
©Winda/Bal
Selama tahun 2020, tercatat ada 55 permasalahan pengawasan intelijen di Indonesia. Permasalahan tersebut terbagi ke dalam enam kategori, yaitu masalah transparansi; kelemahan regulasi; kompleksitas ancaman; konflik kepentingan; kelemahan kapasitas aktor pengawas; dan intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi. Dampak dari permasalahan intelijen di Indonesia adalah penyelewengan nilai-nilai demokrasi.
Temuan ini disampaikan Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui sebuah kertas kerja dalam diskusi daring bertajuk “Menguak Kabut Pengawasan Intelijen di Indonesia” pada Rabu (03-03). Diskusi tersebut dihadiri oleh empat narasumber, yaitu Busyro Muqoddas, Dosen Fakultas Hukum UII; Sandrayati Moniaga, Komisioner Komnas HAM; Diandra M. Mengko, Peneliti P2 Politik LIPI; dan Budi Setyarso, Pemimpin Redaksi Koran Tempo.
Memulai diskusi, Diandra membacakan kertas kerja yang menilik lebih jauh model pengawasan intelijen di Indonesia yang terdiri dari tujuh aktor pengawas. Aktor-aktor tersebut di antaranya presiden, DPR, publik, lembaga negara independen, internal intelijen, pengadilan negeri, dan aktor internasional. Dari ketujuh aktor tersebut, publik menempati posisi kedua dalam permasalahan pengawasan dengan sebelas permasalahan. Permasalahan tersebut di antaranya mencakup konflik kepentingan, intimidasi, kelemahan regulasi, dan kelemahan kapasitas aktor pengawas.
Diandra mengatakan bahwa keterbatasan publik dalam mengakses informasi intelijen dan ketidakpercayaan terhadap penegak hukum menjadi hambatan dalam melakukan pengawasan publik. Padahal, keterlibatan publik akan menunjukkan demokratisnya pengawasan intelijen. “Model pengawasan intelijen Indonesia saat ini belum dapat mendorong pengawasan yang profesional dan demokratis,” tuturnya.
Sejalan dengan Diandra, Muqoddas berpendapat bahwa demokratisasi lembaga intelijen merupakan istilah yang elitis dan tidak realistis. Ia kemudian mempertanyakan proses pengawasan intelijen yang berbasis kerakyatan. Menurut Muqoddas, ada perbedaan yang besar antara teori dan praktik dalam pengawasan intelijen. Kajian tentang problematika pengawasan intelijen seharusnya berbasis kajian akademis demokratis, tetapi pada realitanya selalu tertutup dari hak-hak rakyat.
Ia menyampaikan bahwa ada ketidaksesuaian prinsip demokrasi dengan realita pengawasan intelijen di Indonesia. Hal ini terjadi pada kepala intelijen selaku aktor resmi pengawasan intelijen. Melihat sejarahnya, posisi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) selalu dipegang oleh tokoh militer. Padahal menurutnya, Kepala BIN sebaiknya memiliki rekam jejak sebagai aktivis demokrasi, bebas dari konflik kepentingan, dan tidak diangkat sepihak oleh presiden.
Muqoddas juga menyoroti pentingnya peran masyarakat sipil dalam memperjuangkan demokrasi badan intelijen. Peran tersebut meliputi keterlibatan dalam melakukan evaluasi terhadap badan intelijen, pembuatan naskah akademik, serta mendorong urgensi untuk merevisi UU Intelijen. “Perlu evaluasi elemen masyarakat sipil terhadap kinerja, paradigma, dan peraturan kelembagaan badan intelijen,” jelas Muqoddas.
Sandra selaku Komisioner Komnas HAM melihat fungsi lembaga negara independen sebagai aktor pengawas. Menurutnya, lembaga negara independen hingga saat ini memiliki model pengawasan yang hanya berupa masukan kepada presiden atau Komisi I DPR. Ia berpendapat bahwa model pengawasan tersebut dapat lebih didalami dengan melibatkan lembaga negara independen dalam menyelesaikan permasalahan pengawasan intelijen yang sudah teridentifikasi.
Budi Setyarso lebih jauh lagi, menyoroti berbagai aturan intelijen yang bermasalah. Aturan ini menurutnya adalah sejumlah aturan-aturan tidak spesifik yang memberi kewenangan tak terbatas kepada lembaga intelijen. Dampaknya, aturan-aturan tersebut menjauhkan aktor intelijen dari prinsip tanggung jawab. Salah satunya aturan mengenai penyadapan yang tidak terbatas jenis ancamannya dan tidak ada pengawas yang mengontrol. “Pengawasan intelijen harus diperkuat agar masalah-masalah dapat diatasi dan menempatkan BIN di dalam kehidupan bernegara yang demokratis,” tutup Budi.
Penulis: Renova Zidane Aurelio, Abdul Azizul Hakim, dan Agnes Palupi,
Editor: Syifa Hazimah H.A.
Fotografer: Winda Hapsari Indrawati