
©Bintang/Bal
Selasa (22-03), massa aksi yang terdiri dari berbagai elemen gerakan rakyat berkumpul di sekitar Tugu Pal Putih. Aksi yang diikuti oleh ratusan mahasiswa dan warga masyarakat ini menuntut Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, untuk menghentikan rencana penambangan penambangan di di Desa Wadas. Aksi ini diisi dengan kegiatan orasi, pembacaan puisi, dan pembagian hasil bumi Desa Wadas. Massa aksi menyuarakan keresahan masyarakat dengan poster, salah satunya adalah alternatif tambang selain di Desa Wadas.
Rifqi selaku perwakilan dari Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas mengatakan bahwa ada alternatif tambang andesit lain selain di Desa Wadas. Ia memaparkan bahwa setidaknya ada empat lokasi alternatif, salah satunya adalah di Desa Guyangan, Kecamatan Loano. Rifqi menegaskan bahwa di Desa Guyangan sudah ada sosialisasi mengenai penambangan andesit dan tidak mendapat penolakan dari masyarakat. Namun, pemerintah mengatakan bahwa batuan andesit di Desa Guyangan masih belum cukup untuk pembangunan Bendungan Bener. “Pemerintah masih mengincar Wadas yang kandungan batu andesitnya lebih banyak,” ujarnya.
Sehaluan dengan Rifqi, menurut Wetube, Tim Kajian LBH, pemerintah sudah tahu soal alternatif tambang andesit selain di Desa Wadas. Alternatif tersebut pernah disampaikan oleh Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah. Wetube mengatakan bahwa alternatif tersebut berada kurang lebih sepuluh kilometer dari Bendungan Bener. Alasan jarak itulah yang menyebabkan pemerintah urung memikirkan alternatif tersebut. Lanjutnya, pemerintah juga tidak boleh melakukan penambangan, harus melalui prosedur hukum yang berlaku.“ Hari ini pemerintah lalai hingga mengorbankan warga Wadas yang tanahnya tidak mau dieksploitasi atas nama keberlanjutan alam dan hidup anak cucu,” tegas Wetube.
Dilihat dari sisi lain, Agung Wardhana, Dosen Hukum Lingkungan Universitas Gadjah Mada menegaskan bahwa kasus Wadas harus dilihat dari upaya pemerintah menjalankan Proyek Strategis Nasional (PSN). Sehubungan dengan hal itu, Agung menuturkan bahwa legitimasi negara dalam konteks global dinilai dari mampu tidaknya pemerintah mempertahankan atau menumbuhkan perkembangan ekonomi. Pemerintah, menurutnya, menjadikan PSN sebagai tolak ukur keberhasilan mereka. Oleh sebab itu, Agus mengatakan ada legitimasi pemerintah yang dipertaruhkan jika PSN di Wadas gagal. “Dengan berbagai cara, mau tidak mau, mereka mendorong proyek ini dengan upaya negosiasi dan bahkan menggunakan jalan-jalan represif,” ujarnya.
Era dari LBH Yogyakarta juga mengungkap bahwa selain kandungan batuan andesit yang tinggi, Wadas dipilih karena jarak yang lebih dekat dengan bendungan. Oleh karena itu, menurutnya pertambangan ini hanya persoalan perhitungan ongkos yang mengharuskan pertambangan tetap di Wadas. Namun, ia menekankan bahwa pemerintah tidak mencantumkan dampak sosial, ekonomi, bahkan budaya dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Era menambahkan jika hal tersebut tercantum dalam AMDAL, pertambangan tidak bisa dipaksakan begitu saja. “Pertambangan bukan merupakan kategori kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum,” ujarnya.
Terkait alternatif pertambangan, Agung turut mengamini bahwa di AMDAL Wadas ada alternatif tersebut, tetapi lokasi lebih jauh dan bakal menambah ongkos. Namun menurutnya, pemerintah harus mulai memikirkan hal tersebut karena penolakan dari masyarakat sudah masif. Alternatif yang coba ditawarkan Agung adalah mengkaji ulang kepentingan pembangunan Bendungan Bener. “Harus jelas siapa yang didahulukan kepentingannya dalam pembangunan itu,” imbuhnya.
“Dilihat dari AMDAL dan perencanaan pemerintah, Bendungan Bener difungsikan sebagai pasokan kebutuhan non primer di daerah Kulon Progo” tegas Agung. Agung menambahkan bahwa menjadi sebuah ketidakadilan ketika air dimanfaatkan untuk kepentingan tersier dengan mengalahkan air yg menjadi kebutuhan primer warga Wadas. Dengan ditambangnya Wadas, lanjutnya, maka daerah tangkapan air menjadi rusak.
Sehubungan dengan diskursus alternatif lokasi tambang di daerah lain, Agung menuturkan jangan sampai masyarakat Wadas terjebak pemikiran not in my backyard, yakni hanya memedulikan perampasan tanah yang terjadi di tempatnya sendiri. “Jangan sampai masyarakat hanya peduli pada pekarangannya sendiri (Wadas), tetapi tidak memikirkan dampak kerusakan yang terjadi di lokasi alternatif tersebut,” tegas Agung.
Penulis: Ananda Ridho Sulistya, Ilham Maulana, dan Lindra Prastica
Penyunting: Renova Zidane Aurelio
Fotografer: Aditya Muhammad Bintang