
©Sony/Bal
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus menyelenggarakan webinar nasional dengan mengangkat tema “Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan Indonesia” pada Kamis (25-11). Materi diskusi disampaikan oleh Yosep Parera, Pendiri Rumah Pancasila dan Law Firm Yosep Parera; Berliana Widi Scarvanovi, Dosen Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret; dan Maidina Rahmawati, peneliti Criminal Justice Reform.
Yosep membuka diskusi dengan mengungkapkan bahwa perempuan harus belajar menilai apapun dengan cara pandang mereka sendiri, bukan melalui mata laki-laki. Hal ini berangkat dari kesedihannya atas tindakan perempuan yang seolah-olah butuh persetujuan laki-laki. Menurutnya, prinsip dominasi laki-laki ini akan menimbulkan kekerasan seksual. “Kekerasan seksual sendiri adalah tindakan yang mengarah pada ajakan seksual tanpa persetujuan,” jelas Yosep.
Yosep menambahkan bahwa meningkatnya kasus kekerasan seksual menjadi faktor utama disahkannya Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Peraturan tersebut dibentuk guna memberi payung hukum bagi penyintas kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Yosep berpendapat bahwa peraturan ini sangat baik karena tidak hanya melindungi korban secara fisik, tetapi juga secara psikis. Perlindungan secara psikis dapat terlihat dengan diaturnya klasifikasi pelecehan seksual secara verbal. Tidak hanya kepada perempuan, peraturan ini juga melindungi laki-laki di lingkungan kampus. “Peraturan ini sudah mengakomodasi hak mahasiswa dan mahasiswi untuk menjaga integritas dirinya serta tubuhnya,” tegasnya.
Melengkapi penjelasan Yosep, Maidina memaparkan bahwa kekerasan menurut teori kriminologi berkaitan dengan kekuasaan dan dominasi. Orang yang memiliki kedua hal tersebut cenderung akan lebih sering melakukan kekerasan karena adanya ketimpangan relasi kuasa. Kekerasan juga dapat terjadi karena adanya kerentanan dari korban. Perempuan menjadi pihak yang lebih rentan karena budaya patriarki yang mendominasi di masyarakat. Hal tersebut berdampak pada banyaknya korban kekerasan seksual yang memilih untuk tidak melaporkan kasusnya. Lebih lanjut, Maidina menambahkan bahwa kekerasan seksual juga banyak terjadi di ranah personal. “Menurut data dari Komnas Perempuan, selama lima tahun terakhir kekerasan seksual banyak terjadi di ranah rumah tangga atau hubungan pacaran,” paparnya.
Selain itu, Maidina menyinggung persoalan hukum yang dibentuk oleh mayoritas laki-laki. Dalam proses pembentukannya, pembahasan perundangan-undangan saat ini tidak mempertimbangkan gender atau narasi yang menghadirkan peran perempuan. Sebagai contoh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengenal definisi khusus kekerasan seksual, hanya kejahatan berasaskan kesusilaan, seperti pencabulan dan pemerkosaan. “Kekerasan hanya dibatasi dalam bentuk fisik, yaitu bentuk paksaan dan ancaman kekerasan,” ungkap Maidina.
Menurut Maidina, permasalahan penanganan kekerasan seksual di Indonesia adalah belum tersedianya payung hukum yang komprehensif dalam melindungi hak prosedural korban. Ditambah dengan aspek pemulihan yang terbatas pada perlindungan saksi dan korban. Oleh karena itu, dibutuhkan peraturan yang lebih mendalam dan komprehensif dalam menangani kasus kekerasan seksual. Dalam hal ini, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dinilai penting untuk disahkan. “RUU PKS memberikan jaminan sistem peradilan pidana yang berorientasi pada korban kekerasan seksual. Mulai dari pencegahan, hingga pemulihan korban, termasuk penanggulangannya,” tambahnya.
Pemaparan selanjutnya disampaikan oleh Berli yang membahas mengenai penanganan terhadap penyintas kekerasan seksual. Menurutnya, hal pertama yang harus diberikan kepada korban adalah bantuan psikologis. Ia mengingatkan kepada siapapun yang dijadikan tempat cerita oleh korban untuk memberikan respons positif. Respons tersebut dapat diperlihatkan dengan mendengarkan ceritanya dengan baik. “Ketika memberi bantuan psikologis kepada korban, kita harus menghindari kemungkinan korban akan kehilangan power atas dirinya sendiri,” imbuhnya.
Sebagai penutup, Berli mengimbau untuk tidak memaksakan saran kita kepada korban. Sebagai pendengar, kita harus memahami kemampuan diri sendiri dan hindari menjanjikan sesuatu di luar kemampuan kita. Berli mengakhiri pemaparannya dengan memberikan semangat kepada para penyintas kekerasan seksual. “Setiap kali perempuan berani berdiri untuk dirinya sendiri, dia juga berdiri untuk perempuan lain di sekitarnya,” pungkas Berli.
Penulis: Putri Kusuma Dewi dan Sinta Damayanti (Magang)
Penyunting: Jovita Agnes
Fotografer: Theodorus Sony Baskoro (Magang)