
©Hadrian/Bal
Parkiran Abu Bakar Ali, Malioboro dipenuhi oleh berbagai elemen masyarakat; mulai dari pedagang kaki lima, ibu rumah tangga, hingga mahasiswa dan dosen dari berbagai universitas. Massa tersebut berkumpul dalam rangka mencanangkan aksi bertajuk #BersamaRakyat sebagai respons atas kebijakan efisiensi yang dikeluarkan dalam rezim Prabowo-Gibran, Kamis (20-02). Aksi ini menjadi bagian gerakan nasional yang dimulai dengan longmars dan diikuti orasi-orasi dari Parkiran Abu Bakar Ali hingga Gedung Agung Yogyakarta.
Massa aksi membawa tiga poin tuntutan perlawanan. Pertama, turunkan Prabowo-Gibran; kedua, bubarkan Kabinet Merah Putih; ketiga, bangun demokrasi kerakyatan. Menurut tim kajian aksi, ketiga poin tersebut menjadi akumulasi dari rentetan permasalahan yang dihadapi rakyat selama pemerintahan Prabowo-Gibran, di antaranya adalah kenaikan PPN 12%, kelangkaan gas, dan proyek efisiensi anggaran yang menyasar pendidikan. Program efisiensi pendidikan ini juga sudah mulai dilaksanakan lewat Surat Edaran dari Kementrian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Nomor 4 Tahun 2025 tentang Instruksi Kebijakan Efisiensi di Lingkungan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. “Kami tidak akan menuntut apa pun, justru melawan para penguasa-pengusaha itu,” tutur tim kajian aksi.
“Hari ini pendidikan tidak lagi dipentingkan oleh rezim presiden terbaru kita,” ujar Fikri dalam orasinya yang menandai dimulainya unjuk rasa. Ia menyampaikan keresahannya ini akibat buruknya sistem pendidikan di Indonesia. Alih-alih berupaya memajukan pendidikan, rezim Prabowo-Gibran dengan beragam dalihnya justru memangkas anggaran pendidikan.Â
Fikri juga mengkhawatirkan nasib kesejahteraan Indonesia di masa mendatang. Baginya, kesejahteraan bangsa Indonesia akan tercapai jika pendidikan di Indonesia menjadi perhatian pemerintah. “Lebih sakit lagi saat anggaran pendidikan dipotong, suatu pengkhianatan terbesar di tahun ini,” terang Fikri dalam orasinya.Â

Spanduk yang dibentangkan oleh massa aksi. ©Arfa/Bal
Di tengah keramaian orasi, berdiri seorang massa aksi bernama Supri (bukan nama sebenarnya), yang juga turun ke jalan untuk melakukan perlawanan terhadap rezim Prabowo-Gibran. Supri datang dengan membawa keresahan tersendiri terkait kebijakan di rezim Prabowo-Gibran yang berdampak pada dirinya. Sebagai mahasiswa, ia mengaku khawatir dengan kebijakan pemangkasan anggaran pendidikan yang dikhawatirkan berdampak pada pemotongan dana bantuan pendidikan seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. “Jujur karena saya sendiri juga mendapat KIP Kuliah, saya merasa kayak takut enggak bisa lanjut [kuliah-red],” keluhnya.Â
Tak hanya perihal dana bantuan, Supri juga mengungkapkan keresahannya terkait dana subsidi organisasi kemahasiswaan di pendidikan tinggi. Berkaca dari pengalamannya, Supri mengaku resah tatkala organisasi kemahasiswaan yang diikutinya kesulitan menerima pendanaan dari pihak universitas. “Karena saya dalam kepengurusan himpunan mahasiswa, dana pengajuan belum ada yang di-acc [pihak universitas-red],” tuturnya.
Keluhan demi keluhan juga tidak hanya disampaikan mahasiswa sarjana, mahasiswa pascasarjana UGM yang bernama Diana juga mengkritisi kebijakan efisiensi anggaran yang menyasar berbagai hal vital di bidang pendidikan. Salah satu hal vital yang dimaksud Diana adalah kesalahan pemerintah dalam memberikan kebijakan terkait efisiensi anggaran yang turut berdampak pada biaya riset. “Kita tentu sepakat efisiensi terutama pada urusan-urusan yang tidak penting, misalkan rapat-rapat di hotel. Tapi untuk penelitian, itu kan vital untuk kita,” ungkapnya.
Diana juga berpendapat bahwa pemerintah seharusnya berkaca pada negara-negara maju yang sangat menghargai kegiatan riset. “Negara-negara maju selalu menaruh perhatian besar pada riset, kita malah riset dipangkas besar sekali anggarannya,” keluhnya. Padahal, menurut Diana, hasil riset bisa dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam perumusan kebijakan.
Senada dengan yang dilontarkan Diana, Raditya, dosen Universitas Ahmad Dahlan yang mengikuti aksi menganggap bahwa pembatasan riset akan membuat usaha untuk memajukan Indonesia menjadi terjegal. Menurut Raditya, walaupun hasil riset tidak dapat dirasakan secara instan, pemerintah harus bisa memandang bahwa hasil yang didapat dari riset adalah manfaat jangka panjang. “Enggak cuma memenuhi kebutuhan perut, tetapi juga kebutuhan untuk menuju ke negara maju perlu dipikirkan,” keluhnya.
Selain itu, Raditya juga mengatakan bahwa pembatasan anggaran bisa berdampak vital bagi profesi dosen di masa yang akan datang. Menurutnya, kesejahteraan dosen yang menurun akibat efisiensi anggaran bisa menimbulkan pandangan negatif di kalangan generasi muda terkait profesi itu. “Karena banyak pekerjaan yang lebih menggiurkan, akhirnya intelektual-intelektual Indonesia jadi menurun karena anak-anak pintarnya tidak mau menjadi dosen,” jelas Raditya.
