Kamis (28-10), Paguyuban Darah Juang mengadakan peluncuran antologi puisi bertajuk “Darah Juang” yang berlangsung di Kopi Lembah, Universitas Gadjah Mada. Acara yang dipimpin oleh FX Rudy ini dihadiri sekitar 30 partisipan, dengan beberapa tokoh seperti John Tobing dan Afnan Malay. Pembacaan puisi, pembagian buku, dan menyanyi bersama merupakan bagian dari kegiatan yang diselenggarakan. Selain bertujuan untuk menyalurkan semangat dari anggota paguyuban, acara ini juga merupakan upaya anggota paguyuban untuk tetap produktif di tengah pandemi.
Acara diawali dengan pembacaan Sumpah Mahasiswa karya Afnan Malay. “Sumpah Mahasiswa menjadi karya ikonik saat itu untuk melawan orde baru,” ujar Afnan. Dia juga mengungkapkan bahwa ada karya ikonik lainnya yang berasal dari anggota paguyuban, yaitu lagu Darah Juang gubahan John Tobing yang kemudian menjadi nama dari paguyuban sekaligus menjadi judul dari antologi puisi mereka.
Dalam proses pembuatan antologi ini, Rudy bercerita bahwa ia memicu para anggota paguyuban untuk membuat antologi dan respons yang didapatkannya luar biasa. Bahkan, menurut Rudy, mereka langsung mengirimkan karya puisinya yang bagus-bagus sehingga jadilah antologi ini.
Menambahkan ceritanya, Rudy berkata bahwa puisi dalam antologi Darah Juang ini berisi ungkapan personal para anggota paguyuban mengenai pandemi, tetapi tidak keluar dari konteks persoalan yang diperjuangkan oleh paguyuban. Lebih lanjut, menurutnya, pandemi telah merubah tatanan yang mengharuskan setiap orang untuk tetap produktif. “Itu yang kemudian kita coba untuk terus gulirkan, terus wacanakan melalui karya, melalui karya itu yang penting, jadi tidak hanya sekedar diskusi saja tetapi harus ada bukti nyata,” ucapnya.
Berkaitan dengan kegiatan diskusi, Afnan berpesan bahwa bagaimanapun pertemuan fisik itu tetap memiliki unsur penting dalam relasi pertemanan apalagi mahasiswa. “Interaksi fisik akan menjadi wadah bagi darah muda untuk mengasah pikiran dan saling berdiskusi dari berbagai perspektif,” lanjut Afnan. Selain itu, ia menambahkan bahwa acara ini dibuat untuk mencetak penerus yang akan melanjutkan perjuangan sebelumnya.
Kus, pembawa acara dalam kegiatan ini, mengungkapkan bahwa acara ini berhasil memberi tamparan nyata pada para pendengarnya tentang kisah para alumni yang diceritakan pernah dihajar dan dipopor. Menurutnya, acara ini bisa menjadi patokan semangat bagi anak muda seraya melanjutkan perjuangan tersebut. “Selama di negara ini ada penguasa, kita harus mengawalinya sampai titik darah kita, penguasa juga manusia,” tutur Kus.
Menurut Kus, perbedaan zaman membawa perbedaan dalam mengawal para penguasa, para generasi muda tidak harus melakukannya dengan aksi demonstrasi seperti dulu, tetapi juga bisa dengan cara-cara lain seperti menyebarkan kabar baik agar perjuangan terus dilanjutkan. “Acara ini mengingatkan kita untuk terus berjuang entah dengan siapa pun dan cara apa pun sehingga ini menjadi sesuatu yang diingat oleh penguasa,” tambah Kus.
Laksito Lintang, mahasiswa Fakultas Filsafat UGM yang datang ke acara, memberi ulasan dengan menyebut partisipan-partisipan di acara ini merupakan bajingan (supir reformasi atau aktivis) pada masanya. “Saya ingin menjadi salah satu bajingan tersebut,” tambahnya.
Penulis: Wahid Nur Kartiko, Siti Fatria Pelu, dan Selma Karamy (Magang)
Penyunting: Fauzi Ramadhan
Fotografer: Aditya Bintang (Magang)