
©Dok. Jurnal Perempuan
Apa yang kita bicarakan ketika kita berbicara ekofeminisme? Yayayasan Jurnal Perempuan (YJP) berusaha membedah gagasan ekofeminisme secara kritis melalui Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe). Bertempat di Kantor YJP Jakarta Selatan, serial Kaffe kali ini bertajuk “Menyoal Ekofeminisme”.
Kaffe dikemas dalam bentuk kuliah tatap muka dan daring secara berseri. Rangkaian perkuliahan mengenai ekofeminisme ini diadakan sebanyak empat kali, yakni pada tanggal 15, 22, 28, September dan yang terakhir 6 Oktober 2017. Perkuliahan ini diampu oleh empat pembicara, yakni Gadis Arivia, Aletta Baun, Nur Hidayati dan Rocky Gerung.
Gadis Arivia menjadi pembicara pada kuliah pertama Kaffe pada Jum’at (15-09). Dosen Filsafat Universitas Indonesia ini menyebutkan bahwa berbicara mengenai ekofeminisme, berarti juga harus berbicara tentang arus utama teori lingkungan. Perempuan yang juga merupakan anggota organisasi Women Philosophers ini menyebutkan bahwa teori lingkungan juga didominasi oleh budaya patriarki. “Patriarki disini berarti seksisme, misoginis terhadap perempuan yang diinstitusionalkan,” tutur Gadis.
Ekofeminisme pertama kali ditulis oleh Françoise d’Eaubonne. d’Eaubonne menyebutkan bahwa terdapat keterkaitan antara alam dan perempuan. Hal tersebut berarti mengutamakan feminisme, dan bukannya memberi karakteristik feminin pada ekologi.
Selain itu ia menekankan, penentangan isme-isme dominasi seperti rasisme, klasisme, heteroseksisme dan sebagainya,juga merupakan bagian dari perjuangan utama ekofeminisme.
Ekofeminisme menurut Gadis menawarkan perspektif baru melalui analisanya yang tidak ditemukan dalam ekologi radikal yang lain (deep ecology, bioregionalism dan social-political ecology). d’Eaubonne menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara perempuan, kelompok manusia lain yang tersubordinasi dan alam non-manusia. “Jadi kalau Anda tidak membela masyarakat adat misalnya, Anda tidak berhak mengatakan bahwa Anda feminis,” terang Gadis.
Kontekstualisasi perjuangan ekofeminisme di Indonesia diulas oleh seorang aktivis lingkungan dari Timor, Aletta Baun di kuliah kedua pada (22-09). Pemenang Goldman Enviromental Prize 2013 ini mengelaborasi keterkaitan perempuan dan alam dalam konteks masyarakat adat.
Aletta menceritakan perlawanan masyarakat adat Mollo terhadap kehadiran perusahaan tambang. Pada tahun 2010, mereka berhasil mengusir perusahaan-perusahaan yang hendak menambang mangan, dari empat titik penambangan.
“Ketika tambang masuk, banyak perempuan kehilangan pekerjaan,” terangnya. Ia juga menambahkan bahwa aktivitas pertambangan menyebabkan beban kerja perempuan akan lebih terasa. Misalnya perempuan harus berjalan lebih jauh untuk mencari kayu, air bersih serta mencapai hutan.
Perlawanan masyarakat Mollo terhadap perusahaan tambang didasari atas kepercayaan spiritual mereka. Masyarakat Mollo memiliki filosofi dasar bahwa mereka tak bisa dan tak diperbolehkan menjual tanah, hutan ataupun air. “Kami tidak bisa menjual sesuatu yang tidak bisa kami buat,” terang Aletta. Oleh karenanya masyarakat hanya akan menjual obat-obat tradisional, kain tenun, hasil pertanian dan hasil hutan lainnya.
Bagi masyarakat Mollo, bumi juga merupakan sumber pengetahuan. “Maka ketika bumi rusak, ada pengetahuan yang hilang,” tambahnya. Mereka juga meyakini bahwa tanah adalah daging, air adalah darah, hutan adalah rambut atau pori-pori dan batu adalah tulang.
