Minggu (15-4), kalimat takbir, tahmid, tasbih, serta selawat menggema di desa Palihan, Temon, Kulon Progo. Gema tersebut terdengar dari perayaan enam tahun penolakan New Yogyakarta International Airport (NYIA). Perayaan tersebut dihadiri oleh warga penolak NYIA yang tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP). Selain itu, relawan solidaritas dan warga lain yang berhadap-hadapan dengan penggusuran juga menghadiri perayaan tersebut. Misalnya, Widodo yang mewakili Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo dan Kawit, salah satu warga pesisir Parangkusumo.
Perayaan tersebut tidak hanya berisi doa bersama dan potong tumpeng, tetapi juga orasi dari berbagai perwakilan organisasi dan acara musik. Pada awal acara, Mudjiyanto selaku warga penolak NYIA menegaskan penolakannya yang tanpa syarat terhadap bandara. “Perjuangan ini adalah perjuangan untuk mempertahankan hak anak cucu kita. Semoga penolakan kita mendapat rahmat dan barakah dari Allah,” terangnya.
Senada dengan Mudjiyanto, Teguh Purnomo selaku kuasa hukum PWPP-KP, menegaskan bahwa perjuangan petani Temon adalah perjuangan untuk mempertahankan hak yang dirampas oleh pembangunan cacat secara hukum. Menurutnya, mekanisme konsinyasi cacat hukum karena warga penolak belum menyerahkan tanah beserta rumahnya. Bahkan pada 2017 lalu, jendela-jendela rumah warga tetap dirusak oleh oknum aparat keamanan. “Petani yang menolak bukanlah warga yang ingin menumpuk kekayaan, melainkan warga yang ingin berjuang untuk orang di sekelilingnya,” tambah Teguh.
Selain itu, menurut Ustaz Sofyan selaku warga penolak NYIA, perjuangan mempertahankan hak selama enam tahun bukanlah hal yang mudah. Baginya, bukan wadah yang terpenting, tetapi semangat menolak NYIA. Sofyan pun menambahkan bahwa banyak intimidasi yang telah dialami oleh warga, tetapi warga tetap sabar dan semangat untuk menolak NYIA. “Meski listrik kita dicabut oleh PLN dan kembali pada tahun-tahun ketika listrik belum sampai di desa ini, kita tetap semangat menolak NYIA,” ucap Sofyan.
Sutrisno, salah satu warga penolak NYIA juga menambahkan bahwa tindakan intimidasi tidak hanya pemutusan listrik. Menurutnya, pohon-pohon kelapa yang ditanami warga dirubuhkan dengan ekskavator-ekskavator milik PT. Angkasa Pura I. “Selain itu, warga menjaga jalan agar tidak dipagari, malah tetap dipagari oleh PT. Angkasa Pura I,” terangnya.
Menambahkan Sofyan, Kawit dalam orasinya menyatakan bahwa perayaan ini juga berfungsi untuk menyatukan persepsi antar warga. Hal itu dilakukan untuk mempertahankan semangat penolakan terhadap NYIA. Senada dengan Kawit, Widodo berpesan agar warga penolak tetap menjaga komunikasi dan koordinasi. “Kita sekarang ditindas oleh Negara. Jangan sampai kita ditindas terus-menerus,” terangnya.
Selain itu, Teguh berpesan bahwa merajut hubungan dengan gerakan-gerakan penolakan lain juga menjadi hal yang penting untuk menyemai semangat mempertahankan hak warga. “Petani-petani di Setrojenar juga mengalami hal yang sama. Tanah-tanah mereka diklaim oleh TNI AD untuk latihan perang-perangan,” terangnya. Ia pun berharap bahwa gerakan-gerakan di masyarakat dapat merajut kesamaan perjuangan dengan yang lain.
Penulis: Luthfian Haekal
Editor: Bernard Evan