Sosialisasi bertajuk “Merajut Masa Depan Bangsa melalui Undang-Undang No 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi” digelar di Balai Senat UGM pada Kamis (18/10) pukul 10.00 WIB. Acara ini dihadiri oleh perwakilan dari perguruan-perguruan tinggi di Yogyakarta serta berbagai elemen di UGM. Tujuan diadakannya sosialisasi tersebut adalah untuk memperkenalkan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) yang disahkan Agustus lalu kepada masyarakat luas. Acara yang berlangsung di Balai Senat UGM ini berlangsung selama kurang lebih dua jam.
Acara dibuka oleh Pemimpin Redaksi Kedaulatan Rakyat, Drs. Octo Lampito M.Pd., selaku moderator. Kemudian dilanjutkan dengan penjabaran mengenai UU Dikti dari Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D., selaku Sekretaris Dewan Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Nizam mengawali penjabaran tersebut dengan memaparkan pandangan bahwa pendidikan merupakan kunci kemajuan bangsa. Oleh sebab itu, UU Dikti ditujukan untuk memperbaiki dan mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia dalam menghadapi perkembangan zaman. “UU Dikti diharapkan bisa membuat mereka makin produktif dan siap bersaing,” terang Nizam.
Lebih lanjut, Nizam kemudian menguraikan berbagai pasal dan ayat yang tercantum di dalam UU Dikti. Semua bagian dibahas, terutama yang sering menjadi kritik masyarakat. Seperti kekhawatiran masyarakat dengan adanya liberalisasi dan komersialisasi pendidikan jika Perguruan Tinggi Asing (PTA) diperkenankan masuk. Nizam langsung menampik tuduhan tersebut dengan menunjukkan pasal 90, ayat (4) b, yang isinya mensyaratkan PTA wajib berprinsip nirlaba. Selain itu, PTA juga akan diwajibkan mengurus perizinan dan mempekerjakan warga negara Indonesia. “Kita beri pagar dan pintu bagi PTA yang akan masuk ke Indonesia. Mereka harus bermutu dan lokasi berdirinya juga ditentukan pemerintah Indonesia,” ungkapnya.
Kritik lain yang muncul dari forum adalah mengenai diskrimasi perhatian pemerintah. Suara ini berhembus kencang dari kalangan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan pendidikan vokasi. PTS merasa mendapatkan perhatian dan akses dana yang terbatas jika dibandingkan dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Menanggapi problematika ini, Nizam membeberkan bahwa tetap ada pendanaan dari pemerintah yang ditujukan kepada PTS. Sementara itu, mengenai aturan yang ditujukan kepada PTS, ia menjawab bahwa pemerintah hanya merupakan penyelenggara PTN. Sehingga, peraturan dari pemerintah hanya bisa diberlakukan 100% kepada PTN, sedangkan pada PTS sifatnya sebatas himbauan. “Itu bukan karena diskriminatif, tapi karena memang dalam beberapa poin yang bersifat otonom, hanya PTN yang bisa kita atur,” jelasnya.
Selain itu, pendidikan vokasi merasa tidak diperlakukan sama dengan pendidikan sarjana. Menanggapi suara dari pendidikan vokasi, Nizam menerangkan bahwa pemerintah akan memperkuat keberadaan pendidikan vokasi dan politeknik. Ia juga menjelaskan bahwa untuk memperluas akses pendidikan, akan dibangun akademi komunitas di setiap kabupaten/ kota. Akademi komunitas, yang meniru konsep community college, dimunculkan untuk menciptakan tenaga kerja terampil yang setara dengan D1 dan D2. Mereka juga diharapkan memiliki kompetensi dan kualifikasi dengan menguasai keahlian mengelola sumber daya daerahnya. “Kalau misalnya di daerah itu banyak perkebunan karet, kita mau masyarakat di sana harus bisa mengelolanya sendiri,” tutur Nizam.
Beberapa komentar lain mempertanyakan tentang pendanaan pendidikan. Salah satunya mengenai pelaksanaan pinjaman mahasiswa yang diatur dalam pasal 76 ayat (2) c. Hal ini lantaran dalam pasal tersebut teknis pinjaman tanpa bunga belum dijelaskan lebih lanjut. Seorang penanya menjelaskan bahwa pinjaman sejenis pernah diterapkan sebelumnya, yaitu dengan penahanan ijazah sampai pinjaman dilunasi. Namun, mekanisme tersebut membuat mahasiswa memilih untuk tidak mengambil ijazahnya. Hal tersebut membuat bank yang mengurus pinjaman kehilangan kepercayaan. “Kalau begitu, nanti kita pikirkan bersama-sama. Mungkin bisa mengundang teman-teman Fakultas Ekonomi untuk merumuskan teknisnya,” jawab Nizam.
Selain mengatur mengenai pinjaman mahasiswa, UU ini juga memberi batasan bagi perguruan tinggi untuk menarik pungutan dari mahasiswa. “Pemerintah menyediakan dana pendidikan tinggi paling sedikit 30 persen dari dana anggaran fungsi pendidikan,” ungkap Nizam. Pada pasal 88 dan 89, UU Dikti pun menjamin biaya pendidikan yang dibebankan akan sesuai dengan kemampuan mahasiswa. “Jadi, pemerintah tidak lepas tangan dalam pendanaan ini,” ujarnya. Ia kemudian menambahkan, penerapan undang-undang ini akan diperjelas dengan adanya Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen) sebagai pendukung. Pembentukan peraturan pendukung itu akan keluar selambat-lambatnya dua tahun setelah UU Dikti.
Sementara itu, soal komentar lain yang menyoroti kemungkinan adanya kepentingan politis yang mungkin terlibat dalam pembentukan undang-undang ini, Nizam tak menampik pernyataan tersebut. Menurutnya, kepentingan politis memang pasti ada, sebab dalam sistem demokrasi, semua keputusan merupakan produk politis. “Sebenarnya, pemikiran politis para anggota DPR kita itu sudah sangat rasional. Makanya mereka justru paling getol mendesak lahirnya undang-undang pendidikan tinggi,” tuturnya.
Di sisi lain, dalam menyambut implementasi UU Dikti ini, rektor UGM Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc., angkat bicara. “UU ini perlu ada instrumentasi penurunan, yakni PP tentang statuta (anggaran dasar) UGM, dan kita sedang menyusun draft itu,” ujarnya. Ia juga menambahkan, bahwa UU ini mengharuskan statuta UGM dalam bentuk PP. “Perjalanannya masih panjang, tapi tidak masalah karena kita sudah siap sebelumnya,” tuturnya. Terkait rumor bahwa Sumbangan Pengembangan Pendidikan (SPP) tunggal dan dihapusnya Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) jika UU Dikti diterapkan, Pratikno membenarkan hal tersebut. Ia menyatakan bahwa SPP itu flat dan SPMA itu akan didistribusikan kedalam delapan semester. “Jadi, gampangnya SPMA itu dicicil,” pungkas Pratikno. [Mukhammad Faisol Amir, Shiane Anita Syarif, M. Ageng Yudhapratama R]