Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Tantangan Konservasi dan Pelestarian Lingkungan dalam Diskusi Ekspedisi...
LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di...
Diskusi dan Perilisan Zine Maba Sangaji Basuara, Tilik...
Diskusi Buku dan Budaya, Soroti Peran Sastra Melawan...
Diskusi Di Balik Bendera Persatuan Ungkap Gerakan Antikolonial...
Mata Kekuasaan Mengintaimu
Wisnu Prasetya Utomo: Tantangan Pers Mahasiswa di Persimpangan...
Episode-Episode Perjalanan: Episode 2 dan Episode…
Monika Eviandaru: Reorientasi Pers Mahasiswa Dalam Neoliberalisasi Perguruan...
Episode-Episode Perjalanan

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KILASMagang

Tantangan Konservasi dan Pelestarian Lingkungan dalam Diskusi Ekspedisi Arah

November 12, 2025

©Nadhira/Bal

“Bahwa apa yang kita perjuangkan, kita menyelamatkan manusia dan itu ternyata berdampak juga untuk alamnya,” ungkap Daru ketika memaparkan harapannya terhadap konservasi penyu dalam diskusi Bincang Asik (BISIK): Siapa yang Perlu Kita Selamatkan, Manusia atau Alam? Kegiatan yang diinisiasi oleh komunitas TelusuRI ini dilaksanakan sebagai bagian dari kegiatan Ekspedisi Arah Singgah Makan Key Almig. Berlangsung selama kurang lebih dua jam, diskusi tersebut diselenggarakan di Omah Budoyo pada Sabtu (08-11). Diskusi tersebut menghadirkan Daru Aji Saputro, Ketua Yayasan Aksi Konservasi Yogyakarta (4K Yogyakarta), sebagai narasumber dan Muhammad Ulul Absor sebagai moderator.

Mengawali diskusi tersebut, Daru menyebutkan tentang pentingnya manusia untuk belajar hidup selaras dengan pelestarian lingkungan. “Punya tanggung jawab, kita pengin menyelamatkan diri kita, kita ingin menyelamatkan manusia,” ungkap Daru. Upaya tersebut, menurutnya, dilakukan lewat edukasi dan ajakan kepada sekolah, komunitas, hingga mahasiswa untuk terlibat dalam kegiatan konservasi. Ia berharap, melalui keterlibatan tersebut, kegiatan konservasi memperoleh dukungan dana dari kampus dan partisipasi publik yang lebih luas.

Daru juga menyinggung soal cara menyelamatkan manusia melalui konservasi. Dalam persoalan pencurian penyu, misalnya, ia mencontohkan upaya preventif yang telah dilakukannya, seperti melalui pengarsipan data pencurian penyu dan patroli keliling. Selain itu, ia juga berupaya memaksimalkan sumber daya yang ada supaya publik dapat tahu dan bisa membantu. “Ini salah satu cara untuk bagaimana kita menyelamatkan manusia tadi untuk memberikan pengetahuan,” ungkapnya.

Namun, di balik upaya konservasi yang telah dijalankannya sejak 2020 tersebut, Daru mengakui masih banyak tantangan, terutama perihal pendanaan. “Di dunia konservasi itu pasti yang pertama adalah enggak ada uangnya,” ujar Daru. Menanggapi itu, Daru menyebut bahwa yayasan yang dipimpinnya tetap bekerja sesuai kebutuhan yang ada, sebab tujuan utamanya adalah mengupayakan konservasi tetap dapat berjalan di lapangan.

Menanggapi tema diskusi, salah seorang peserta diskusi, Eva, menyoroti pilihan menyelamatkan manusia. Menurutnya, pilihan antara menyelamatkan manusia atau alam merupakan sesuatu yang harus berjalan bersamaan. Ia menambahkan bahwa dua hal tersebut akan membawa kepada keseimbangan alam. “Menyelamatkan alam atau manusia itu bukan pilihan, tapi ya dua-duanya,” terang Eva. 

Selain itu, Eva juga menceritakan pengalamannya ketika berencana mengajak siswa-siswanya belajar mengenai konservasi di Pantai Pelangi. Rencananya tersebut batal karena rekannya menilai bahwa Pantai Pelangi dianggap sudah terlalu komersil. “Apa-apa sudah ada harganya. Misal, biaya segini yang harus dibayar, terus untuk makan sudah ada segini,” terang Eva.

Menanggapi hal itu, Daru menyebutkan bahwa keterbatasan dana membuat mereka mengandalkan sumber daya swadaya. Ia mencontohkan pengalaman Pak Sarwidi, pegiat konservasi di Pantai Pelangi, yang menggelontorkan dana hingga 30 juta rupiah dari dana pribadinya. “Karena cinta, karena sayang dengan alam itu,” ujar Daru menyebut motivasi di balik berbagai upaya konservasi yang dilakukan Pak Sarwidi di tengah keterbatasan ekonomi yayasan. 

Daru juga menyinggung ketidakoptimalan dukungan pemerintah terhadap aktivitas konservasi. Menurutnya, sesuai Undang-Undang No. 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kegiatan konservasi berhak mendapatkan bantuan dana melalui skema-skema tertentu dari pemerintah. Ia mengatakan bahwa bantuan tersebut sangat membantu keberlangsungan kegiatan konservasi tanpa penarikan donasi atau bayaran dari publik. “Berarti ‘kan seharusnya konservasi tidak harus sampai defisit biaya kayak gitu,” pungkas Daru.

