Jumat (14/11), puluhan orang tampak menempati kursi-kursi ruang kuliah BH-301 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM. Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi ini menghadiri seminar “Youth Society Movement” yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (Kapstra). Acara ini mengusung tema “Kolaborasi Pemuda Indonesia dengan CSR untuk Menjawab Tantangan dan Peluang ASEAN Single Community 2014”. Menurut ketua panitia, Alfredo Gustiar, seminar tersebut merupakan tindak lanjut dari kesadaran bahwa belum semua masyarakat Indonesia siap menghadapi Komunitas ASEAN. “Kami ingin mengawali gerakan untuk membangun masyarakat menghadapi Komunitas ASEAN,” imbuh Alfredo.
Setelah pembuka, acara dilanjutkan dengan sambutan dari Danang Arif Darmawan, S.Sos., M.Si. selaku Sekretaris Jurusan PSDK. Kemudian, keynote speaker, Drs. Hendrie Adji Kusworo, M.Sc. memulai pembicaraan dengan menyampaikan pemikiran tentang perubahan aktor signifikan dalam pembangunan negara. Ia memberikan ilustrasi fenomena pencalonan presiden, dimana presiden terpilih bukan karena kekuatannya sendiri melainkan karena dukungan para relawan.
Selanjutnya, ia menyampaikan materi mengenai kewiralembagaan. Kewiralembagaan adalah konsep yang dicetuskan oleh Hendrie dalam makalahnya “Kewiralembagaan: (Re)vitalisasi Peran Aktor untuk Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan”. Menurut Hendrie, kewiralembagaan adalah “institutional entrepreneurship”. “No one can accomplish on its own,” ujarnya mengutip Reinecke untuk menjelaskan arti penting institusi. Ia pun menegaskan pengertian entrepreneurship yang tidak terbatas pada bisnis, tetapi bertolak dari asal katanya dalam bahasa Perancis entreprende, yakni “melakukan sesuatu”. “Bagi kewiralembagaan, uang bukan tujuan melainkan alat,” tambahnya.
Hendrie kemudian menjelaskan posisi Youth Society Movement, salah satu contoh kewiralembagaan, di ASEAN Single Community (ASC). Melalui tayangan multimedia, ditampilkan sebuah diagram yang menggambarkan pertemuan peran business entrepreneurship (kewirausahaan) dan institutional entrepreneurship (kewiralembagaan), perpotongan keduanya adalah social entrepreneurship (kewirausahaan sosial). “Saya mengajak kalian untuk berpikir menjadi wiralembagawan,” kata Hendri.
Acara dilanjutkan dengan sesi seminar yang dimoderatori oleh Erwinto Simatupang. Sesi pertama diisi oleh Rosita Mardayanti, S.Sos., lulusan terbaik Fisipol UGM. Ia menuturkan bahwa dalam ASC akan terjadi aliran bebas barang, jasa dan lain-lain. Pemuda terutama mahasiswa adalah sosok yang diharapkan dalam menghadapi ASC. “Bagaimana kolaborasi kampus, perusahaan, dan pemerintah dalam menyikapi tantangan dan peluang dari ASC?” tanyanya sebagai pamungkas.
Pada sesi kedua, Kepala Operasi PT Pertamina Terminal BBM Rewulu, Yardinal memaparkan program kerja Corporate Social Responsibility (CSR) Pertamina, yakni Program Pengelolaan Sampah Mandiri, Program Peningkatan Produktivitas Pertanian, dan lain-lain. “Tidak ada perusahaan yang tidak mencari untung, apalagi Pertamina. Namun, kami harus tetap menjaga lingkungan dan mendapat dukungan dari masyarakat,” tutur Yardinal, yang tidak bisa mengikuti acara hingga selesai karena keterbatasan waktu.
Pada sesi ketiga, Desintha Dwi Asriani, M.A., menyatakan bahwa kewaspadaan masyarakat Indonesia terhadap ASEAN tidak terlalu tinggi. Padahal, menurut keterangan dari Kepala Pengembangan Komunitas Pusat Studi ASEAN UGM ini, Indonesia adalah target pasar yang menarik bagi perusahaan-perusahaan luar negeri. Menurut hasil riset Pusat Studi ASEAN, sebagian masyarakat Indonesia masih memahami ASEAN sebagai kesepakatan politik antarnegara. Mereka belum menyadari kemungkinan kerjasama dalam bidang ekonomi. “Masyarakat Indonesia masih menganggap ASC merupakan isu elite,” tambah Desintha. Ia pun membandingkan keadaan Indonesia dengan Thailand. “Di Thailand telah didirikan pos-pos yang menyediakan informasi seputar ASC bagi masyarakat,” ujarnya.
Pada sesi keempat, Bahruddin, S.Sos., M.Sc., akademisi dan pakar CSR memaparkan penerapan lain konsep CSR, yaitu sertifikasi. “Karakteristik konsumen membentuk struktur permintaan. Struktur permintaan menentukan sertifikasi yang dipilih oleh perusahaan,” jelas Bahruddin. Ia pun membandingkan standar konsumen Indonesia dengan negara-negara lain. Menurut hasil risetnya, mahasiswa UGM yang dianggap merepresentasikan konsumen Indonesia sebagian besar menjadikan harga sebagai pertimbangan pertama dalam memilih produk. “Sertifikasi yang dicari biasanya hanya Sertifikasi Halal. Padahal, sudah puluhan sertifikasi diterbitkan di dunia,” imbuhnya. Ia pun menjelaskan konsep “konsumen hijau”, yaitu konsumen yang tidak hanya memperhatikan fungsi produk tetapi juga proses produksi, apakah adil terhadap karyawan serta memperhatikan lingkungan atau tidak. “Struktur permintaan kita membuat perusahaan-perusahaan luar negeri berkomitmen rendah dalam menjaga lingkungan kita,” tegas Bahruddin.
Acara diakhiri dengan sesi tanya jawab dan penyerahan kenang-kenangan. “Harapan saya, ada pemuda-pemuda Indonesia yang berkontribusi untuk memajukan Indonesia agar siap menghadapi ASC,” ujar Devita Galuh, salah satu delegasi Universitas Indonesia. Ia juga mengharapkan adanya perbaikan untuk acara-acara selanjutnya. [Tabitha]