“Topik dalam karya sastra mestinya berangkat dari gejala sosial di lingkungan penulisnya dan diungkapkan apa adanya,” ujar Kedung Darma Romansha. Kalimat itu ia lontarkan dalam video yang ditampilkan untuk mengawali acara bedah novel terbarunya, Telembuk: Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat. Bedah buku tersebut dihelat pada Minggu (15-10) malam di AOA Resto & Creative Space, Yogyakarta, sebagai penutup rangkaian kegiatan Pekan Seni Melawan Kekerasan Seksual (PSMKS). Kedung berhalangan hadir dalam acara tersebut sehingga panitia hanya menampilkan video wawancara singkat bersamanya. Walaupun begitu, bedah buku tetap dilangsungkan bersama Katrin Bandel, seorang akademisi sekaligus kritikus sastra, sebagai pembedahnya.
Katrin mengamini apa yang dikatakan oleh Kedung dalam video tersebut sebab Telembuk merupakan novel yang terinspirasi dari fenomena sosial. ‘Telembuk’ adalah istilah khas daerah Indramayu yang digunakan sebagai sebutan untuk pelacur. Sesuai dengan judulnya, Telembuk berkisah tentang lika-liku hidup seorang perempuan muda bernama Safitri. Ia terpaksa keluar dari rumah untuk bekerja sebagai pelacur dan penyanyi dangdut setelah mengalami pemerkosaan. “Novel ini sangat dekat dengan Kedung yang merupakan pemuda asli Indramayu, dan terlihat sekali bahwa ia melakukan riset yang mendalam untuk novel ini,” ucap Katrin.
Dalam mengangkat tema yang berhubungan dengan seksualitas dan kekerasan seksual, Katrin melihat sastra Indonesia memiliki dua kecenderungan besar. Kecenderungan pertama adalah menceritakan seksualitas sebagai sebuah perayaan akan pembebasan dari ketabuan. Contohnya adalah karya sastra aliran “Sastra Wangi” milik Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu. Kecenderungan ini bermasalah baginya sebab dapat mengaburkan batas-batas penanda kebebasan dan kekerasan seksual. Sebaliknya, kecenderungan kedua adalah melihat kekerasan seksual sebagai sesuatu yang tabu dan membalutnya dengan dogma agama, misalnya dalam Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Kecenderungan ini pun dianggap Katrin bermasalah sebab bersifat menggurui dan tidak serta merta dapat diterima oleh semua kalangan.
“Telembuk tidak tergolong dalam salah satu kecenderungan ini karena hanya menawarkan kejujuran atas apa yang terjadi,” tegasnya. Keistimewaan Telembuk terdapat pada netralitas narator yang berperan sentral dalam novel ini. Narator adalah tokoh yang dekat dengan Safitri sehingga dapat memahami kerumitan hidupnya dan tidak terburu-buru menghakimi ataupun menawarkan solusi.
“Kalau seperti itu, lantas, jenis penyembuhan trauma seperti apa yang dihadirkan dalam Telembuk?” tanya Wahmuji, salah seorang peserta bedah buku. Katrin pun menjawab bahwa penyembuhan trauma bukanlah hal utama yang dipikirkan Safitri. Bagi Katrin, dalam Telembuk, pemerkosaan hadir sebagai sesuatu yang mengerikan, tetapi seolah-olah dapat diterima begitu saja dalam lingkungan tersebut. Hal ini terlihat dari tidak adanya usaha pihak masyarakat di desa Safitri untuk mencari siapa pelaku pemerkosaan. Pun tidak ada perlakuan khusus untuk menangani trauma akibat pemerkosaan tersebut. Penerimaan ini disebabkan oleh stigma perempuan muda desa yang rupawan memang rentan untuk diperkosa sebab ia dianggap tidak bisa berbuat apa-apa. Oleh karena itu, Katrin pun curiga, jangan-jangan persoalan mengatasi trauma hanyalah kemewahan milik masyarakat kalangan atas. Bagi Katrin, ini sangat relevan dengan realitas sosial kaum kelas bawah. “Namun, secara implisit, Telembuk menampilkan upaya penyembuhan trauma dengan cara berbagi cerita tentang pengalaman kekerasan seksual kepada orang terdekat,” lanjutnya.
Yab Sarpote selaku moderator bedah buku sekaligus panitia mengungkapkan bahwa PSMKS diadakan sebagai tempat berbagi cerita terkait kekerasan seksual. Bagi Yab, PSMKS adalah wahana edukasi yang hendak menunjukkan bahwa kekerasan seksual bisa dilawan dengan berbagai cara, salah satunya seni. Dengan tema “Perempuan, Seni, dan Kekerasan Seksual”, PSMKS menyelenggarakan pameran seni rupa dan fotografi, festival film pendek, festival sastra dan musik, presentasi karya tulis, diskusi publik, dan lokakarya. PSMKS sendiri adalah acara yang digagas oleh AOA Resto & Creative Space dan beberapa kolektif yang bergerak dalam isu perempuan. “Walaupun terselenggara dengan dukungan beragam komunitas, pada akhirnya, PSMKS adalah milik siapapun yang merasa dekat dengan isu perempuan dan kekerasan seksual,” tutupnya.
Penulis: Oktaria Asmarani
Editor: Sanya Dinda