
©Rizqi/Bal
“Makanan Indonesia itu tidak pernah berdiri sendiri, nggak hanya berupa rasa atau resep,” ujar Yuanita dalam diskusi buku Sepinggan Indonesia: Mencecap Indonesia Lewat Makanan Tradisionalnya. Berlangsung selama kurang lebih satu jam, diskusi ini digelar melalui siaran langsung Instagram @suluh_perempuan pada Kamis (17-07). Forum diskusi dimoderasi oleh Pupah Mafruhah dan mengundang tiga pembicara, yakni Yuanita Maya, penulis sekaligus pendiri komunitas literasi Gula Kelapa; Imbaniasih, pengurus pusat Suluh Perempuan; serta Jung Nursabah, anggota komunitas Muslimah Reformis.
Diskusi dibuka dengan pemaparan latar belakang penulisan buku oleh sang penulis. Yuanita menyebutkan bahwa melalui buku Sepinggan Indonesia, dirinya berusaha menghadirkan sisi lain dalam melihat makanan tradisional Indonesia. Ia mengatakan bahwa perbincangan tentang makanan tradisional tidak hanya terbatas pada resep, tetapi juga berkaitan dengan sejarah dan identitas bangsa. Menurutnya, budaya Indonesia dapat dilihat lewat makanan tradisionalnya. “Ada banyak sejarah di situ dan kita bisa menggunakan makanan sebagai alat untuk meneropong Indonesia,” ucapnya.
Lebih lanjut, Yuanita menceritakan temuan mengesankan yang ia peroleh selama proses penulisan buku tersebut, salah satunya tentang peran makanan sebagai perantara dalam menjaga kekerabatan. Hal ini, misalnya, terlihat pada tradisi masyarakat Indonesia untuk menghidangkan gorengan sebagai pendamping kegiatan meronda. “Nilainya bukan cuma seberapa banyak makanan yang kita kunyah atau kita hidangkan, tetapi bagaimana kita menghadirkan makanan untuk mempererat kita sebagai kelompok masyarakat,” jelasnya.
Imbaniasih kemudian menambahkan, makanan tradisional memiliki kelebihan ketimbang makanan praktis yang dijajakan di luaran sana. Ia menjelaskan bahwa makanan yang dijajakan dan terkenal di luar memang enak secara rasa di lidah. “Tapi, untuk kualitas, yang kita rasa bahan-bahannya yang top itu benar-benar makanan tradisional, seperti rasa ladanya, palanya, dan asam,” tuturnya.
Selain membahas makanan tradisional, diskusi ini juga menyoroti persoalan patriarki dalam dapur. Perspektif disampaikan oleh Jung yang menyoroti bagaimana budaya patriarki di Indonesia kerap menafsirkan dapur sebagai ruang yang membebani perempuan. Menurutnya, pemaknaan dapur harus diubah karena dapur justru dapat menjadi ruang pemberdayaan bagi perempuan. “Dapur bisa menjadi ruang produksi, ruang kreasi, ruang kita mengembangkan kreativitas,” tegasnya.
Yuanita menambahkan bahwa selain menjadi wadah berkreasi, dapur dan masakan tradisional Indonesia juga dapat menjadi sarana terapi karena memerlukan kreativitas dan imajinasi. Ia menceritakan pengalamannya ketika berada dalam kondisi mental yang tidak stabil dan menjadikan memasak sebagai sarana terapi. “Itu [memasak-red] jadi semacam terapi bagi saya,” tuturnya.
Sorotan lain terkait dengan budaya patriarki juga dihadirkan di penghujung diskusi. Jung menyayangkan bagaimana budaya patriarki menghilangkan jejak perempuan dari pewarisan resep masakan. Ia melihat kurangnya penghargaan terhadap para perempuan yang telah menciptakan berbagai resep makanan tradisional Indonesia. Dalam penilaiannya, laki-laki lebih mendominasi dunia kuliner karena dianggap lebih profesional. “Kuliner yang diturunkan secara lisan oleh perempuan itu tidak dianggap profesional,” tuturnya.
Jung menekankan perlunya pengadaan ruang yang lebih luas bagi perempuan, khususnya dalam konteks kuliner Indonesia. Dalam penilaiannya, perempuan tetap memiliki kontribusi terhadap dunia kuliner Indonesia. “Perempuan perlu diberi ruang juga, apalagi perempuan yang punya ide masakan,” tegasnya.
Penulis: Rifky Wildhani
Penyunting: Winema Aleshanee Rasti Azzayna
Ilustrator: Muhammad Rizqi Juliantoro