
©Nafiis/Bal
Persoalan keamanan merupakan hal yang penting untuk kenyamanan seluruh sivitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam beraktivitas. Komitmen UGM atas persoalan tersebut dibuktikan ketika pada 22 September 1987, Koesnadi Hardjasoemantri, rektor UGM saat itu, mengeluarkan surat edaran bernomor UGM/5834/UM/06/03 perihal peningkatan keamanan di lingkungan kampus. Surat ini juga menjadi imbauan bagi sivitas akademika perempuan untuk menjaga dan mawas diri dari gangguan semacam pelecehan. Tindakan ini diambil setelah terdengar kabar bahwa terjadi pelecehan terhadap salah satu dosen perempuan dan beberapa kejadian serupa yang kerap terjadi di kampus. Kebijakan ini membuktikan sikap UGM dalam menangani pencegahan kekerasan seksual.
Kejadian ini dimuat dalam satu artikel rubrik “catatan peristiwa” Majalah BALAIRUNG Nomor 7 Tahun 1988 bahwa UGM pernah melakukan langkah preventif dalam menanggulangi persoalan pelecehan bagi perempuan di lingkungan kampus. Namun, bagi Rektor Universitas Diponegoro (UNDIP) dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (FH UNPAD) yang tidak sependapat dengan keseriusan yang dilakukan oleh UGM dalam menangani kasus pelecehan di lingkungan kampus, mereka anggap bukanlah hal yang urgen dan serius untuk ditanggapi hingga rektor turun tangan. Lantas, apakah komitmen UGM dari dulu hingga saat ini dengan kebijakannya menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus telah berjalan dengan baik dan semestinya?
Mahasiswi, dosen putri, dan karyawati UGM agar dikawal bila pulang. Kampus UGM bukan lagi kampus biru, tetapi lebih tepat kampus kelabu. Tak amankah kampus?Â
Pertengahan September lalu, tepatnya 22 September 1987, keluar surat edaran dari Rektor UGM perihal peningkatan keamanan di lingkungan kampus UGM. Berawal dari kejadian dosen putri yang pulang agak malam dicolek oleh seorang tak dikenal. Mungkin hal itu biasa terjadi di dalam masyarakat, adanya tangan jahil yang iseng menggoda seorang perempuan. Namun, bagi rektor UGM, Koesnadi Hardjasoemantri, hal itu langsung ditanggapi serius sehubungan kedudukannya selaku “bapak” dalam keluarga besar UGM. “Sebagai bapak, saya kira wajar bila menghendaki keamanan pada putra-putrinya sehingga bila ada gangguan, saya merasa ikut bertanggung jawab,” kata Koesnadi tegas.
Cerita yang beredar di kalangan mahasiswa, menurut laporan beberapa mahasiswa terutama bagi yang kuliah sore, seringkali mendapat gangguan di sekitar Gedung Pusat UGM itu. Gangguan tersebut dilakukan oleh pria yang mempunyai kelainan jiwa, yakni suka memperlihatkan alat vitalnya atau sekadar mencolek perempuan. Tentu saja hal itu dilakukan bila yang lewat terdiri kaum hawa saja. Beberapa mahasiswi menambahkan pernah pula mendapatkan hal serupa pada waktu siang hari di sekitar bulevar atau kadang di sekitar Fakultas Hukum dan lembah. Memang patut disayangkan hingga kini belum berhasil didapatkan identitas orang tersebut, sebab tak pernah ada laporan ke Satpam atau Menwa (Resimen Mahasiswa). Mahasiswi yang memergoki, cenderung merasa ngeri, takut, dan malu untuk melaporkannya. Mungkinkah ini ada kaitannya dengan “pencolekkan” dosen putri hingga rektor UGM mengeluarkan edaran tersebut?
Surat edaran bernomor UGM/5834/UM/06/03 ditujukan kepada seluruh Dekan Fakultas, ketua lembaga, kepala UPT, kepala bagian di lingkungan BAU dan BAAK, serta Dan Yon I Menwa Mahakarta UGM itu dimaksudkan agar dosen putri serta karyawati yang bekerja sampai malam supaya lebih memperhatikan keamanan dirinya sewaktu meninggalkan pekerjaan. Begitu pula mahasiswi pada malam hari sewaktu pulang kuliah atau belajar agar bersama kawan pria.Â
Kampus UGM memang terbuka. Tak seperti kampus-kampus lainnya yang dikelilingi pagar tembok dan batas pemisah dengan kawasan luar yang tegas. Siapa pun bebas lalu-lalang melalui banyak jalan yang membelah kampus yang mencakup empat blok.Â
Sebenarnya, bukanlah hal berlebihan seperti penilaian Kompas 13 Oktober 1987 bila masalah keamanan sangat diperhatikan rektor UGM. Kampus UGM dengan luas 150 hektar perlu jaminan keamanan. Keamanan bukan hanya masalah “colek-colek” saja, namun barang inventaris yang mahal dan peralatan canggih seperti di Pusat Komputer juga harus diperhatikan.
