Judul : BLUR : Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi
Penulis : Bill Kovach dan Tom Rosenstiel
Cetakan : November 2012
Penerbit : Dewan Pers
Tebal : VIII+225
Penerjemah : Imam Sofwan dan Arif Gunawan Sulistiyono
“Bacalah tulisan yang dapat dibuktikan kebenarannya, bukan yang diyakini benar.”
Saat ini, aktivitas mengakses informasi mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh munculnya media baru. Sarana untuk mengakses pun tidak hanya media cetak, tetapi ada juga bentuk baru berupa media online. Kendati demikian, posisi media online saat ini lebih unggul dibanding media cetak. Hal tersebut disebabkan oleh konsumen informasi yang telah memanfaatkan kemajuan teknologi sebagai alat untuk mengakses informasi.
Aktivitas untuk memperoleh informasi saat ini dituntut untuk cepat dengan waktu yang relatif fleksibel. Keadaan tersebut membawa perubahan dalam pola konsumsi informasi yang menuntut adanya penyesuaian. Selain itu, perubahan pola konsumsi pembaca dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Hal itu ditandai dengan kecenderungan pembaca yang memanfaatkan teknologi sebagai alat untuk mengakses informasi dalam bentuk berita. Kondisi tersebut dapat diartikan sebagai era digital. Era tersebut tidak hanya membawa perubahan dalam pola konsumsi berita, tetapi juga perubahan dalam esensi berita.
Dihadapkan dengan perubahan tersebut, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya yang berjudul BLUR : Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi, berupaya memberi pandangan baru mengenai esensi berita di era banjir informasi. Terdapat perubahan dalam makna aktual yang saat ini cenderung bermakna cepat dalam menyajikan berita. Pergeseran makna lebih disebabkan adanya perkembangan teknologi dengan kebutuhan mengakses informasi. Selain itu, kecepatan dalam menyajikan berita dikondisikan harus berbanding lurus dengan perkembangan teknologi.
Era digital membawa perubahan dalam hal esensi berita yang lebih difokuskan pada kecepatan dalam penyajiannya. Padahal, kecepatan penyajian dan verifikasi berita merupakan hal yang kontradiktif. Analogi dalam hukum fisika menyatakan bahwa makin sedikit waktu yang diperoleh untuk memproduksi berita maka semakin banyak pula kesalahannya (hal. 45).
Kasus dari analogi tersebut pernah terjadi dalam cyber journalism. Sebuah media online memberitakan tewasnya seseorang yang jatuh dari tangga kos, tetapi keliru mencantumkan nama korban. Tercantum di media online tersebut, korban bernama Amelinda Putri Arsita. Padahal, korban yang tewas bernama Anindya Kiranani. Hal itu memunculkan pertanyaan di benak konsumen informasi, berita seperti apakah yang sudah terverifikasi dengan benar?
Perkembangan teknologi sebagai dasar munculnya era serba instan melahirkan permasalahan baru bagi media saat ini. Kasus kesalahan pencantuman nama korban tadi menjadi masalah tersendiri dari segi teknis, namun muncul permasalahan lainnya dari substansi berita. Di era banjir informasi ini, sulit untuk membedakan antara berita berupa fakta dengan opini si penulis. Alhasil, pembaca seringkali terjebak pada pemberitaan yang berbentuk propaganda, rumor, dan desas-desus. Akibatnya, pembaca cenderung mudah terprovokasi dengan pemberitaan tersebut.
Penyajian isu yang diolah dengan cepat dalam bentuk berita menjadi nilai jual bagi media. Karena itu, muncullah pemberitaan atas isu yang sejenis, tetapi faktanya tersaji dengan isi yang berbeda. Padahal, mengejar kecepatan dalam penyajian dengan proses memproduksi berita merupakan hal yang berlawanan. Hal tersebut memberi arti bahwa nilai berita dari sisi substansi tidak memiliki keakuratan. Kondisi itu menjadi cerminan bahwa esensi pemberitaan tidak menitikberatkan objektivitasnya.
Objektif dalam menulis berita tidak selalu berarti netral. Inti menulis berita secara objektif ditunjukkan dengan pemaparan fakta-fakta serta adanya verifikasi. Pasalnya, berita yang disajikan harus dapat dibuktikan kebenarannya. Adanya hal itu dibuktikan dengan menggali informasi lebih mendalam disertai adanya fakta, lalu menyajikan fakta tersebut dalam bentuk pernyataan. Hal tersebut menjadi sikap dasar objektif dalam menulis berita.
Isi buku ini lebih banyak menekankan sikap skeptis terhadap berbagai macam pemberitaan. Perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan dari sisi kuantitas dan kualitas berita. Sisi kuantitas ditandai dengan banyaknya versi pemberitaaan yang bermunculan. Lalu, sisi kualitas ditandai dengan isi berita yang belum tentu terverifikasi. Maka dari itu, pembaca perlu memahami berita yang diterima, mulai dari hal-hal teknis hingga menyentuh ke substansi. Sikap tersebut membawa alur pemikiran pembaca agar skeptis terhadap pemberitaan di setiap media.
Pola pikir skeptis merupakan pemikiran yang cenderung mencari fakta empiris. Pola pikir tersebut dapat dibangun dengan memunculkan berbagai pertanyaan, seperti, ada kepentingan apa di balik sebuah pemberitaan? Kemudian, apakah berita ini telah diverifikasi? Apa yang kurang dari pemberitaan ini? Apakah ini bukti atau sekadar spekulasi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dimiliki oleh pembaca di era digital ini.
Berpikir kritis dalam melihat berbagai pemberitaan merupakan peran pembaca sebagai penentu kualitas berita. Melek berita yang dimiliki para konsumen informasi akan dengan sendirinya meruntuhkan kepentingan komersialisasi dan kekuasaan. Maksud dari istilah melek berita yaitu pembaca telah cakap dalam mencerna dan mengakses informasi. Mereka tidak mudah terprovokasi terhadap berbagai pemberitaan di media. Selain itu, mereka dapat melihat berbagai kepentingan dan aktor di balik pemberitaan setiap media.
Pola pikir dan sikap pembaca akan memengaruhi pemberitaan. Sikap kritis dan skeptis pembaca menentukan pola perkembangan media. Hal tersebut akan berpengaruh kepada produk berupa berita. Karena sikap pembaca yang kritis dan skeptis, media akan menyajikan berita secara objektif. Sebaliknya, jika pembaca mudah menelan mentah-mentah berita maka media berpeluang untuk tidak objektif dalam pemberitaannya.
Buku yang diterjemahkan oleh Imam Sofwan dan Arif Gunawan Sulistiyono ini bertujuan untuk membangun pola pikir skeptis dalam melihat media saat ini. Buku ini bersifat universal, artinya tidak dikhususkan untuk pihak yang mengkaji media saja. Pembaca awam yang tidak memiliki keahlian di bidang jurnalistik dan media pun dapat memahami isi buku tersebut.
Kemajuan teknologi informasi tidak seharusnya diikuti dengan memudarnya esensi berita. Waktu dan proses dalam pemberitaan, verifikasi, kesabaran, dan ketelitian akan menentukan kualitas berita. Hal-hal tersebut tetap perlu diperhatikan dalam pemberitaan di era digital. Ini dikarenakan berita yang telah tersaji ke pembaca pada akhirnya akan diminta pertanggungjawabannya dalam bentuk pembuktian. [Maya Desvita U]