Puluhan mahasiswa berduyun-duyun mendatangi selasar gedung baru Fisipol sore itu (8/5). Tak lama kemudian, ruang terbuka itu nampak padat. Peserta duduk berbanjar laki-laki dan perempuan. Mereka menjadi peserta diskusi yang digelar Jamaah Sholahudin dan Sie Kerohanian Islam se-UGM.
Diskusi sore itu bertajuk âMenyoal Feminisme Irshad Manji: Solusi atau Ketakutanâ. Mengawali diskusi, Anggit Adib Wijaya selaku moderator memperkenalkan sosok Irshad Manji. âIa adalah seorang tokoh feminis yang mengusung gagasan reformasi Islam,â ujarnya. Mahasiswa Fakultas Geografi itu menambahkan, dalam bukunya âAllah, Liberty and Loveâ, Irshad Manji berpendapat bahwa Allah bisa ditafsirkan secara bebas dan penuh cinta.
Keraguan atas kebenaran gagasan Irshad Manji menjadi latar belakang diadakannya kegiatan tersebut. Diskusi itu diselenggarakan menjelang kedatangan Irshad Manji ke UGM, Rabu (9/5) pagi. Dalam kunjungannya, Irshad Manji dijadwalkan menjadi pembicara dalam dialog seputar pemikirannya di Kampus Pascasarjana UGM. Selain diskusi, sore itu juga terdapat aksi pembubuhan tanda tangan di atas kain putih panjang sebagai bentuk penolakan terhadap pemikiran Irshad Manji.
Ketiga narasumber sengaja dihadirkan untuk mengupas pemikiran Irshad Manji dari berbagai perspektif. Pembicara pertama, Qurotul Uyun memaparkan perspektifnya dari sisi psikologi. Dosen psikologi Universitas Islam Indonesia itu menyebut Irshad Manji sebagai feminis liberal. Irshad Manji dinilai menafsirkan Al-Quran secara rasional. Beberapa gagasannya antara lain adalah, pemimpin tidak harus laki-laki dan ketaatan istri kepada suami merupakan bentuk penindasan. âManji juga menyebutkan bahwa pernikahan sejenis yang penuh cinta lebih baik daripada menikah beda jenis namun penuh kekerasan,â papar Qurotul Uyun.
Ditinjau dari sudut pandang psikologi versi Islam, Qurotul Uyun menilai pemikiran Irshad Manji kurang tepat. Ia menyatakan, tolak ukur kesehatan mental dalam Islam adalah totalitas pengabdian kepada Tuhan. Ia juga mengatakan, jiwa rabbani, sebagai tingkatan tertinggi mentalitas manusia menurut Islam, menuntut penghambaan kepada Allah sepenuh hati. Hal itu bertentangan dengan perilaku homoseksual yang sekadar menuruti kehendak hawa nafsu.
Dari perspektif lain, guru besar antropologi Fakultas Ilmu Budaya Heddy Shri Ahimsa Putra angkat bicara. Ia mengawali pemaparan dengan menekankan bahwa dirinya tak mau menyinggung Irshad Manji secara pribadi, Heddy hanya mengkritisi pemikirannya. Ia menyadari banyak reaksi negatif yang muncul dari gagasan Irshad Manji. Namun demikian, ia mengingatkan untuk tetap mendoakannya sebagai sesama muslim. âJangan kita mencelanya, karena belum tentu kita lebih baik dari dia,â tutur Heddy.
Setelah membaca sebagian tulisan Irshad Manji, Heddy menarik beberapa kesimpulan. Ia menilai, Irshad Manji memiliki trauma masa lalu sebagai seorang gadis muslim korban institusi madrasah di Afrika. Dari situlah, Heddy berasumsi, Irshad Manji mulai menggambarkan Islam sebagai sesuatu yang kaku dan otoriter. Irshad Manji menilai hadis sebagai salah satu hukum Islam yang doktriner, manusia hanya bisa pasrah terhadapnya. âManji menyebut bahwa Islam akan membawa kematian otak,â ungkap Heddy, âtapi hal itu keliru,â tambahnya. Menurut Heddy, hadis tetap memperbolehkan manusia untuk kritis. âHal itu ditunjukkan dengan adanya pengklasifikasian hadis,â ujarnya.
Mahaarum Kusuma Pertiwi, dosen muda fakultas Hukum UGM turut mengkaji dari sudut pandang disiplin ilmunya. âDari sisi hukum, kita tak bisa mengadili pemikiran seseorang,â ungkap Arum. Suatu pemikiran baru dapat dikenai sanksi hukum apabila telah menjelma sebagai sebuah gerakan yang memberi pengaruh. Dari sisi syariah atau hukum Islam, Arum menyatakan, manusia memang diperbolehkan untuk melakukan ijtihad atau penafsiran sendiri. âKendati demikian, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi,â ujarnya.
Mahya, mahasiswa jurusan Biologi yang juga aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia mengajukan pertanyaan. Ia menanyakan pendapat seluruh narasumber mengenai rencana aksi penolakan pemikiran Irsyad Manji yang dilakukan Rabu (9/5). Ia memandang, sebuah gerakan harus dilakukan. âApabila kaum muslimin sebatas mendoakan, artinya kita diam saja melihat liberalisasi mekar di Indonesia,â ungkapnya.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Heddy mengingatkan untuk melihat persoalan secara lebih arif. Penolakan terhadap pemikiran Irshad Manji semestinya ditunjukkan dengan cara yang intelektual. âSebuah pemikiran harus dibalas dengan pemikiran, apabila tak sepakat, buatlah buku seperti yang dilakukan Irshad Manji,â tegasnya. Heddy juga menyatakan, penolakan tak perlu dilakukan karena dialog penting sebagai media untuk meluruskan persoalan.
Pendapat Heddy dibenarkan dua narasumber lainnya. Uyun menyatakan, dakwah semestinya dilakukan dengan kelembutan hati seperti  teladan dari Rasulullah. Sementara itu, Arum memaparkan, aksi penolakan justru dapat memperburuk keadaan. âJangan sampai, kalian yang ingin âmenghukumâ Irshad Manji, justru dihukum oleh Negara karena mengganggu ketertiban umum,â ujarnya. [Khalimatu Nisa]