Aletta percaya, Tuhan telah membagi bumi menjadi bagian yang dapat diolah manusia dan bagian alam (non-manusia) yang tak seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan manusia.
Lantas bagaimana seharusnya posisi komunitas atas akses sumberdaya? Nur Hidayati dalam kuliah ketiga (29-09) menyebutkan bahwa komunitas bukanlah sekadar objek dari kekuasaan negara. Namun, komunitas merupakan entitas yang plural-heterogen dan memiliki berbagai kepentingan di dalamnya. Direktur Eksekutif Nasional WALHI ini menerangkan kepentingan dan kekuasaan komunitas akan dimulai dari rumah tangga, kemudian keluarga.
Nur menerangkan, konsep ekologi politik dapat digunakan sebagai pisau analisis dalam melihat akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Dalam perkembangannya, pendekatan ini digunakan untuk mengkaji degradasi lingkungan hidup dalam aspek politik, ekonomi dan sosial. Pendekatan ini memiliki cita-cita terwujudnya biosfera yang egaliter.
Adapun menurut Nur, perjuangan ekologis dan feminis memiliki kesamaan perihal menghilangkan dominasi manusia-alam dan manusia-manusia. “Perlu ada perubahan paradigma (terhadap) kebijakan pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif terhadap alam,” ungkap Nur dikutip dari akun twitter YJP.
Gadis Arivia pada perkuliahan awal menyebutkan adanya urgensi memberi status moral pada yang non-manusia. “Mereka berhak atas pertimbangan moral oleh manusia,” tuturnya. Status moral disini berarti manusia tidak dapat meperlakukan alam non-manusia dengan semena-mena.
Paparan Gadis dijelaskan lebih lanjut oleh Rocky Gerung pada sesi kuliah terakhir (06-10). Rocky memaparkan etika lingkungan menuntut adanya perubahan paradigma dari antroposentris ke biosentris. Staf pengajar di Departemen Filsafat UI ini mengemukakan bahwa hukum manusia yang antroposentris kemudian berusaha mewujudkan keadilan yang berbasis pada ethics of rights. Namun, hal tersebut melahirkan permasalahan seperti disparitas dan hierarki.
Sementara cita-cita feminis dan etika lingkungan adalah mewujudkan adil yang berbasis pada ethics of care. Seperti yang disebut Rocky pada Kaffe 7 (06-07), ethics of care berangkat dari masalah ketidakadilan. Persoalan keadilan misalnya, feminisme memahami ketidakadilan bukan dari abstraksi melainkan dari pengalaman konkret atas ketidakadilan itu sendiri.
Rocky mengemukakan bahwa awal perjuangan terhadap makhluk hidup non-manusia dimulai ketika munculnya teori perwalian. Teori perwalian ini yang kemudian dipakai sebagai cara berfikir paralel terhadap perlindungan makhluk hidup non-manusia. “Meski pohon tidak memiliki kesadaran, pohon berhak membela diri melalui pengampu/walinya. Mungkin oleh komunitas, misalnya masyarakat adat,” terang Rocky.
Ekofeminisme harus berada dalam kerangka acuan, critical discourse dan situated knowledge. Kelemahan secara akademis dari kerangka ini adalah mereka bisa jatuh dalam esensialisme. Bahwa yang cocok dengan alam hanya perempuan, dan tidak dengan laki-laki. “Pemahaman terhadap biologi perempuan yang dibuat untuk cum in dengan alam akan memunculkan arogansi, sehingga melahirkan cara berfikir yang patriarkis,” papar Rocky.
Menjadi seorang ekofeminis berarti mengambil risiko untuk bertentangan dengan makro politik sehingga dibutuhkan konsistensi. Ekofeminisme adalah investasi peradaban bukan investasi politik. “Ekofeminisme berada dalam rangka untuk mengaktifkan jenis keadilan yang baru,” terang Rocky.
Penulis: Krisanti Dinda
Editor: Fazrin