Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KILAS

Refleksi 17 Tahun Reformasi

Mei 23, 2015

 

@Dokumentasi Panitia

@Dokumentasi Panitia

Tepat tujuh belas tahun lalu, ratusan polisi berjajar rapi di luar gerbang UGM. Mereka memegang senapan yang ditodongkan pada muka-muka masam mahasiswa yang menuntut reformasi. Kamis (21/05) malam, Dewan Mahasiswa (Dema) Fisipol UGM merefleksikan kembali momen yang menjadi penanda berakhirnya orde baru ini. Dalam refleksi bertajuk “Mei Menggugat” Dema Fisipol mengajak masyarakat untuk menuai kembali ingatan atas sejarah Orde Baru. 

Acara diisi dengan diskusi dan aksi menabur bunga. Nama orang-orang yang hilang disebutkan lagi demi mengupas tragedi kemanusiaan yang kian usang oleh perjalanan waktu. Lewat aksi simbolik ini, Dema Fisipol ingin menekankan pentingnya mengingat dosa kemanusiaan yang belum dituntaskan pemerintah. “Itu mengapa kita disini, yaitu untuk menggugat pemerintah agar segera menyelesaikan kasus HAM di Indonesia,” seru Gehan Ghofari, fasilitator aksi malam itu.

Amalinda Savirani, mantan aktivis 1998 yang ditunjuk sebagai pengisi diskusi, mengamini pendapat Gehan. Ia menambahkan bahwa reformasi adalah proses yang urung selesai. Kasus petani Rembang, Kulon Progo atau perampasan tanah untuk pendirian hotel adalah bentuk baru pelanggaran HAM di Indonesia. “Bedanya, dulu yang dilanggar adalah hak politik. Kini, hak ekonomi juga ikut dilanggar,” sesalnya.

Di titik inilah mahasiswa harus bersikap kritis untuk menggugat pemerintah. Linda lalu bercerita tentang gelora mahasiswa saat itu. “Dulu paling takut kalau tertangkap polisi, tapi kita tetap demo besar-besaran untuk mengkritik pemerintah yang absolut,” kenangnya. 

Linda menekankan, mengingat lagi demonstrasi mahasiswa ’98 tak membuat mahasiswa terjebak pada heroisme masa lalu. Di setiap masa, mahasiswa merupakan titik nadir sebuah perlawanan. Lewat demonstrasi dan aksi, mahasiswa mampu mengobarkan semangat perlawanan itu. “Mahasiswa adalah satu-satunya aktor penyeimbang pemerintah yang tak bisa ditunggangi kepentingan politik dan ekonomi,” tegasnya. 

Menurut Linda, demonstrasi tak bisa dimaknai sekedar metode unjuk rasa. Lebih dari itu, demonstrasi adalah tentang menyusupkan nilai pada masyarakat secara luas. “Di titik ini, demonstrasi adalah pengejawantahan fungsi mahasiswa sebagai moral force,” tutur Linda.

Linda mengatakan bahwa demonstrasi menjadi ciri khas mahasiswa yang masih muda dan berani melawan. Sebaliknya, cara lobi politik dan negosiasi adalah cara orang tua yang tak berani bertentangan langsung. “Cara diplomasi dengan makan bersama, itu kan cara orang yang sudah menyerah,” tandas Linda.

Meski peringatan 21 Mei tak disertai dengan demonstrasi besar di Yogyakarta, Gehan berharap aksi damai malam ini justru menarik empati masyarakat. Selama ini masyarakat dan mahasiswa cenderung apatis dengan demonstrasi yang mengganggu lalu lintas. Menurutnya, dengan aksi damai seluruh kalangan dapat menerima substansi yang diwacanakan. ‘Di titik itulah fungsi kami sebagai moral force tetap terjaga,’ tutur Gehan. [Ganesh Cintika Putri]

aksidema fisipolmahasiswareformasiugm
0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...

Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...

Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah

Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan

Jejak Trauma Kolektif Korban Kekerasan Orde Baru dalam...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025
  • Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan Mahasiswa

    Mei 24, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM