
jojo. bal
Pemandangan berbeda tampak di Jalan 45 Kompleks Kampus UGM. Para pengendara motor yang biasa melintasi Jalan itu terlihat memutar arah. Ternyata dua portal yang menghalangi para pengendara untuk melewati jalan tersebut telah diberlakukan. Satu portal bertempat di perbatasan bangunan Kopma UGM dengan lahan parkir foodcourt. Sedangkan yang lainnya berada di belokan ke kiri setelah Boulevard UGM.
Pada Jumat (1/6), jalan yang biasa digunakan sebagai lalu lintas umum tersebut ditutup untuk dijadikan kantung parkir. Pembentukan kantung parkir ini terkesan mendadak karena pendirian portal dilaksanakan hanya satu hari satu malam. Berdasar penuturan tukang bangunan yang bertugas mengerjakan pendirian portal, Nur Lutfiana W, selaku staff humas KOPMA menyatakan bahwa perintah pengerjaan baru diturunkan Kamis (31/5) padahal portal mulai diberlakukan Jum’at. Ia pun menyatakan pengumuman pemberlakuan portal baru ditempel satu minggu sebelum penutupan jalan. “UGM terkesan mekso,” ujarnya.
Hari pertama penutupan jalan, beberapa pengendara motor terlihat berbalik arah ketika mengetahui jalan tersebut telah ditutup. “Kok ribet banget harus ditutup segala, kan jadinya harus muter, jalan juga jadi macet,” ujar Siti Khodiyah, salah seorang pengendara motor yang bermaksud melintasi jalan tersebut. Tak ayal pro kontra pun mewarnai kebijakan yang baru diberlakukan UGM ini. Ivan Nashara, mahasiswa Hubungan Internasional 2008 menyatakan dirinya tidak keberatan dengan dibentuknya lahan parkir di area foodcourt. “Keamanan Gelanggang justru semakin terjamin,” ujar Ivan.
Pandangan Ivan tampaknya tak selaras dengan aktivis gelanggang. Jumat (1/6) malam, beberapa perwakilan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) mengadakan diskusi mengenai pembentukan kantung parkir dadakan tersebut. Vandy Yogaswara, Menteri Internal BEM KM UGM yang hadir pada diskusi itu menyatakan keberatannya. “Kami keberatan dengan pembentukan kantung parkir ini karena mahasiswa tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan kebijakan,” papar Vandy.
Dalam diskusi yang diadakan Forum Komunikasi UGM malam itu, tampak kekhawatiran mahasiswa apabila kebijakan ini akan berubah dari tidak berbayar menjadi berbayar. “Ketika kebijakan ini berbayar tentunya akan semakin memberatkan mahasiswa,” tegas Vandy. Nurul Romdlani, salah seorang anggota UKM Pramuka turut menyatakan keberatannya. “Keberadaan kantung parkir tambah bikin ruwet, jalanan jadi macet. Kasihan masyarakat yang harus memutar jalan,” ujarnya.
Pihak DPPA pun menjelaskan bahwa kebijakan ini sebenarnya lebih menguntungkan mahasiswa. Jika biasanya mahasiswa ditarik retribusi parkir di sekitar foodcourt, dengan adanya kantung parkir mahasiswa tidak perlu ditarik biaya parkir lagi. “Parkir gratis berlaku hanya pada jam kerja saja, pukul 06.00 sampai 18.00, selebihnya membayar,” ujar Drs. Supriyanto, M.P.A, selaku Kasubdit Ketertiban Lingkungan dan Pengelolaan Parkir DPPA UGM. Namun, “Macet bukanlah alasan bagi mahasiswa untuk keberatan dengan kebijakan ini. DPPA membuat kebijakan semata-mata untuk kenyamanan mahasiswa,” tandas Supriyanto. Ia menuturkan mahasiswa yang terbiasa melintasi jalan 45 masih bisa melewati Jalan Sumpah Pemuda sebagai jalan alternatif.
Pembentukan kantung parkir ini menurut Supriyanto, bukanlah tanpa alasan. “Jalan 45 kami jadikan kantung parkir karena keadaan jalan yang semrawut dan sering terjadi kecelakaan,” paparnya. Faktor keamanan gelanggang pun tak luput sebagai salah satu bahan pertimbangan. Ia juga memaparkan kebanyakan pengendara yang melintasi Jalan 45 tidak mempunyai kepentingan langsung dengan UGM. Supriyanto menganggap masyarakat umum yang berlalu lalang dinilai bisa mengganggu proses berjalannya kegiatan akademik. “Pihak UGM selaku pemilik lahan berhak untuk mengatur wilayahnya demi kelancaran kegiatan akademik,” tambahnya.
