
©Rika/Bal
Selasa (11-01), Indonesia Corruption Watch (ICW) mengadakan diskusi daring bertajuk āSegudang Pekerjaan Rumah Kapolri Baru: Perbaikan Kinerja Pemberantasan Korupsi dan Meminimalisir Pelanggaran Hak Asasi Manusiaā. Diskusi ini menghadirkan empat pembicara yaitu Kurnia Ramadhana, Peneliti ICW; Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia; Fatia Maulidiyanti, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS); dan Herlambang Wiratraman, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Diskusi ini dimoderatori oleh Tibiko Zabar dan disiarkan langsung melalui laman Facebook ICW.
Sebagai pembuka diskusi, Kurnia Ramadhana memaparkan beberapa persoalan yang menyelimuti lembaga kepolisian. Pertama, mengenai integritas anggota kepolisian. Kurnia mengungkapkan perlunya kepastian seluruh jajaran kepolisian untuk melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Berdasarkan data pertengahan 2019, hanya 12.000 anggota kepolisian yang melaporkan LHKPN dari total 29.526 anggota. Lebih lanjut, ICW menuntut revisi keputusan Kapolri No Kep/1059/X/2017 mengenai Wakapolda tak wajib lapor LHKPN.
Kedua, kurangnya koordinasi antar penegak hukum. Kurnia menyebut dua contoh perkara yang mendukung kesimpulan tersebut, yaitu korupsi pengadaan simulator Surat Izin Mengemudi dan keterlibatan perwira tinggi Polri dalam kasus suap Joko S Tjandra. Menurutnya, Kapolri perlu memitigasi adanya konflik kepentingan dan menyerahkan perkara yang melibatkan oknum internalnya ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ketiga, kurangnya keterbukaan informasi penanganan perkara ke publik. Meskipun sudah masuk kategori cukup baik dengan nilai 70,5% dalam penanganan Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kepolisian masih dianggap tertutup. “Tertutupnya akses SP3 pada publik menyebabkan kewenangan ini rawan disalahgunakan”, tambah Kurnia.
Keempat, hilangnya penilaian indikator promosi jabatan di lingkungan Polri. Kurnia menjelaskan bahwa masih ditemukan anggota Polri yang menempati jabatan strategis dengan rekam jejak bermasalah. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan untuk mempromosikan jabatan bagi anggota kepolisian dengan menjunjung tinggi nilai integritas, profesionalitas, partisipatif, transparan, akuntabel, dan independen.
Kelima, meningkatnya anggota Polri yang menduduki jabatan publik. Data KontraS menyebutkan dalam rentang Juni 2019 sampai Mei 2020, ada 30 anggota Kepolisian, baik aktif maupun purna tugas yang memiliki jabatan di luar kepolisian. “Hal ini perlu dikritisi karena bertentangan dengan UU Kepolisian dan dapat menimbulkan konflik kepentingan,” jelas Kurnia.
Keenam, menurunnya penindakan kasus korupsi. Berdasarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA Petikan) tahun 2019 yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan, setiap kepolisian di tingkat daerah maupun pusat memiliki target kasus: Bareskrim Polri (25 kasus), Polda (20 kasus), dan Polres (1 kasus). Sehingga target kepolisian per tahun sebanyak 1.205 kasus. “Nyatanya, sepanjang tahun 2019 kepolisian hanya mengerjakan 100 kasus dengan 309 tersangka”, jelas Kurnia.
Melanjutkan Kurnia, Asfinawati menyorot hukum Polri yang bermasalah pada beberapa tahun ke belakang. Pertama, Peraturan Kapolri tahun 2009 mengenai HAM. āBerdasarkan data Komnas HAM, dari tahun 2015 Kapolri selalu masuk 3 besar pelanggar HAMā, jelas Asfinawati.
Kedua, permasalahan pada surat Telegram ST/1100/IV/HUK.7.1.1/2020 tertanggal 4 April 2020 mengenai penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara. Hal tersebut menjadi masalah karena bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang mengatakan bahwa penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara tidak mengikat. āKebijakan ini berpotensi menghambat kebebasan berpendapat dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.ā tutur Asfinawati.
Ketiga, permasalahan surat Telegram STR/645/X/PAM.3.2/2020 tertanggal 2 Oktober 2020 terkait larangan unjuk rasa yang dibuat mendekati aksi Omnibus Law Cipta Kerja. Asfinawati menyatakan, alih-alih untuk menghambat penyebaran COVID-19, larangan ini ditujukan untuk mencegah aksi dan dapat menghambat kritik publik kepada pemerintah.
Herlambang kemudian memaparkan masalah dasar Kapolri mendatang adalah masalah kepercayaan publik. Berdasarkan survey Sustainable Financing and Investing (SFI) pada Desember 2020, kepercayaan publik pada Polri hanya berkisar 59,7 persen. “Minimnya kepercayaan publik inilah yang menyebabkan lembaga kepolisian memiliki citra negatif di masyarakat”, cetus Kurnia.
Di akhir diskusi, Fatia menilai perlunya evaluasi menyeluruh lembaga kepolisian. Menurut Herlambang, perlu adanya perubahan institusi kepolisian yang lebih sistematik. Selanjutnya, Asfinawati juga menambahkan bahwa masalah reformasi adalah reformasi kepolisian.
Penulis: Latifah Nirmala, Nabila Hendra Nur A
Penyunting: Anisa Azmi Nurrisky A
Fotografer: Dzikrika Rahmatu H