
©Bintang/Bal
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Pusat Kajian Politik (PUSKAPOL) Universitas Indonesia, dan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) mengadakan forum diskusi pada Rabu (03-11), dengan tajuk “Tarik Ulur Penentuan Jadwal Pemilu, Apakah KPU Masih Independen?”. Webinar yang dilaksanakan melalui daring ini menghadirkan tiga narasumber ahli, yaitu Huriyyah selaku Wakil Direktur PUSKAPOL Universitas Indonesia, Aqidatul Izza Zain sebagai peneliti di SPD, dan M. Ichsan Kabullah, anggota PUSaKO Universitas Andalas. Diskusi yang berjalan sekitar dua jam ini membahas serba-serbi molornya penetapan jadwal Pemilu oleh KPU.
“Pertama, kita lihat dulu alasan di balik perbedaan usulan, ada pertimbangan yang berbeda-beda baik dari penyelenggara, pemerintah, termasuk stakeholder yang berkepentingan dalam pemilu, yaitu politisi dan partai politik,” jelas Hurriyah. Pertimbangan yang dimaksud Hurriyah adalah mulai dari kesiapan, urgensi jeda, tradisi, hingga anggaran. Huriyyah menjelaskan lebih lanjut bahwa munculnya pertimbangan-pertimbangan tersebut disebabkan Pemilu bukan sekadar memilih dan dimilih, melainkan juga menjunjung esensi dan manfaat dari Pemilu itu sendiri.
“Pemilu seharusnya menjadi momen masyarakat melakukan pergantian kepemimpinan secara demokratis,” kata Hurriyah. “Yang penting dari pemilu adalah kualitas demokrasinya, dan hal ini tidak selalu dinilai dari angka-angka numerik atau tingkat partisipasi pemilih.” Ia melanjutkan, kualitas jalannya pemilu juga dinilai dari penjaminan kesehatan dan keselamatan baik dari masyarakat, peserta, maupun pihak penyelenggara.
Lebih lanjut, Aqidatul menyarankan semua pihak mulai dari penyelenggara, pemerintah, peserta, dan pemilih untuk mempersiapkan Pemilu 2024. “Pemerintah bersama penyelenggara Pemilu seharusnya menjadikan Pemilu 2019 dan tahun-tahun sebelumnya sebagai acuan dalam mencegah hal-hal buruk terulang kembali, daripada hanya meributkan persoalan tanggal dan jadwal. Biarkan persoalan agenda tersebut menjadi tugas KPU periode selanjutnya dan dijadikan sebagai penguji kualitas,” saran Aqidatul.
Ichsan membeberkan alasan mengapa kejelasan jadwal pemilu berkaitan dengan kualitas penyelenggaraan pemilu. Ia mengatakan, “Pemilu yang berkualitas dipengaruhi oleh kepastian dalam mendapatkan jadwal pemilu.” Ichsan juga mengungkit kenaikan partisipasi pemilih Pemilu 2014 dan 2019. Menurutnya, pada 2014 tingkat partisipasi pemilihnya sebesar 75,1%, lalu di Pemilu 2019 terjadi peningkatan partisipasi pemilih di angka 81%, angka yang secara nasional di atas rata-rata menjadi 77, 5%, kenaikan itu disebabkan kejelasan jadwal pemilu.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, terdapat 18 tahapan dalam penyelenggaraan Pemilu, mulai dari perencanaan program, penyusunan peraturan KPU, hingga pemungutan suara. Umumnya, proses tersebut memakan waktu dua bulan. Menurut Ichsan, proses Pemilu dapat berjalan mulus apabila memiliki jadwal yang pasti. “Perencanaan program sampai pemilihan suara ternyata bisa berjalan dengan baik karena adanya kepastian jadwal yang sudah ditentukan di tingkat nasional,” jelasnya.
Iskandar, salah seorang peserta diskusi, berharap penetapan Undang-Undang Pemilu jangan sampai berimplikasi ke penyelenggara pemilu tingkat bawah. Menurut pengalamannya sebagai Bawaslu daerah, penyelenggara di tingkat kabupaten sering dihadapkan dengan situasi yang tidak menguntungkan. “Kelancaran dari Pemilu dan Pilkada yang akan dilaksanakan menjadi kekhawatiran tersendiri, terlebih bagi para penyelenggara tingkat bawah,” tutur Iskandar.
Sebagai penutup diskusi, Aqidatul menegaskan fokus diskusi demokrasi itu harus dikaitkan dengan persoalan dasarnya, yaitu demokrasi, bukan hanya mempersoalkan kelembagaan. Menurutnya, masyarakat sebagai pemilik kontrol sosial memiliki hajat untuk turut andil mengawasi jalannya demokrasi, dan negara seharusnya tidak boleh menghilangkan hak tersebut. “Jelas masyarakat juga punya andil dalam mengontrol perkara demokrasi,” ujar Aqidatul lebih lanjut.
Penulis: Anastasya Egidia Amanda, Averina Odelia, Fahri Reza Muhammad (Magang)
Penyunting: Sofiana Martha Rini
Fotografer: Aditya M. Bintang (Magang)