Menjawab berbagai protes yang dilontarkan mahasiswa, Supriyanto membantah kebijakan ini sebagai kebijakan dadakan. Ia mengaku wacana pendirian portal ini telah diinisiasi sejak bulan Maret 2011. Rapat internal dalam rangka membahas konsep umum pembuatan portal dilaksanakan pada 29 Maret 2011. Selanjutnya, pada 6 April 2011 dilakukan rapat yang melibatkan semua elemen lembaga yang ada di sekitar Jalan 45. Gelanggang Mahasiswa pun turut dilibatkan, dalam hal ini DPPA mengundang Manager Gelanggang sebagai perwakilan. November 2011 baru diadakan rapat dengan Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah, Polsek, Kecamatan, Pamong Praja serta petugas sipil setempat.
Supriyanto mengaku proses pembuatan kantung parkir ini memang memakan waktu cukup lama. DPPA bersama petugas keamanan setempat membutuhkan waktu sekurang-kurangnya lima bulan untuk berdiskusi mengenai nasib juru parkir yang ada di area tersebut. Hingga akhirnya DPPA memutuskan untuk memberdayakan sebelas juru parkir yang biasa ada di area parkir tersebut. “Untuk waktu-waktu tertentu, kami akan tetap menempatkan petugas SKKK jika memang diperlukan,” tutur Supriyanto.
“Juru parkir tersebut digaji Rp 900 ribu berdasar Upah Minimum Regional (UMR) yang berasal dari hasil iuran beberapa  lembaga yang ada di sana,” tutur Supriyanto. Beberapa instansi yang ditarik iuran intensif adalah BNI UGM, BNI Syariah kantor pembantu Bulaksumur, BRI kantor cabang pembantu Bulaksumur, dan Gateway Model United Nations (GMUN) Group. KOPMA sebagai lahan latihan berwirausaha bagi mahasiswa pun pada awalnya turut akan dimintai kontribusi. Namun, Direktorat Mahasiswa merasa keberatan dengan putusan DPPA, alhasil KOPMA tidak dipungut biaya insentif. “Dengan alasan kenyamanan bersama, kami diminta kontribusi Rp 1.5 juta perbulan untuk menggaji juru parkir,” ujar Harti Irianti selaku Supervisi BRI. “Kami hanya ngontrak disini jadi kami yamanut-manut saja ada kebijakan seperti itu,” tambahnya.
Susatyo Ardi, satu dari sebelas juru parkir yang berjaga pun ikut mengeluhkan penghasilannya yang cenderung berkurang. Sebelum diberlakukannya portal, penghasilannya bisa mencapai Rp 1,5 juta per bulan. Setiap hari ia mampu mengantungi sekurang-kurangnya Rp 50 ribu, namun sekarang pendapatannya hanya sebatas UMR saja. “Kita kerja dibagi berdasarkan shift, kalo mau kerja sambilan juga nanggung karena waktunya mepet,” ujar Satyo.
Komentar pun datang dari Melinda Savirani, Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan. Ia menyatakan portalisasi ini hanya bagian dari serangkaian kebijakan UGM untuk mengatur keluar masuknya kendaraan. Sebelumnya di bawah kepemimpinan Prof. Ir. Soedjarwadi,M.Eng., Ph.D., UGM telah mendirikan portal di beberapa titik. Diantaranya daerah Karangmalang, Boulevard, Sagan dan daerah di sekeliling Kampus UGM lainnnya. “Kebijakan ini adalah cermin bahwa UGM berusaha mengisolasi diri dari luar. Pendirian portal di Jalan 45 hanyalah bagian dari kebijakan portalisasi UGM,” paparnya.
Melinda menyatakan keamanan yang dijadikan alasan utama juga harus dijelaskan, siapa sebenarnya yang menjadi ancaman keamanan di lingkungan UGM. “Data kriminalitas di UGM juga seharusnya diberikan sebelum dan setelah adanya pemberlakuan portal,” ujarnya. Melinda pun mengutarakan adanya portal baru tersebut bukan implikasi dari transisi pergantian rektor karena Pratikno baru seminggu menjabat. Bentuk portalisasi yang dilakukan UGM seakan hanya menunjukan inkonsistensi statuta UGM untuk mendekatkan diri terhadap masyarakat. “Jika berkaitan dengan masalah keamanan, seharusnya UGM lebih bersosialisasi dengan masyarakat, bukan mencoba mengeksklusifkan diri,” tambah Melinda. [Danny Izza, Farah Dinna Pratiwi]