“Bahwa apa yang kita perjuangkan, kita menyelamatkan manusia dan itu ternyata berdampak juga untuk alamnya,” ungkap Daru ketika memaparkan harapannya terhadap konservasi penyu dalam diskusi Bincang Asik (BISIK): Siapa yang Perlu Kita Selamatkan, Manusia atau Alam? Kegiatan yang diinisiasi oleh komunitas TelusuRI ini dilaksanakan sebagai bagian dari kegiatan Ekspedisi Arah Singgah Makan Key Almig. Berlangsung selama kurang lebih dua jam, diskusi tersebut diselenggarakan di Omah Budoyo pada Sabtu (08-11). Diskusi tersebut menghadirkan Daru Aji Saputro, Ketua Yayasan Aksi Konservasi Yogyakarta (4K Yogyakarta), sebagai narasumber dan Muhammad Ulul Absor sebagai moderator.

Mengawali diskusi tersebut, Daru menyebutkan tentang pentingnya manusia untuk belajar hidup selaras dengan pelestarian lingkungan. “Punya tanggung jawab, kita pengin menyelamatkan diri kita, kita ingin menyelamatkan manusia,” ungkap Daru. Upaya tersebut, menurutnya, dilakukan lewat edukasi dan ajakan kepada sekolah, komunitas, hingga mahasiswa untuk terlibat dalam kegiatan konservasi. Ia berharap, melalui keterlibatan tersebut, kegiatan konservasi memperoleh dukungan dana dari kampus dan partisipasi publik yang lebih luas.

Daru juga menyinggung soal cara menyelamatkan manusia melalui konservasi. Dalam persoalan pencurian penyu, misalnya, ia mencontohkan upaya preventif yang telah dilakukannya, seperti melalui pengarsipan data pencurian penyu dan patroli keliling. Selain itu, ia juga berupaya memaksimalkan sumber daya yang ada supaya publik dapat tahu dan bisa membantu. “Ini salah satu cara untuk bagaimana kita menyelamatkan manusia tadi untuk memberikan pengetahuan,” ungkapnya.

Namun, di balik upaya konservasi yang telah dijalankannya sejak 2020 tersebut, Daru mengakui masih banyak tantangan, terutama perihal pendanaan. “Di dunia konservasi itu pasti yang pertama adalah enggak ada uangnya,” ujar Daru. Menanggapi itu, Daru menyebut bahwa yayasan yang dipimpinnya tetap bekerja sesuai kebutuhan yang ada, sebab tujuan utamanya adalah mengupayakan konservasi tetap dapat berjalan di lapangan.

Menanggapi tema diskusi, salah seorang peserta diskusi, Eva, menyoroti pilihan menyelamatkan manusia. Menurutnya, pilihan antara menyelamatkan manusia atau alam merupakan sesuatu yang harus berjalan bersamaan. Ia menambahkan bahwa dua hal tersebut akan membawa kepada keseimbangan alam. “Menyelamatkan alam atau manusia itu bukan pilihan, tapi ya dua-duanya,” terang Eva. 

Selain itu, Eva juga menceritakan pengalamannya ketika berencana mengajak siswa-siswanya belajar mengenai konservasi di Pantai Pelangi. Rencananya tersebut batal karena rekannya menilai bahwa Pantai Pelangi dianggap sudah terlalu komersil. “Apa-apa sudah ada harganya. Misal, biaya segini yang harus dibayar, terus untuk makan sudah ada segini,” terang Eva.

Menanggapi hal itu, Daru menyebutkan bahwa keterbatasan dana membuat mereka mengandalkan sumber daya swadaya. Ia mencontohkan pengalaman Pak Sarwidi, pegiat konservasi di Pantai Pelangi, yang menggelontorkan dana hingga 30 juta rupiah dari dana pribadinya. “Karena cinta, karena sayang dengan alam itu,” ujar Daru menyebut motivasi di balik berbagai upaya konservasi yang dilakukan Pak Sarwidi di tengah keterbatasan ekonomi yayasan. 

Daru juga menyinggung ketidakoptimalan dukungan pemerintah terhadap aktivitas konservasi. Menurutnya, sesuai Undang-Undang No. 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kegiatan konservasi berhak mendapatkan bantuan dana melalui skema-skema tertentu dari pemerintah. Ia mengatakan bahwa bantuan tersebut sangat membantu keberlangsungan kegiatan konservasi tanpa penarikan donasi atau bayaran dari publik. “Berarti ‘kan seharusnya konservasi tidak harus sampai defisit biaya kayak gitu,” pungkas Daru.

 

Penulis: Anisa Cahya, Azmy Aisyata, Eunica Amanda (Magang)
Editor: Azmi Hanief
Fotografer: Wimala Nadhira (Magang)

1
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di...

Diskusi dan Perilisan Zine Maba Sangaji Basuara, Tilik...

Diskusi Buku dan Budaya, Soroti Peran Sastra Melawan...

Diskusi Di Balik Bendera Persatuan Ungkap Gerakan Antikolonial...

SANGKAR Ungkap Dugaan Salah Tangkap 14 Anak di...

Perlawanan Warga Kampung Laut Atas Penggusuran Lahan Lapas...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Tantangan Konservasi dan Pelestarian Lingkungan dalam Diskusi Ekspedisi Arah

    November 12, 2025
  • LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di Surakarta

    November 10, 2025
  • Diskusi dan Perilisan Zine Maba Sangaji Basuara, Tilik Perlawanan Warga Maba Sangaji

    November 4, 2025
  • Diskusi Buku dan Budaya, Soroti Peran Sastra Melawan Dehumanisasi

    November 2, 2025
  • Diskusi Di Balik Bendera Persatuan Ungkap Gerakan Antikolonial Perhimpunan Indonesia

    Oktober 28, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM