Ruang Seminar Timur Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Ā UGM, pada Jumat (19/2) dipadati oleh akademisi, baik dari Indonesia maupun luar negeri, serta aktivis-aktivis LSM di Yogyakarta.Ā Pagi itu, beberapa lembaga riset bekerja sama mengadakan kuliah umum dengan tema āWomen, Development, and Environmental Justiceā. Adapun lembaga-lembaga riset yang menyelenggarakan kuliah umum ini adalah Asean Studies Center, Research Centre For Politics and Government (PolGov), Institute of International Studies (IIS)Ā serta didukung oleh Ewha Womans University, South Korea.
Pihak Dekanat Fisipol UGM yang diwakili oleh Dr. Muhammad Najib Azka S.Sos.,MA., menyambut dan memberi dukungan pada perkuliahan umum ini. Melalui sambutannya, Dr. Najib menyebutkan bahwa perempuan, pembangunan dan lingkungan merupakan isu yang cukup krusial untuk dikaji pada era ini. Hal senada disampaikan oleh Dr. Poppy S. Winanti, MPP., M.Sc., selaku dosen Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM. ā Perempuan, pembangunan dan lingkungan adalah topik yang memiliki urgensi untuk dikaji, terutama di kawasan Asia,ā ungkapnya.
Sesi perkuliahan dimoderatori oleh Desintha Dwi Asriani, MA dengan mempersilakan Ulli Hassanah, seorang warga desa Wonolelo, Kabupaten Bantul, yang menentang penambangan batu putih di daerahnya. Pada sesi ini, UlliĀ menceritakan perubahan kondisi lingkungan desa Wonolelo yang tidak lagi sejuk dan asri. āDalam lima tahun terkahir, seringkali terjadi penambangan di area desa. Baik penambangan batu putih yang dipergunakan untuk material pembangunan, pengerukan tanah hingga penebangan pohon-pohon,ā terang Ulli. Beliau menambahkan bahwa kegiatan tersebut Ā kemudian berdampak pada menipisnya pasokan air di delapan desa, polusi udara akibat aktivitas penambangan, hingga akses jalan yang rusak akibat sering dilewati oleh alat transportasi penambangan.
Mengamini pemaparan Ulli, Dr. Phil Dewi Candraningrum, seorang chief editor Jurnal Perempuan dan Indonesian Feminist Journal , menuturkan bahwa penambangan yang ada di Indonesia seringkali melupakan aspek ekologi serta kesehatan perempuan dan anak. Dr. Dewi menambahkan bahwa terabaikannya aspek ekologi, yang kemudian amat berpengaruh pada penurunan kualitas air, memunculkan permasalahan reproduksi pada wanita Indonesia. āJangan heran apabila angka kematian ibu dan anak di Indonesia, utamanya yang berada di daerah pertambangan, tidak mengalami penurunan,ā ungkapnya.
Menyinggung persoalan pembangunan di Indonesia, dalam presentasinya, Dr. Dewi memaparkan bahwa banyak pembangunan di Indonesia yang kemudian memberi dampak buruk bagi lingkungan sosial sekitarnya. Contoh kasus yang dipaparkan Dr. Dewi adalah pembangunan hotel-hotel di daerah Solo. Ā Pembangunan hotel-hotel ini kemudian memunculkan permasalahan sosial, karena kerap menjadi tempat untuk menjalankan bisnis prostitusi. Berdasarkan hasil penelitiannya, maraknya pembangunan hotel, berimbas pada harga sewa hotel yang cukup murah, sehingga bisnis prostitusi menjadi lebih mudah dan harga pekerja seks komersial (PSK) semakin murah. āPerempuan, adalah korban terburuk dari pembangunan dan kerusakan ekologiā ungkapnya.
Editor Jurnal Perempuan ini juga menyebutkan bahwa sudah saatnya pembangunan-pembangunan yang dilakukan di berbagai daerah menaruh perhatian khusus pada aspek perempuan dan aspek ekologis. Beliau menegaskan bahwa konsekuensi perubahan iklim maupun kerusakan ekologi berkaitan erat dengan berbagai permasalahan ketahanan pangan dan air, yang kemudian akan terintegrasi dengan kekacauan kondisi sosial masyarakat.
Dr. Dewi banyak memaparkan kilasan hasil riset maupun profil-profil pejuang lingkungan Indonesia yang ternyata didominasi oleh perempuan. Seperti misalnya ibu Nunung yang menuntut penghentian pembangunan hotel di Solo, Ibu Sukinah yang menentang pembangunan pabrik semen di Rembang, serta tokoh-tokoh perempuan pejuang penyelamat lingkungan lain. Perempuan berambut panjang ini menyebutkan bahwa perjuangan para perempuan ini dalam menyelamatakan lingkungan bukanlah tanpa alasan. Perhatian para perempuan ini banyak terfokus pada menurunnya kualitas air , serta menipisnya ketersediaan air di lingkungan masing-masing akibat adanya pembangunan. āSaat ini perempuan tidak lagi menjadi korban dalam kerusakan lingkungan. Perempuan mampu menjadi agen perubahan dalam menyelamatkan lingkunganā tandasnya.
Menanggapi ketiga isu yang dipaparkan, pembicara terakhir dalam kuliah ini, yakni Prof. Kim Eun Shil, direktur dari Korean Womenās Institute, Ewha Womans University, Ā menerangkan bahwa Ā saat ini peneliti memiliki peran penting dalam memproduksi pengetahuan yang nantinya akan dikonsumsi publik. Prof. Kim menuturkan bahwa seorang peneliti harus memiliki pengetahuan mengenai prosedur penelitian yang tepat. āPeneliti adalah instrumen penting dalam memperoleh sebuah pengetahuan. Oleh sebab itu, diperlukan pemahaman metode, pengendalian emosi serta keterbukaan pikiran menjadi poin penting dalam proses penelitian.ā terangnya.
Perempuan berkacamata ini menerangkan bahwa, meski saat ini banyak perempuan yang menjadi peneliti, namun masih sedikit peneliti perempuan (woman reasearcher) yang berperspektif gender atau feminis dalam penelitiannya. Prof. Kim menyebutkan bahwa perspektif feminis menekankan produksi pengetahuan harus mampu memberi dampak bagi perempuan melaluiĀ perubahan sosial dan individual, terlepas dari perbedaan posisi feminis. āHidup sebagai seorang feminis, berarti kita memiliki kesadaran tinggi terhadap keadaan lingkungan sekitar kita, dan oleh karenanya, kita dapat menjadi warga negara yang lebih baik dari sebelumnya,ā jelasnya. Prof. Kim menambahkan bahwa riset berdasar perspektif feminis akan mengkritisi netralitas atau objektivitas dari tradisi penelitian utama dalam proses produksi pengetahuan.
Salah seorang peserta, Ranggoaini Jahja S.Psi., M.Hum, yang akrab disapa Nike, memberi respon positif terhadap sesi perkuliahan ini. Ā Aktivis dari Perempuan Indonesia Anti-Korupsi (PIA) Yogyakarta ini mengatakan bahwa Indonesia saat ini seperti tengah mendapat ākutukanā dari kekayaan alam yang ada. Nike menuturkan bahwa banyak hal menarik yang telah ia dapat dari sesi perkuliahan ini, terutama terkait dengan korelasi antara kerusakan ekologi dengan kesehatan perempuan. āSaya harap setelah ini muncul lebih banyak penelitian mengenai isu ini , baik dari mahasiswa maupun lembaga-lembaga risetā pungkasnya. [Krisanti A.D.W.]