
©Sidney/Bal
Rintik hujan yang membasahi Kota Yogyakarta tidak mengurungkan semangat belasan orang yang berpartisipasi dalam Aksi Kamisan pada Kamis (18-11). Aksi Kamisan kali ini bertajuk “23 Tahun Tragedi Semanggi, Pemerintah Tetap Ingkar Janji”. Massa aksi berbaris dalam naungan payung hitam di depan Tugu Yogyakarta. Mereka menggaungkan tuntutan kepada pemerintah untuk segera mengusut Tragedi Semanggi yang telah diabaikan selama puluhan tahun dengan membentangkan dua spanduk. Masing-masing spanduk bertuliskan “Mengutuk Segala Bentuk Pemufakatan Jahat” dan “Kejahatan terhadap Kemanusiaan adalah Pelecehan Ajaran Tuhan”.Â
Aksi dilanjutkan dengan refleksi bersama yang dipimpin oleh Mutia Iftiyani selaku perwakilan dari massa. Refleksi diawali dengan pemaparan mengenai Tragedi Semanggi secara singkat oleh Mutia. Lebih lanjut, Mutia menjelaskan bahwa Tragedi Semanggi masih relevan diangkat karena pemerintah tak kunjung menyelesaikan kasusnya. Menurutnya, Aksi Kamisan juga dilaksanakan guna menegur pemerintah yang tak kunjung menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat lainnya.Â
Wira Surya, aktivis asal Kalimantan Selatan, menuturkan masih banyak kasus pelanggaran HAM yang belum terungkap. Wira juga mengisahkan terjadinya “Jumat Kelabu”, kerusuhan di Kalimantan Selatan yang berujung pada pembakaran ruko-ruko. “Sama seperti Tragedi Semanggi yang ditelantarkan hingga detik ini, tidak ada yang mengetahui pelaku yang membakar ruko dan mengunci warga sipil sehingga mereka mati terpanggang di dalam sana,” ungkap Wira.Â
Wira memandang bahwa pemuda harus bisa merefleksikan Aksi Kamisan ini sebagai evaluasi diri ke depannya. Ia juga menyebutkan peran anak muda sebagai generasi emas di negeri ini yang akan menjadi pemimpin di masa depan. “Dengan demikian, para pemuda dapat menjadi pemimpin yang lebih baik dari pemimpin yang sedang menjabat sekarang,” imbuhnya.
Muhammad Rasyid, mahasiswa Fakultas Teknik UGM, mengaku bahwa baru kali ini dirinya turun langsung dalam Aksi Kamisan. Rasyid juga mengungkapkan kegelisahannya terhadap pengusutan pelanggaran HAM di Indonesia. Rasyid menyatakan kekagumannya terhadap pemerintah Jerman yang mampu memburu dan mengadili pelaku-pelaku pelanggaran HAM berat. “Jika negara lain bisa, mengapa di Indonesia tidak?” tandasnya.Â
Sementara itu, salah seorang aktivis bernama Ali juga memendam rasa kecewa. Ali merupakan salah satu aktor yang berperan dalam pembentukan Aksi Kamisan pertama kali pada tahun 2007. Ia menjuluki para aktivis yang berbalik arah dengan mendukung sistem pemerintahan masa kini sebagai penjilat. Sebab, Ali beranggapan bahwa para aktivis tersebut melupakan perjuangan kaum marjinal dan justru semakin menekan kehidupan mereka. “Mereka menjadi penjilat atau jauh dengan masyarakat sehingga tidak sensitif,” tandas Ali menumpahkan kekecewaannya.Â
Menurut Ali, salah satu contoh matinya sensitivitas HAM para mantan aktivis yaitu penyelenggaraan Festival HAM 2021. Ali memaparkan jika Festival HAM 2021 mengundang sejumlah pelanggar HAM untuk menjadi pembicara. “Parahnya, aktor-aktor penyelenggara acara itu yang dulunya memperjuangkan HAM,” ungkapnya.Â
Penulis: Dhestia Arrizqi Haryanto, Sidney Alvionita Saputra (Magang)
Fotografer: Sidney Alvionita Saputra (Magang)
Penyunting: Viola Nada Hafilda