Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
FILMKABARNALAR

Manusia Dihadang Teknologi

Mei 13, 2014

transcendence
Judul : Transcendence
Durasi : 119 Menit
Aktor : Johnny Depp, Rebecca Hall, Paul Bettany, Cillian Murphy, Morgan Freeman
Sutradara : Wally Pfister
Tahun : 2014

Dialog dalam sebuah scene,
+ Apakah kamu berusaha menciptakan Tuhan?
– Bukankah itu yang selama ini kita lakukan?

Apa yang terjadi ketika manusia mampu menciptakan sebuah kecerdasan buatan yang melampaui kemampuan berpikir manusia itu sendiri? Itulah pertanyaan yang ingin diutarakan oleh Wally Pfister dalam directoral debut nya berjudul Transcendence. Sepanjang film, penonton diajak untuk mengikuti cerita seorang ilmuwan bernama Dr. Will Caster beserta timnya yang mengadakan penelitian mengenai kecerdasan buatan. Konflik cerita ini mulai muncul ketika Will terluka fatal setelah ditembak oleh salah satu anggota gerakan ekstrimis anti teknologi bernama R.I.F.T. (Revolutionary Independence From Technology).

Menyadari hal ini, Evelyn, istri sekaligus rekan Will berencana untuk mengunggah kesadaran Will ke dalam sebuah komputer kuantum sebelum Will meninggal. Evelyn meminta bantuan dari sahabat dekat Will yang juga anggota tim risetnya, Max Waters. Awalnya, Max tidak setuju dengan ide Evelyn karena ia mengkhawatirkan konsekuensi yang akan ditimbulkan. Beberapa hari setelah Will meninggal, Evelyn dan Max yang telah menyerah akhirnya memutuskan untuk menghentikan riset tersebut. Namun, ternyata usaha mereka berbuah manis. Meski fisiknya telah tiada, kesadaran Will berhasil dilestarikan melalui unggahan ke komputer kuantum tersebut. Perdebatan muncul ketika Will meminta dirinya untuk disambungkan ke jaringan internet.

Tanpa diketahui mereka berdua, R.I.F.T. ternyata telah mengetahui rencana tersebut dan berusaha untuk menghentikannya. Bree yang merupakan pemimpin R.I.F.T. menemui Max dengan tujuan untuk merekrutnya dan mengetahui lokasi Evelyn. Max yang menolak ajakan Bree akhirnya disergap dan lokasi Evelyn pun diketahui. Namun ketika sampai disana, Evelyn telah terlebih dulu kabur dan Will telah berhasil tersambung ke internet.

Dengan bantuan Will, Evelyn melarikan diri ke sebuah kota terpencil bernama Brightwood. Evelyn, menurut pada keinginan Will, membangun sebuah fasilitas riset di bawah tanah. Setelah aktif untuk beberapa waktu, fasilitas riset tersebut berhasil membuat berbagai terobosan pesat dalam bidang teknologi. Seperti robot berukuran nano yang mampu memperbaiki jaringan sel yang rusak pada manusia dan tumbuhan. Will mendemonstrasikan hal ini dengan menyembuhkan seorang korban pemukulan dalam sekejap, bahkan menyembuhkan seseorang yang mengalami kebutaan sejak lahir. Tidak hanya menyembuhkan mereka, teknologi temuan Will juga memberikan kekuatan fisik di atas manusia normal dan kemampuan untuk terhubung dengan singularitas teknologi ciptaan Will. Evelyn pun mulai menaruh curiga terhadap motif Will yang sebenarnya.

Kabar mengenai ‘mukjizat’ dari Brightwood ini pun tersebar cepat melalui internet. Bersamaan dengan kejadian ini, seorang agen FBI bernama Donald Buchanan berusaha menghentikan Will. Dengan bantuan Joseph Tagger, Donald mendatangi Brightwood dengan niat membujuk Evelyn untuk ikut menghentikan Will. Evelyn semakin yakin untuk kabur dari Brightwood setelah Will mengajaknya untuk ikut mengunggah kesadarannya.

Mendekati klimaks dari film ini, Evelyn akhirnya bergabung dengan Bree, Donald, Joseph dan Max untuk melawan Will. Max menciptakan virus yang mampu menghentikan Will yang sekaligus menghancurkan semua bentuk artefak teknologi maju. Meski begitu, Max yakin kalau hal tersebut lebih baik dibandingkan dengan kemungkinan akan hilangnya mortalitas manusia dan kemanusiaan itu sendiri di tangan Will. Evelyn kembali ke Brightwood untuk mengunggah virus itu ke dalam program Will dengan dalih kalau ia ingin kesadarannya ikut diunggah bersama Will. Namun, di luar dugaan, Evelyn justru berhadapan denganWill yang kembali tampil dalam wujudnya sebagai manusia. Hal ini membuat Evelyn kembali mempertanyakan keputusannya untuk menghentikan Will.

Sebelum menyutradarai Transcendence, keterlibatan Wally Pfister dalam beberapa proyek Christopher Nolan sebagai Director of Photography di film The Prestige, trilogi The Dark Knight dan Inception telah mengukuhkan dirinya sebagai salah satu sinematografer handal. Keputusan Wally Pfister untuk membekali kru kameraman yang ia miliki dengan stok film anamorphic berukuran 35 mm terbukti berhasil. Film berdurasi 119 menit ini dikemas dengan baik dalam gaya Wally Pfister yang mengedepankan penggunaan cahaya natural. Wally Pfister juga perlu diapresiasi dalam keputusannya untuk menggunakan stok film konvensional dalam pengambilan gambar. Hal ini berlawanan dengan teknik sinematografi digital yang semakin populer dewasa ini.

