Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Warga Pesisir Semarang dalam Getir Tata Kelola Air
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KILAS

Kebijakan Belum Mapan, Sekolah Inklusi Tak Sesuai Harapan

Oktober 27, 2024

©Hadrian/Bal

Pada Rabu (23-10), Deliberaksi bersama Korps Mahasiswa Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelenggarakan diskusi bertajuk “Lungguh Bareng: Pendidikan Setara, Jogja Sejahtera”. Diskusi ini dihadiri oleh Faisal Marwah Yusuf sebagai moderator, Sari selaku mantan kepala sekolah SMPN 7 Yogyakarta, Sesil selaku guru di SMPN 16 Yogyakarta, dan Mala selaku guru pendamping murid difabel di SMPN 16 Yogyakarta. Diskusi yang diselenggarakan di Taman Sansiro, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM ini membahas mengenai pendidikan inklusif.

Mengawali pembahasan pendidikan inklusif, Sari membawakan kebijakan zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Ia menyebutkan bahwa kebijakan tersebut membuka kuota sebanyak 15 persen bagi anak berkebutuhan khusus melalui jalur afirmasi difabel. “PPDB Zonasi sebenarnya adalah kebijakan yang memiliki tujuan baik untuk memberikan akses kepada kelompok-kelompok rentan,” ungkap Sari. 

Akan tetapi, Sari juga menuturkan adanya permasalahan mengenai kesiapan sekolah terhadap kebijakan tersebut. Ia berpendapat bahwa guru dan lingkungan sosial belum terbiasa dengan keberagaman akademik di dalam kelas. “Gurunya sudah dilatih apa belum? Lingkungan sosialnya sudah disiapkan apa belum? Jangan-jangan masih ada bully,” ujarnya.

Senada dengan Sari, Sesil pun menyoroti kekacauan yang terjadi pada penerapan jalur penerimaan afirmasi difabel di sekolah-sekolah dengan program inklusi. Ia menjelaskan bahwa guru-guru yang mengajar di sekolah inklusi tidak dibekali dengan fasilitas dan ilmu yang memadai untuk mengajar siswa-siswa berkebutuhan khusus. “Kota Yogyakarta membuat kesempatan untuk peserta didik berkebutuhan khusus itu masuk ke sekolah negeri, tetapi faktanya adalah bapak dan ibu guru tidak dibekali dengan ilmu,” keluh Sesil.

Lebih lanjut, Mala menyampaikan bahwa Unit Layanan Disabilitas (ULD) terkesan memaksakan anak-anak yang berkebutuhan khusus agar bisa masuk ke sekolah inklusi. Padahal, ia menyebutkan bahwa jika dilihat hasil tes psikologisnya, siswa tersebut direkomendasikan untuk masuk ke Sekolah Luar Biasa (SLB). “Jadi, ULD itu masih memaksakan bahwa anak-anak yang bisa masuk ke sekolah inklusi itu minimal IQ-nya adalah 50, sedangkan yang kami temui, anak-anak yang IQ-nya rata-rata 50 ke bawah belum dapat memahami konsep dasar huruf dan angka,” ungkap Mala.

Selain mengeluhkan kebijakan tersebut, Mala juga merasa bahwa kurikulum yang diterapkan pada siswa-siswa berkebutuhan khusus tidak cocok bagi mereka. Ia melihat para siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi kesulitan dalam mengikuti pembelajaran. “Mereka dipaksa, yang tidak bisa membaca harus membaca dan tidak ada penyederhanaan materi ataupun tujuan pembelajaran yang berbeda,” tutur Mala.

Terkait masalah ini, Faisal menyoroti adanya ketidaksinkronan dalam birokrasi pusat dengan praktik lapangan tingkat daerah di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa pemerintah pusat seakan menutup mata dalam melihat kerumitan birokrasi di level bawah. “Ini menunjukkan ada kesenjangan juga tentang bagaimana pemerintah dan pekerja lapangan melaksanakan tugas mereka,” pungkasnya.

Penulis: Muhamad Muflihun, Nisa Ayu Taqwalin, Rifky Wildhani (Magang)
Editor: Reyhan Maulana Adityawan
Fotografer: Hadrian Galang Widyadhana (Magang)

7
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...

Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...

Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah

Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan

Jejak Trauma Kolektif Korban Kekerasan Orde Baru dalam...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Warga Pesisir Semarang dalam Getir Tata Kelola Air

    Juni 30, 2025
  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM