentikan oleh Pusat Keamanan Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan (PK4L) UGM saat hendak memasuki sisi timur gedung rektorat. Hal tersebut kemudian memicu kericuhan antara peserta aksi dengan petugas PK4L. Namun tidak berselang lama, ketegangan dapat diredam.
Rizaldi Ageng, koordinator aksi, mengatakan aksi tersebut bertujuan untuk mendesak UGM agar segera menuntaskan kasus-kasus kekerasan seksual. Ia juga mengungkapkan UGM belum memiliki regulasi yang jelas terkait penanganan kasus kekerasan seksual. Menurutnya, hal tersebut berujung pada tidak adanya tindakan tegas dari UGM terkait sanksi bagi pelaku kekerasan seksual. “Sebenarnya banyak pihak yang terus mendorong UGM agar membuat regulasi yang jelas, namun UGM tidak mengindahkan saran tersebut,” ungkapnya.
Hal senada juga diungkapkan Adinda Aurellia, juru bicara aliansi aksi solidaritas. Menurutnya, UGM selalu gagal dalam mengawal kasus kekerasan seksual. Ia juga mengungkapkan hal tersebut dapat dilihat pada Peraturan Rektor UGM No. 1699/UN1.P/SK/HUKOR/2016 tentang Pedoman Pelecehan di Lingkungan UGM. Dalam peraturan tersebut, tidak diatur klausul yang mengikat terkait sanksi bagi pelaku kekerasan seksual. Selanjutnya, ia membandingkan dengan Peraturan Rektor UGM No. 711/P/SK/HT/2013 tentang Tata Perilaku Mahasiswa UGM yang mengatur sanksi sesuai kategori pelanggaran. “Saya melihat UGM masih bingung secara sistematika hukum, mau mengacu pada landasan hukum yang mana, jadi memang harus ada perombakan besar-besaran,” tuturnya di sela-sela aksi.
Meski sempat beradu mulut dengan petugas PK4L, massa aksi tetap lantang menyuarakan tuntutan-tuntutannya. “Kami menuntut para pelaku kekerasan seksual segera dikeluarkan,” teriak salah satu orator aksi. Sembari berorasi, massa aksi terus mendesak petugas PK4L untuk membuka gerbang di sisi timur gedung rektorat UGM.
Arief Nurcahyo, petugas PK4L, mengatakan penghentian massa aksi tersebut dikarenakan UGM sedang melaksanakan wisuda periode I tahun ajaran 2018/2019. Ia juga mengungkapkan pihaknya hanya menjalankan tugas untuk menciptakan suasana yang kondusif saat wisuda berlangsung. “Demonstrasi boleh dilakukan kapan saja asalkan sesuai dengan prosedur dan etika,” jelasnya.
Massa aksi terus menunggu petugas PK4L membuka gerbang sisi timur gedung rektorat. Namun sampai pukul 12.00 WIB, petugas PK4L tetap tidak mau membuka gerbang. Massa aksi kemudian memilih untuk kembali melakukan longmars dari fakultas-fakultas menuju kantin Bonbin di Fakultas Filsafat UGM.
Aksi kemudian ditutup dengan pembacaan tujuh butir tuntutan oleh koordinator aksi di halaman kantin Bonbin. Pertama, menuntut UGM mengeluarkan semua pelaku kekerasan seksual dan memberikan pernyataan publik bahwa kekerasan seksual merupakan pelanggaran berat. Kedua, menuntut UGM memberikan teguran keras dan sanksi bagi civitas academica UGM yang menyudutkan penyintas kekerasan seksual. Ketiga, menuntut UGM memenuhi hak-hak penyintas kekerasan seksual. Keempat, menuntut UGM memberikan penyelesaian yang lebih transparan dan berpihak kepada penyintas. Kelima, menuntut UGM meninjau ulang bahkan mengubah regulasi dan tata kelola di tingkat departemen, fakultas, dan universitas yang masih memberikan peluang bagi terjadinya kekerasan seksual. Keenam, menuntut UGM melibatkan civitas academica UGM dalam penyusunan regulasi pembentukan badan independen untuk pencegahan, penanganan, dan penyelesaian kasus kekerasan seksual di UGM. Ketujuh, menuntut adanya pendidikan anti kekerasan seksual yang berpihak pada penyintas bagi seluruh civitas academica UGM di tingkat departemen, fakultas, dan universitas.
Terkait aksi tersebut, Frengky Syufi, salah satu peserta aksi, berharap UGM segera memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku kekerasan seksual. “Semoga aksi ini menjadi pelajaran berharga bagi institusi pendidikan maupun elemen masyarakat untuk terus menjamin dan menjaga harkat dan martabat kaum perempuan,” pungkasnya.