Namun dari segi penaskahan, Jack Paglen yang didaulat sebagai penulis naskah kurang mampu menyampaikan ide cerita yang seharusnya mampu memprovokasi pikiran para penontonnya secara baik. Terdapat beberapa plot holes yang menimbulkan kebingungan dalam penyampaian cerita tersebut. Selain itu, hubungan emosional antar karakter cenderung tertutupi oleh hubungan antara Will dan Evelyn yang terus menerus dieksploitasi hingga terlihat seperti romantisme klise ala Hollywood.

Bagian yang paling menarik dari film ini sebenarnya adalah pertanyaan yang mendasar dalam ide ceritanya sendiri. Dengan perkembangan dalam bidang kecerdasan buatan yang semakin pesat, bukan hal yang tidak mungkin ketika konflik yang ada di film ini menjadi kenyataan. Stephen Hawking pernah menyampaikan kekhawatiran yang sama mengenai hal ini. “Kecerdasan buatan akan menjadi penemuan terbesar dalam sejarah umat manusia, dan bisa jadi merupakan yang terakhir,” kata Hawking dalam sebuah wawancara untuk The Independent. Meski begitu, beberapa ilmuwan lain seperti Frank J. Tipler yang menganggap runtuhnya kemanusiaan di tangan teknologi merupakan hal yang alamiah dan tidak bisa dilawan.

Pengembangan teknologi yang tidak memiliki batas justru dapat menimbulkan kekhawatiran akan munculnya teknologi yang tidak mampu dikontrol oleh manusia sebagai penciptanya sendiri. Kritik mengenai perkembangan teknologi telah ada sejak lama. Martin Heidegger mengemukakan kekhawatiran ini dalam esainya berjudul A Question Concerning Technology yang dipublikasikan tahun 1954. Pada esainya tersebut, Heidegger berpendapat kalau kebenaran yang diketahui manusia tidak terbatasi oleh ilmu pengetahuan yang mereka kuasai. Manusia memiliki ciri khas seperti harapan, watak dan emosi yang tidak bisa dengan mudah direduksi melalui ilmu pengetahuan yang mereka ketahui.

Heidegger juga menyampaikan kritik terhadap teknologi pada masanya yang hanya dikembangkan untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang ada. Sementara posisi manusia hanyalah sebagai peneliti yang menghitung kemungkinan-kemungkinan yang ada. Konsekuensinya, kesadaran manusia akan dikuasai oleh teknologi-teknologi yang ia ciptakan sendiri. Sejatinya, Heidegger tidak menolak perkembangan teknologi itu sendiri. Menurut Heidegger bahaya terdapat pada dominasi dari teknologi itu sendiri yang menghalangi manusia untuk melihat berbagai jenis kebenaran yang ada, bahkan menolak bentuk kebenaran lain sebelum mengalaminya sendiri.

Meski dinilai gagal dari segi pendapatan, Transcendece bukanlah film yang dapat begitu saja dilupakan. Film ini sama memiliki niat yang sama dengan film-film seperti The Matrix atau Prometheus, yaitu mengenai sikap manusia ketika dihadapi oleh sebuah entitas baru dalam realitanya. Melihat masyarakat masa kini yang semakin dimanjakan dengan berbagai jenis intelligent personal assistant seperti Siri atau Google Now, film ini kembali mempertanyakan kearifan manusia terhadap teknologi yang mereka miliki. Beberapa karakter dalam film seperti Bree atau Donald Buchanan menggambarkan manusia yang bersikap skeptis terhadap perkembangan teknologi. Sementara Will menunjukan sikap individu yang selalu terbuka mengenai perkembangan kecerdasan buatan.

Manusia seharusnya menerima fakta bahwa perkembangan teknologi memang semakin tidak dapat dan tidak boleh dibendung. Karena terciptanya sebuah artefak teknologi sendiri merupakan bentuk dari kecerdasan manusia yang nyata. Memang benar bahwa kepunahan manusia juga merupakan sesuatu yang tidak mungkin terhindari. Adalah sebuah kemunafikan ketika manusia berupaya untuk mempertahankan kelestarian spesiesnya sendiri padahal di dalamnya sudah tidak terdapat nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Namun, alangkah baiknya ketika penciptaan teknologi tidak terlepas dari manusia itu sendiri dan sejalan untuk membantunya dalam memahami berbagai jenis kebenaran yang ada. [Kevin M.]

Sci-FiteknologiTranscendence
0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

PTSD dan Kerusakan Lingkungan, Buntut Pascaperang yang Tak...

Peringatan Hari Perempuan Sedunia 2022 Tuntut Bebaskan Perempuan...

Tuntut Audiensi dan Pencabutan IPL, Aksi untuk Wadas...

Penyintas Kekerasan Tuntut Keadilan Lewat Karya Tulis

Di Balik Kampanye Antitembakau, Industri Farmasi Monopoli Nikotin

Pelarangan Senjata Nuklir Kian Mendesak di Tengah Konflik...

1 komentar

Uki Mei 14, 2014 - 00:38

Ini film lama apa baru ya? Aku takut baca soalnya semacam sepohileerrr…. 😀

Reply

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025
  • Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan Mahasiswa

    Mei 24, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM