Judul : Memata-matai Kaum Pergerakan (Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 1916 – 1934)
Penulis : Allan Akbar
Penerbit : Marjin Kiri, 2013, Tangerang
Bahasa : Indonesia
Tebal buku : xvii + 117
Berawal dari Politik Etis, yaitu sebuah kebijakan baru pemerintah kolonial di awal abad ke-20 rakyat pribumi mulai memperoleh perhatian terutama di bidang pendidikan. Akibatnya, pada masa Etis ini, muncul sebuah lapisan masyarakat baru yakni lapisan pribumi terpelajar. Namun demikian, tentu saja sebagian besar dari kalangan ini masih berasal dari lingkungan priyayi.
Sejak pendidikan mulai menyentuh sebagian rakyat pribumi, sedikit banyak hal itu telah memengaruhi pola pikir mereka terutama dalam aspek perjuangan. Secara berangsur-angsur pola perjuangan bangsa Indonesia mulai berubah tidak lagi bersifat kedaerahan, namun mulai muncul rasa kebersamaan yang menyeluruh.
Pada tahun 1908, mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) yang sadar akan kemerdekaan Indonesia membentuk organisasi dengan nama Boedi Oetomo. Organisasi ini merupakan organisasi modern pertama yang bertujuan untuk memersatukan warga pribumi dan mengupayakan sarana-sarana terbaik untuk memajukan bangsa dan Negara Hindia Belanda. Selain itu, muncul juga organisasi Sarekat Islam bentukan dari H. Samanhoedi dengan tokoh sentralnya yaitu Raden Oemar Said Tjokroaminoto.
Menyadari pergerakan sosial-politik masyarakat pribumi yang kian berkembang, maka muncul kekhawatiran dari pemerintah kolonial itu sendiri. Mereka menilai hal ini sebagai sebuah ancaman terhadap keutuhan kekuasaan kolonial. Atas dasar itu maka dibentuklah kepolisian modern di Hindia Belanda yang bertugas untuk mengawasi pergerakan-pergerakan nasional yang dianggap melampaui batas dan bersifat mengancam.
Kepolisian modern di Hindia Belanda yang dikenal dengan Politieke Inlichtingen Dienst (PID) resmi dibentuk pada Mei 1916. PID dibentuk pada saat Perang Dunia I sedang berkecamuk sehingga menyebabkan komunikasi langsung antara Hindia Belanda dengan negeri induknya terputus. Hal ini memaksa pemerintah Hindia Belanda untuk menjalankan pemerintahan secara mandiri. Kehadiran PID sebagai “periskop” yang akan membantu pemerintah kolonial untuk mengetahui perkembangan pergerakan nasional serta dianggap perlu untuk menjaga keamanan dan stabilitas Hindia Belanda.
Setelah Perang Dunia I berakhir yaitu pada tahun 1919, kehadiran PID dirasa sudah tidak diperlukan lagi. Oleh karena itu, Muurling yang merupakan pimpinan dari PID sendiri merekomendasikan agar PID dibubarkan. Atas dasar itu maka PID resmi dibubarkan pada April 1919.
Setelah PID dibubarkan, ternyata kondisi stabilitas dan keamanan Hindia Belanda oleh pemerintah dinyatakan semakin memburuk. Akhirnya beberapa bulan setelah pembubaran PID, pada tahun yang sama dibentuklah Algemeene Recherché Dienst (ARD) sebagai pengganti PID dengan kewenangan yang lebih luas. Namun demikian, masih lekat dalam ingatan masyarakat pribumi segala aktivitas pengawasan oleh ARD lebih dikenal sebagai tindakan dari PID. Padahal PID sendiri sudah dibubarkan beberapa bulan sebelumnya.
Buku ini menarik karena memberikan dekskripsi tentang kegiatan perikop di masa kolonial, bahwa ternyata kegiatan “memata-matai” tidak hanya terjadi di era sekarang ini. Buku ini juga memberikan pemahaman kepada para pembaca tentang dunia pergerakan dari sisi yang berbeda dengan bukti-bukti yang otentik. Buku ini menyadarkan kita betapa intelijen kita hari ini mewarisi gaya kerja intelijen kolonial. Namun demikian, terdapat kekurangan dari buku ini, yaitu penulis terlalu berlebihan dalam menginterpretasikan bukti yang ada seperti saat penulis bersikukuh secara rahasia Agus Salim masih membuat sejumlah laporan tentang kegiatan Sarekat Islam untuk pemerintah padahal Agus Salim tidak menemukan bukti konkret kebenaran kabar angin itu sehingga ia pun memutuskan hubungan dengan ARD.
Buku ini layak dibaca oleh siapapun, terutama militer, pejabat, atau pengamat intelejen yang diharapkan mampu mencegah dan menanggulangi ancaman-ancaman pada masa sekarang seperti terorisme, spionase dan separatisme. Dinas intelejen seharusnya menyadari perannya sebagai pihak pengawal dinamika yang terjadi di dalam pemerintahan Indonesia guna menciptakan Indonesia yang adil dan sejahtera, bukan justru memandang masyarakat Indonesia itu sendiri bahaya utama yang mesti diwaspadai. [Husnul dan Riska]