
©Fransiskus/Bal
Minggu (07-11), Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Sena Wangi) menyelenggarakan talk show untuk memperingati Hari Wayang Nasional ke-3. Acara tersebut berlangsung di Gedung Pewayangan Kautaman. Tiga narasumber hadir dalam acara ini, yakni Kepala Biro Humas dan Protokol BNN, Brigadir Jenderal Polisi Sulistyo Pudjo Hartono; budayawan, Y. Sudarko Prawiroyudo; tokoh muda generasi penerus wayang, Destiyan Wahyu Setiadji; dan anggota Dewan Pers Nasional, Ninok Leksono.
Sulistyo menyebutkan tiga variabel, yaitu wayang, soft skill, dan anti narkoba, yang mengawali pembahasan talk show kali ini. Ia mengatakan, “Wayang dalam pembangunan soft skill sebetulnya mendorong kita melihat jati diri manusia.” Namun, berdasarkan data yang beliau sampaikan, sekarang Indonesia sedang menghadapi tantangan luar biasa yaitu permasalahan narkotika. Dalam setahun terakhir, 1,80% dari penduduk Indonesia merupakan pengguna narkoba. Untuk itu, keluarga, penggiat seni, dan komunitas seni dapat melakukan pencegahan dengan menjadi dalang penyampaian soft skill yang ditumbuhkan dari nilai moral dan nilai budaya, tepatnya melalui pagelaran wayang.Â
Menurut Sudarko, wayang itu membahas wujud kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang salah satunya adalah ideologi. “Dalam hal ini saya menyoroti nilai plural, egaliter, dan gotong royong,” tambahnya. Berdasarkan definisinya, plural berarti lebih dari satu. Keberagaman yang ada perlu disikapi layaknya cerita pendirian Negeri Indraprasta, negeri bentukan Pandawa dengan ras raksasa Pringgondani. Selanjutnya, egaliter artinya kesederajatan. Janganlah bertindak seperti Kresna dan Abimanyu yang merendahkan Semar dalam cerita Semar Kuning. Terakhir, gotong royong, yaitu bersama-sama membawa barang. Beliau membubuhkan pesan berdasarkan cerita Dewi Kunthi dan kelima putranya (Pandawa) sebagai nilai gotong royong, “Tiji Tibeh! Mati siji mati kabeh. Mukti siji mukti kabeh. Selamat Hari Wayang Nasional!” Pesan dan ucapan tersebut menutup penyampaian hal yang disorot dari ideologi Pancasila.Â
Selanjutnya Ninok Leksono, mengatakan bahwa perjuangan wayang di Indonesia tidak dapat berhenti pada sebatas perolehan status Warisan Budaya Tak Benda. Ia menyoroti tiga kewajiban kita di samping mendapatkan hak kehormatan tersebut, yaitu untuk melestarikan, memopulerkan, dan menginovasi wayang. Ninok juga menyampaikan pentingnya penyesuaian baru pewayangan di era pandemi ini. “Seniman wayang harus dapat menyesuaikan perubahan lingkungan modern, terutama fleksibilitas jam tayang pagelaran yang dapat dilakukan pada dini hari,” pungkasnya.Â
Sujiwo Tejo, yang turut hadir dalam acara mengatakan bahwa kesenian harus hidup di tengah masyarakat. “Yang harus dipelihara dari wayang adalah denyut nadinya. Seniman harus kreatif supaya dapat menarik perhatian anak muda dengan memberikan sisi baru pada dunia pewayangan,” tuturnya. Ia kembali menegaskan bahwa sebelum melihat permasalahan pada media sebaiknya terlebih dahulu melihat tokoh seniman wayang atau dalang.Â
Sebagai perwakilan dari generasi muda, Destiyan memaparkan bahwa diperlukan modernisasi dalam seni pertunjukan wayang agar dapat lebih dekat dengan generasi yang lebih muda. “Kalau mereka dipaksa untuk memasuki ruang yang tidak mereka kenal, saya kira akan menjadi sulit bagi wayang ini untuk menarik minat generasi Z.”
Lebih lanjut lagi, Destiyan menambahkan bahwa keberlangsungan wayang ada di kalangan penikmatnya. Menurutnya, ketika masyarakat sebagai penikmat mau menerima dan menikmati suatu kebudayaan, maka kebudayaan tersebut juga akan terus berjalan. Akan tetapi, apabila suatu kebudayaan tidak mau fleksibel mengikuti dinamika perkembangan masyarakat saat ini, besar kemungkinan kebudayaan tersebut lama-kelamaan akan ditinggal oleh generasi penerusnya.Â
Penulis: Maria Adelina Puspaningrum, Eleonora Astrid Floretta Jama, dan Estha Gusmalia Kustika (Magang)
Penyunting: Salsabila Safa Hanan
Fotografer: Fransiskus Asisi Anggito Enggarjati (Magang)Â