Selasa (24-08), International Labor Organization (ILO) bekerja sama dengan Jurnal Perempuan mengadakan diskusi daring sekaligus peluncuran Jurnal Perempuan Edisi 108 bertajuk āPerempuan Pekerja di Tengah Krisis dan Perubahan Teknologiā. Diskusi ini diselenggarakan melalui Zoom dan menghadirkan Elly Rosita Silaban, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia; Asfinawati, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia; Maya Juwita, Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment; dan Lusiani Julia, Staf Program untuk Kesetaraan Gender ILO untuk Indonesia dan Timor-Leste.
Elly mengawali diskusi dengan mengeluhkan betapa sulitnya mendorong partisipasi perempuan dalam kepemimpinan serikat pekerja. Dalam pertemuan-pertemuan serikat pekerja pun laki-laki masih mendominasi. Elly khawatir diamnya perempuan ini dianggap seakan tidak ada masalah berarti. āPadahal kehadiran perempuan adalah upaya agar keresahan mereka dapat disampaikan dan diperjuangkan,ā jelasnya.
Selain itu, sekalipun laki-laki dalam serikat pekerja menghormati perempuan, menurut Elly, mereka tetap tidak dekat dengan isu-isu perempuan. Sebab, laki-laki tidak merasakan hal yang perempuan alami, sehingga tidak terpikirkan bagi mereka untuk memperjuangkannya. Contoh permasalahan yang Elly maksud yaitu maternitas, menyusui, hingga menstruasi.Ā
Maya melanjutkan diskusi dengan membahas beban bertingkat perempuan di masa pandemi. Perempuan mesti bekerja, mengurus rumah tangga, sampai menjadi guru untuk anak-anaknya. Ditambah lagi, Maya menyebutkan bahwa perempuan juga dituntut untuk melek teknologi karena beban-bebannya tersebut. Padahal, digital fluency Indonesia menempati nomor dua dari bawah dibanding negara-negara lain.Ā
Maya menjelaskan, karena adanya beban bertingkat bagi perempuan, bekerja dari rumah menjadi alternatif yang efektif. Akan tetapi, hal itu juga membuat perempuan kelelahan karena kaburnya batasan antara pekerjaan dan kehidupan selain kerja. Menurutnya, hal tersebut patut menjadi pertimbangan bagi perusahaan. Ia mencontohkan, di tempatnya bekerja, hal-hal kecil mengenai kesetaraan gender sangat diperhatikan, seperti: 1) Rapat tidak boleh dimulai sebelum pukul 08.30 karena perempuan sedang menyiapkan sarapan; 2) Selalu ada jeda minimal sepuluh menit jika ada rapat berkelanjutan; 3) Menyapa anak-anak yang muncul di layar para pekerja; 4) Menanyakan keadaan dan perkembangan setiap pekerja. āKepekaan tersebut biasanya dimiliki oleh pemimpin perempuan,ā ujarnya.
Selain itu, perempuan juga memikul beban lain. Asfinawati memaparkan bahwa terdapat bias gender dalam regulasi ketenagakerjaan. Sebagai contoh, pekerja perempuan didahulukan untuk di-PHK karena mereka dianggap tidak akan menolak dan bukan penopang utama keluarga. Menurut Asfinawati, tindakan tersebut berakar dari UU Perkawinan yang mengatakan bahwa perempuan adalah ibu rumah tangga.
Kondisi yang ada diperburuk oleh kehadiran UU Cipta Kerja. Salah satunya yaitu pengaturan tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang menurut Asfinawati memojokkan perempuan untuk tidak hamil. Hal itu dikarenakan PKWT yang awalnya maksimal hanya lima tahun, sekarang dapat diperpanjang sesuai keinginan perusahaan. Padahal, seringkali mereka diupah berdasarkan satuan waktu dan hasil. Pekerja juga dipaksa bekerja dengan jam tertentu dan harus menyelesaikan sejumlah target yang telah ditentukan pula. Asfinawati memandang hal ini sebagai diskriminasi langsung bagi perempuan. āBayangkan kalau perempuan sedang hamil atau menstruasi, pasti mereka lebih lelah karena ada target produksi tertentu,ā sambungnya. Ia melanjutkan, kondisi tersebut membuat perempuan menahan diri untuk masuk ke sektor tertentu karena tahu bahwa mereka sulit untuk bertahan.
Sementara itu, Lusiani menyoroti soal kekerasan seksual di tempat kerja. Baginya, permasalahan ini wajib menjadi bagian dari kebijakan di tempat kerja. Sebab, nihilnya kebijakan membuat perempuan atau korban dapat hilang kepercayaan terhadap sistem.Ā Ia melanjutkan, masalah tersebut menyebabkan ketiadaan akses untuk mengadvokasi diri. āKebijakan mengenai hal tersebut telah diatur dalam Konvensi ILO No. 190 tahun 2019 dan Indonesia telah meratifikasinya. Namun, belum berjalan efektif, sehingga semua pihak harus ikut andil dalam isu iniā tandasnya.
Sebagai pelengkap diskusi, Atnike selaku Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan sekaligus moderator menjelaskan soal regulasi. Ia membaca belum ada klausa soal keterwakilan perempuan dalam regulasi yang mengatur ketenagakerjaan. āIni membuktikan bahwa belum ada pengarusutamaan gender dalam regulasi ketenagakerjaan di Indonesia,ā pungkasnya.
Penulis: Viola Nada Hafilda
Editor: Anisa Azmi Nurrisky A