
©Enggar/Bal
Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, FISIPOL Crisis Center (FCC) menyelenggarakan diskusi daring bertajuk “Going Beyond: Women in the ‘So-Called’ Men’s Working Field” pada Jumat (11-3). Diskusi ini dihadiri oleh dua narasumber, yaitu Amalia S. Prabowo sebagai Direktur Utama Hub Ecosystem dan Sri Astutik sebagai anggota Pusat Keamanan Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan (PK4L) Universitas Gadjah Mada. Diskusi ini membahas mengenai upaya marginalisasi terhadap perempuan yang bekerja di sektor pekerjaan yang sering diasosiasikan sebagai sektor pekerjaan khusus laki-laki.
Amalia memantik diskusi dengan menceritakan ekosistem kerja di sektor ekspor yang sangat timpang gender. “Biasanya perempuan tidak mendapatkan peran untuk mengambil keputusan, mereka sering merasa terpinggirkan jika diskusi dengan pria di dunia bisnis,” ungkap Amalia. Ia juga menambahkan bahwa biasanya ia harus mengikuti peraturan yang ada di industri tersebut, yang biasanya dibuat dan diputuskan oleh laki-laki.
Menambahkan terkait stereotip perempuan di lingkungan kerja, Amalia menjelaskan bahwa perempuan dipandang lebih mengandalkan penampilan. “Seperti ketika meeting bersama bapak-bapak, sering kali kami dibuat stres dalam menanggapi candaan yang membuat tidak nyaman,” jelasnya. Karena stereotip tersebut, Amalia berusaha berpenampilan maskulin dan mempersenjatai diri dengan kemampuan dan keilmuan yang memadai saat menghadiri forum pekerjaan.
Meskipun terdapat ketimpangan di beberapa sektor pekerjaan, Astutik berpendapat bahwa beberapa jenis pekerjaan hanya bisa dilakukan oleh perempuan. Ketika bekerja sebagai petugas PK4L, Astutik menemukan beberapa jenis pekerjaan, seperti pemeriksaan terhadap perempuan, yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan. Astutik menambahkan bahwa secara umum, tugas, pokok, dan fungsi anggota PK4L hampir sama meskipun didominasi laki-laki. “Tidak ada perbedaan, kecuali hak-hak seperti (cuti) melahirkan dan sebagainya,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Astutik turut menjelaskan terkait ekosistem kerja dan fasilitas yang dibangun oleh PK4L untuk memberikan kesetaraan kepada perempuan sebagai kelompok marjinal pada profesi yang ia geluti. “Ada pelatihan kedaruratan, pelatihan keprotokoleran, juga ada pelatihan pertolongan pertama pada kekerasan,” jelas Astutik. Menurutnya, PK4L selalu mengadakan pelatihan untuk menambah kemampuan semua anggotanya, tidak peduli laki-laki atau perempuan.
Kendati demikian, Astuti tetap mendapat berbagai stereotip sebagai perempuan yang bekerja di bidang pekerjaan yang erat dengan laki-laki. Ia mengaku sering menjadi bahan perbincangan masyarakat karena pulang larut malam. “Pasti sering kali dikira sebagai perempuan yang tidak-tidak, itu sudah biasa. Hal seperti ini tidak terjadi pada laki-laki,” tuturnya.
God Samderubun, salah satu peserta diskusi, turut menambahan penjelasan kondisi ketimpangan gender dalam lingkungan kerja yang terjadi di Papua. Menurutnya, perempuan di Papua sulit mendapat kesempatan bekerja. Ia bercerita bahwa perempuan di Papua tidak bisa berprofesi sebagai petugas keamanan karena tidak memenuhi kriteria. Hal itu disebabkan karena perempuan dianggap lemah secara fisik dan tidak tangkas. “Saya sendiri beberapa kali mengutamakan perempuan agar mendapatkan beasiswa pendidikan hanya karena kasihan,” ungkapnya.
Menanggapi Astuti dan God, Amalia mengungkapkan bahwa perempuan tetap memiliki kuasa untuk melawan stereotip. Sebagai perempuan yang menduduki posisi strategis, Amalia mengungkapkan bahwa beberapa cara dapat dilakukan untuk menghapus stereotip perempuan di dunia kerja. “Misalnya dalam penggarapan sebuah acara yang mayoritas digarap oleh laki-laki, saya ingatkan untuk memasukkan perempuan dalam kepengurusan,” ucap Amalia.
Kendati demikian, Amalia berpesan kepada pekerja perempuan untuk membangun sistem pendukung dan bersedia menerima kritik dari berbagai pihak. “Jangan bersembunyi di balik sisi perempuan kita dengan meminta diprioritaskan hanya karena kita perempuan. Kita harus kuat,” pungkas Amalia.
Penulis: Dwi Fury Misgiarti, Hadistia Leovita Subakti, dan Putri Kusuma Dewi
Penyunting: Sofiana Martha Rini
Fotografer: Fransiskus Asisi Anggito Enggarjati