Supri menilai bahwa ragam masalah terkait dana pendidikan tersebut terjadi lantaran pemerintah Prabowo-Gibran telah melakukan blunder dalam hal pembuatan kebijakan. Menurut Supri, efisiensi yang seharusnya menyasar anggaran-anggaran yang tidak penting malah dilakukan sebaliknya oleh rezim. Bagi Supri, hal ini membuat ranah-ranah vital seperti pendidikan turut menjadi masalah. “Memang efisiensi bisa bagus, tetapi yang mereka potong itu hal-hal penting. Kalau yang dipotong hal-hal enggak penting, saya setuju,” ungkapnya.
Kekhawatiran mengenai efisiensi anggaran yang berakibat pada pemotongan dana pendidikan tidak hanya datang dari dosen dan mahasiswa. Warga bernama Sutomo (bukan nama sebenarnya) yang juga mengikuti aksi turut mempertanyakan keberpihakan dan urgensi dari kebijakan efisiensi anggaran yang menyasar pada bidang pendidikan. “Kenapa rezim ini bisa semena-mena sampai saat ini? Karena memang rakyatnya dibiarkan bodoh karena mengatur orang tolol itu mudah,” imbuh Sutomo.
Sebagai seorang bapak anak satu, Sutomo juga menyebutkan bahwa kekhawatiran mengenai masa depan anaknya menjadi salah satu alasannya untuk turun ke jalan bersama massa aksi lain. “Saya harus memastikan bahwa republik ini tetap layak buat anak saya, hanya itu yang menjadi motivasi saya,” ujarnya. Sutomo mengimbuhkan bahwa kehadirannya di aksi tersebut juga bertujuan untuk mewakili anaknya yang belum saatnya turun ke jalan.
Kebijakan pemerintah terkait pendidikan yang hari demi hari tak karuan tersebut membuat Sutomo skeptis. Dengan lantang, Sutomo menyatakan bahwa ia tak lagi menaruh harapan kepada rezim Prabowo-Gibran. Sebagai kecaman terhadap penguasa yang bergelimang harta di tengah dana pendidikan yang dipangkas atas nama efisiensi anggaran, Sutomo lebih memilih rezim ini dibubarkan. “Tidak ada pilihan lain selain melawan dan meruntuhkan rezim saat ini, sudah cacat dari awal,” ucapnya tegas.

Gerbang Gedung Agung Yogyakarta yang ditempeli poster oleh massa aksi. ©Arfa/Bal
Tak mau kalah dengan massa aksi yang lain, para ibu rumah tangga yang tergabung ke dalam Persaudaraan Emak-Emak Indonesia juga ikut turun ke jalan untuk menyuarakan keresahan. Ina, salah satu dari mereka, mengaku bahwa memperjuangkan hak rakyat Indonesia adalah alasan utamanya ikut melebur bersama massa aksi. “Pendidikan, kesejahteraan, dan perekonomian kan tidak cuma untuk anak cucu, tetapi untuk masyarakat Indonesia,” katanya.
Dengan nada penuh emosi, Ina juga menyoroti ketidaklogisan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dikeluarkan oleh rezim Prabowo-Gibran. Menurutnya, masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang timbul di berbagai daerah imbas efisiensi anggaran untuk MBG tidak sebanding dengan manfaatnya. Malahan, berbagai PHK disebutnya membuat para orang tua kesulitan untuk membiayai pendidikan anaknya. “Bagaimana rakyat bisa menyekolahkan anaknya kalau begitu? Apakah rakyat cuma dikasih makan gratis?” tegasnya. Ina berpendapat bahwa manfaat dari MBG yang hanya diproyeksikan untuk anak-anak sekolah di jenjang SD–SMA tidak akan cukup untuk dirasakan seluruh lapisan rakyat.Â
“Kami rakyat Papua tidak butuh makan siang gratis, yang kami butuhkan adalah pendidikan gratis”, ujar seorang mahasiswa Papua yang menyampaikan orasi. Ia menyuarakan penolakannya terhadap program pemerintah yang justru menjegal anggaran pendidikan. Animo massa aksi atau demonstran pun semakin kuat mendengarkan hal ini. Demonstran menunjukkan bahwa MBG menyulitkan semua kalangan masyarakat. Tak lama setelahnya, massa aksi membakar road barrier dan melempar cat merah di depan Gedung Agung Yogyakarta sebagai wujud protes massa.Â
Kritik terhadap kebijakan MBG juga disuarakan oleh Supri. Baginya, skema MBG yang hanya diterapkan di sekolah-sekolah, tidak berjalan sesuai tujuan awal untuk mencegah stunting terutama pada rakyat miskin. Ia menyoal rakyat miskin yang seharusnya merasakan manfaat dari MBG, tetapi tidak bisa sekolah sebagai imbas dari kebijakan efisiensi yang memangkas dana pendidikan, terkhususnya beasiswa. Supri beranggapan bahwa kebijakan efisiensi, yang saat ini menyasar ke hal-hal vital, tidak diperlukan. “Kalau perlu pun [kebijakan efisiensi-red], yang diefisiensikan itu kabinetnya karena kabinetnya banyak banget,” pungkasnya.
Penulis: Gulma Zahra Auradatu, Muhammad Muflihun, dan Reza Faza
Penyunting: Aghits Azka Aghnia
Fotografer: Hadrian Galang dan Arfa ZhafifÂ