Judul : Sejarah dan Budaya Demokrasi: Manusia Berstatus Warga dalam Kehidupan Bernegara Bangsa
Penyusun : Saiful Arif dan Heri Setiyono
Penerbit : Averroes Community
Tahun terbit : 2013
Tebal : xviii+93
Demokrasi bukan soal barat atau timur, demokrasi adalah kita.
Demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan bukanlah hal asing bagi rakyat Indonesia. Sistem pemerintahan ini didasarkan pada asas kesamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Sebagai negara multikultur, tentu saja Indonesia akan menemui beberapa kendala dalam pelaksanaan demokrasinya.
Selama ini, demokrasi dipandang sebagai sistem pemerintahan yang tepat. Dalam sistem ini tidak ada kesenjangan antara pemangku jabatan maupun masyarakat. Dengan adanya demokrasi, masyarakat lebih terjamin hak asasinya sebagai warga negara. Selain itu, masyarakat memiliki kebebasan untuk menyampaikan aspirasinya tanpa dibatasi sistem yang mengaturnya.
Aspek penting untuk menunjang pelaksanaan demokrasi adalah kesolidan masyarakat dan komunitas yang ada. Yang dimaksud kesolidan masyarakat adalah partisipasinya dalam mewujudkan demokrasi yang diharapkan. Partisipasi maksimal dari segenap masyarakat luas itulah yang amat dibutuhkan. Sedangkan, komunitas adalah media yang dapat masyarakat gunakan untuk menyampaikan aspirasinya. Untuk itu, demokrasi tak bisa lepas dari keterlibatan masyarakat luas.
Dalam buku ini, banyak topik dikupas yang dimulai dari latar belakang kemunculan demokrasi di Barat hingga perkembangan demokrasi di Indonesia. Demokrasi Barat muncul ditandai dengan para filosof Yunani yang memperkenalkannya, salah satunya adalah Plato. Plato menganggap hanya filosof yang dapat menentukan baik-buruknya sistem pemerintahan bagi rakyat. Sedangkan, dalam sejarah Indonesia, demokrasi muncul sejak pra kemerdekaan dan paska kemerdekaan. Tentu saja, perkembangan demokrasi di Indonesia ini banyak dipengaruhi perkembangan demokrasi di Barat.
Demokrasi Pancasila adalah sistem yang dianut oleh Indonesia. Sudah barang tentu Indonesia tak luput dari permasalahan sistem demokrasi. Demokrasi ini sering kali diselewengkan oleh para pemimpinnya, seperti terjadi pada masa demokrasi terpimpin. Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia menyatakan dirinya sebagai presiden seumur hidup. Sedangkan, pada masa orde baru, Soeharto menggunakan demokrasi sebagai alat untuk memperkuat otoriternya.
Permasalahan seperti itu tidak hanya terjadi di pemerintahan pusat, tetapi juga dirasakan sampai ke desa-desa. Misalnya, rembug desa yang merupakan forum paling demokratis ada di desa-desa. Forum tersebut mewadahi masyarakat desa untuk menyampaikan aspirasi. Dalam kenyataannya, forum ini masih belum dapat dikatakan sebagai kegiatan demokratis sebagaimana mestinya. Forum rembug desa ini lebih banyak dipakai untuk menyosialisasikan kebijakan-kebijakan baru dibanding untuk menampung aspirasi-aspirasi masyarakatnya.
Kasus-kasus disorientasi politik memperlihatkan bahwa para petinggi itu cenderung ingin menguasai dan memperebutkan kedudukan. Mereka cenderung melupakan efektivitas penggunaan kedudukan/kekuasaan. Akibatnya, sistem demokrasi hanya melahirkan konsepsi negatif terhadap masyarakat. Mereka lebih memilih kearifan lokal yang justru menumbuhkan ketenteraman daripada demokrasi pemerintah.
Jika demikian, sudahkah Demokrasi Pancasila yang diterapkan di Indonesia ini dijalankan dengan baik? Mungkin jawaban atas pertanyaan ini bisa beragam, tetapi kesempatan itu masih tetap ada. Sesungguhnya, dasar-dasar demokrasi telah ada pada pribadi rakyat Indonesia. Demokrasi secara implisit itu telah tercermin dalam beberapa etnis Indonesia, seperti etnis Jawa, Minang, dan Bali.
Dalam demokrasi desa, ditemukan juga bentuk klasifikasi berdasarkan status sosial. Status sosial ini dikelompokkan dalam kalangan elit dan non-elit. Elit diartikan sebagai seseorang yang dianggap berpengaruh atau seseorang yang disegani. Misalnya adalah seorang petani progresif, kepala desa, tokoh masyarakat, pedagang, pemuka agama, dan guru. Gelar ini sangat menentukan daerah kekuasaan dan pengaruhnya dalam masyarakat.
Sejalan dengan itu, tentu sebuah proses kebudayaan tidak selamanya berjalan dengan mulus. Proses akulturasi dan asimilasi akan selalu terjadi. Demokrasi Pancasila akan beradaptasi dengan budaya demokrasi lokal supaya dapat diterima. Untuk itu, perlu diketahui bahwa prinsip dasar demokrasi di Indonesia adalah musyawarah untuk mufakat. Prinsip musyawarah mengandung dimensi proses, sedangkan prinsip mufakat mengandung dimensi tujuan.
Oleh karena itu, sebagai negara demokrasi, mau tidak mau masyarakat Indonesia harus terlibat di dalamnya. Hal ini dapat dilakukan dengan mengubah paradigma demokrasi menjadi sebuah pandangan hidup. Demokrasi yang berada di tingkat keluarga memiliki keterlibatan yang lebih kuat untuk membentuk budaya demokrasi di tingkat atasnya. Begitu pula demokrasi di tingkat desa memiliki kontribusi yang cukup esensial bagi perkembangan demokrasi di tingkat lokal, nasional, bahkan global. Pada akhirnya, masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada kemauan pemerintah untuk mengabdi pada masyarakat. Selain itu, kesadaran masyarakat juga harus ditingkatkan agar tercapai demokrasi Indonesia yang diinginkan.
Sayangnya, dalam buku ini masih terdapat permasalahan pada teknik penulisan. Hampir seluruh bagian dalam buku ini terdapat kesalahan ketik, kesalahan ejaan, dan beberapa kalimat yang tidak berkorelasi. Beberapa kata masih dapat diketahui bentuk aslinya, namun ada pula beberapa kata yang tidak jelas maknanya. Kesalahan ini sangat mengganggu pembaca dalam menikmatinya.
Namun, beberapa kesalahan di atas mungkin terlalu teknis. Ada satu bagian dalam buku ini yang layak dibaca yakni apresiasinya terhadap kearifan lokal. Penulis mengangkat nilai kebersamaan, toleransi, dan tolong-menolong dalam bentuk komunitas. Komunitas tersebut berupa forum-forum musyawarah, misalnya rembug desa dan paruman. Buku ini cukup bermanfaat bagi pembaca, terutama bagi pembaca yang masih awam dengan demokrasi.
[Kukuh Luthfi S, M. Aji Maulana]