
©SeHAMA/KontraS
Kamis (20-01), ratusan massa aksi yang tergabung dalam Aksi Kamisan memadati pelataran di seberang Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Bertepatan dengan momentum lima belas tahun Aksi Kamisan, aksi sore itu cukup berbeda karena menghadirkan sejumlah musisi, pendongeng, dan penampil puisi. Namun, aksi sempat mengalami pembatasan berupa penyitaan dan penahanan alat pengeras suara elektronik oleh aparat. Akibatnya, sejumlah perwakilan massa aksi harus melakukan negosiasi dengan aparat hingga aksi terpaksa mundur hampir satu jam. Gagal mencapai kesepakatan, aksi tetap berlangsung menggunakan megafon.
Ahmad Sajali, staf Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), menyebut pembatasan ini telah melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Sebab, meski menyatakan pendapat merupakan hak yang dapat dibatasi dalam kondisi tertentu (derogable rights), aparat tidak memiliki ukuran pasti dalam melarang penggunaan pengeras suara dalam Aksi Kamisan. Sebaliknya, Sajali menilai sudah seharusnya massa aksi mengoptimalkan ekspresinya di depan istana selaku simbol kekuasaan negara. “Mestinya, negara senang karena rakyat bisa memberi masukan kepada mereka,” ujarnya.
Selain itu, Sajali memandang aparat tidak memiliki alasan untuk memberlakukan pembatasan. Saat bernegosiasi, mereka berdalih bahwa penggunaan pengeras suara tidak mengantongi izin. Padahal, izin untuk menggunakan perangkat elektronik tersebut sudah tercantum dalam surat pemberitahuan. “Pun seandainya kami lalai mencantumkan izin, tetap tidak ada urusan dengan polisi, kecuali kami menggunakan senjata tajam yang membahayakan,” ujarnya. Selain itu, Sajali juga menuturkan bahwa massa aksi telah menyampaikan kesediaan untuk menurunkan volume suara jika dirasa terlalu keras. Namun, argumen ini tidak digubris oleh aparat.
Lebih jauh, Sajali berpendapat bahwa pembatasan ini telah menandai gelagat mundurnya kebebasan sipil. Sebab, menurut Sajali, selama beberapa tahun pertama Aksi Kamisan berlangsung relatif damai. “Pernah dulu kami longmars mengelilingi istana, aman-aman saja,” ujarnya. Namun, belakangan ini, negara mulai memberlakukan sikap represif terhadap pegiat Aksi Kamisan secara bertahap. Contohnya, kriminalisasi atas akademisi Robertus Robet dan represi aparat ketika memukul mundur massa aksi pada tahun 2019 silam.

©SeHAMA/KontraS
Sementara itu, Sumarsih, pegiat Aksi Kamisan, memandang pembatasan ini sebagai bentuk ketidakmampuan negara menjamin kebebasan warganya. Menurutnya, negara telah gagal mengakomodasi aspirasi dan memberi ruang bagi aksi massa di lapangan. Ini merujuk pada imbauan aparat agar massa berputar mengambil jalan alternatif untuk mengantarkan perangkat aksi, tetapi saat sampai tujuan tetap tidak diperbolehkan masuk. “Negara ini senangnya mempersulit rakyat,” ujarnya. Laku mempersulit itu juga dapat dilihat dari adanya perintah mengirimkan surat pemberitahuan secara langsung di kantor kepolisian daerah setiap bulan.
Menurut Sajali, pembatasan ini juga memperlihatkan paradoks di tengah upaya lembaga kepolisian untuk membentuk citra demokratis melalui sejumlah kegiatan seperti lomba mural, orasi, dan aksi massa. “Percuma bikin itu semua kalau dalam aktualisasinya mereka tetap saja represif dan berlebihan,” ujarnya. Meski represi yang terjadi dalam Aksi Kamisan tidak sebesar di aksi massa seperti Reformasi Dikorupsi, Sajali memandang represi dan pembatasan berekspresi sebagai kekonyolan yang seharusnya tidak perlu terulang kembali.
Meski alami pembatasan, aksi sore itu tetap berlangsung dengan lancar. Sejumlah musisi, seperti .Feast, Belantara, Sangkarmalam, pendongeng Ratimaya, serta penampil puisi dari Perpustakaan Jalanan Kediri, Effendi Saleh, dan SeHAMA X mampu menghadirkan kritik dengan cara interaktif. Melalui puisinya, Effendi Saleh berharap negara segera melaksanakan semua janjinya untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM. “Janji sudah banyak, laksanakan janji itu dong,” ujarnya.
Sementara itu, massa aksi menanggapi penampilan yang disuguhkan dengan antusias. Sesekali terdengar pekikan membela korban pelanggaran HAM oleh para orator dan penampil, yang disahut para peserta dengan seruan untuk melawan impunitas. “Saya salut dengan teman-teman yang rela kehujanan mencari tempat parkir, karena tempat parkir di dekat istana pun dilarang,” pungkas Sajali.
Penulis: Han Revanda Putra
Penyunting: Bangkit Adhi Wiguna
Fotografer: SeHAMA X/KontraS