Banyak pihak menilai bahwa tindakan itu berlebihan seperti diungkapkan Moeljono, Rektor UNDIP, yang menganggap bahwa mahasiswa telah dewasa sehingga tak perlu pengawalan semacam itu. Sedangkan, dekan FH UNPAD, Sri Soemantri Matosoewignjo, berpendapat, “Tak usah melakukan pengawalan dan membikin surat edaran segala. “Kan itu hanya buang-buang energi,” katanya dalam Kompas. Arief Budiman dari Universitas Satya Wacana, Salatiga, yang mempunyai anak di Fakultas Ekonomi (FE) UGM, mempertanyakan sejauh mana sebenarnya gangguan di Bulaksumur dianggap serius sampai-sampai rektornya mengeluarkan peraturan tersebut. Kekhawatiran dan pertanyaan yang wajar yang mungkin timbul pula pada semua orang tua yang anaknya kuliah di UGM.Â
Menurut Dekan FH UNPAD, Soemantri, sesuai kondisi Jogja yang halus, langkah pengamanan terbaik seharusnya bersifat edukatif dan preventif. Hal itu persis seperti dikatakan Koesnadi dalam wawancara khusus dengan BALAIRUNG bahwa langkah tersebut diambil sebagai tindakan preventif seorang bapak yang menghendaki keamanan dan keselamatan keluarganya. Agaknya, rektor UGM mengikuti pepatah bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati.
Berangkat dari rasa tanggung jawab yang besar itulah Koesnadi tetap yakin bahwa surat edaran itu memang perlu dikeluarkan. Bahkan dia menambahkan bahwa langkahnya akan diikuti oleh rektor dari perguruan tinggi (PT)Â lain, terutama bagi yang luas dan tak berbenteng seperti halnya kampus Universitas Indonesia di Depok karena mereka juga akan mengalami hal yang sama.
Tindakan preventif yang diambil oleh rektor UGM itu segera mendapat tanggapan ramai dari PT lain yang kebanyakan tak sependapat, seperti termuat di surat kabar.
“Kompas, seperti pers lainnya senang sensasi, seharusnya pemuatan berita bersifat objektif,” kata Koesnadi sambil memperingatkan agar pers mahasiswa bersifat objektif dan mencerminkan ciri intelektualnya.
Sewaktu upacara 17-an yang diadakan rutin tiap bulan diikuti seluruh staf UGM di depan gedung pusat UGM, Koesnadi dalam sambutannya mengatakan bahwa Kompas terlalu melebih-lebihkan persoalan, padahal yang dimaksudkan hanyalah berupa himbauan atau saran selaku “bapak” yang menghendaki keamanan putra-putrinya.
Siapa pun pasti menginginkan rasa aman. Begitu pula kampus UGM. Guna menjaga keamanan, khususnya di malam hari, selain masing-masing fakultas mempunyai penjaga malam, pasukan Satpam yang berjumlah 53 orang secara aplusan siap keliling di sekitar kawasan kampus. Demikian juga pasukan Menwa yang piket ikut pula berpatroli.
Sejak dikeluarkannya surat edaran tersebut, menurut laporan Menwa dan Satpam, belum pernah ada dosen putri atau karyawati yang minta diantar. “Biasanya bila musim hujan, banyak yang minta diantar karena kemalaman menunggu hujan reda,” kata Mulyono, salah satu anggota Satpam.
Kesulitan yang sering ditemui Satpam selain “keterbukaan” kampus juga masalah pacaran muda-mudi yang berjumlah banyak dan tersebar di seluruh kawasan kampus. “Kebijaksanaan atau peraturan yang melarang pacaran di kampus belum ada. Jadi, penyelesaiannya tergantung masing-masing individu Satpam saja,” jelas Mulyono lagi. [Lusi Margiyani]
Ditulis dengan penyuntingan ulang oleh Haryo Sasongko.