Nama Anies Rasyid Baswedan naik sebagai salah satu calon presiden pada pemilu 2024 mendatang. Pria yang lumrah disapa Anies itu berani unjuk gigi dengan latar belakang yang cukup buruk, khususnya selama dirinya tampil sebagai gubernur DKI Jakarta periode 2017–2022. Persoalan ketimpangan ekonomi yang menghantui DKI Jakarta pada periode tersebut tak dapat disembunyikan. Di samping itu, mahalnya harga kebutuhan pokok juga jadi sorotan khalayak luas. Kedua hal ini mengindikasikan bahwa dimensi ekonomi adalah kelemahan Anies ketika diproyeksikan sebagai pengampu kebijakan dalam tubuh negara.
Uniknya pada tahun 1994, saat Anies masih menyandang status sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM, ia sempat menuliskan analisis atas kecacatan regulasi ekonomi makro Indonesia saat itu. Analisis yang tertera dalam Majalah BALAIRUNG Edisi Khusus/TH. VIII/1994 itu berusaha membongkar praktik konglomerat di Indonesia agar tak mengungkung dirinya dalam kepentingan pribadi. Namun secara bertolak belakang, saat Anies menuangkan pendapatnya dalam agenda Bacapres Bicara Gagasan pada 20 September 2023, ia terang menyatakan bahwa para konglomerat dalam negeri hari ini tak dekat dengan dirinya. Lantas, dengan adanya keberjarakan itu, bagaimana visi konglomerat yang merakyat menjadi dimungkinkan? Simak artikel selengkapnya.
Konglomerat: Bisakah Transparan dan Merakyat?
Pertumbuhan konglomerat yang begitu pesat tidak dapat dilihat semata-mata dari sudut perekonomian nasional, tetapi perlu juga dilihat secara regional dan global. Perekonomian dunia yang sebelumnya menyentuh nilai $600 triliun pada tahun 1900 sekarang ini telah tumbuh tiap tahun dengan nilai pertumbuhan yang lebih besar dari nilai tersebut. Sementara itu, Asia Pasifik telah menjadi wilayah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dan terpesat dalam sejarah peradaban umat manusia. Kondisi yang demikian ini tidak mungkin digunakan untuk melihat tata konglomerasi di Indonesia. Hubungan internasional yang dibangun selama ini memiliki kekuatan untuk menggalang kegiatan bisnis raksasa.
Tugas tulisan ini bukanlah menguak semua persoalan yang ada di balik konglomerasi. Tulisan ini hanya mencoba memberikan potret persoalan konglomerasi di Indonesia dalam kaitan dengan perbaikan nasib bangsa. Memang, tidak dapat dimungkiri, pertumbuhan ekonomi luar biasa yang terjadi di luar negeri amat berdampak terhadap Indonesia. Akan tetapi, pertanyaan mengenai kemungkinan keberadaan konglomerasi di Indonesia berkontribusi untuk meningkatkan kekuatan ekonomi rakyat secara proporsional tetap perlu selalu didengungkan, serta perlu dijawab dalam bentuk action. Tulisan ini mencoba mencari kaitan konglomerasi dengan struktur ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sebagai langkah awal menuju keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sejarah di Belakang Konglomerasi
Untuk dapat memahami tingkat kepentingan, peran, kegiatan, dan dampak keberadaan konglomerat di Indonesia; kita harus memahami sejarah terbentuknya konglomerasi sebagai titik awal pengamatan. Secara singkat, tanpa pretensi melakukan simplifikasi pada tahun 1930-an, telah ada beberapa pengusaha Indonesia yang berhasil membangunkerajaan bisnis; seperti Nitisemito, Agoes Dasaad, dan Hadji Sjamsoeddin, selain para keturunan Tionghoa, seperti Oei Tiong Ham dan Djie Sam Soe.
Pada masa Revolusi Kemerdekaan, sektor industri di Indonesia relatif tidak berkembang. Situasi ini makin menjadi parah ketika para industriwan Belanda hengkang dari Indonesia di awal dekade 1950-an, selain telah mulai ada konflik secara terbuka antara para pedagang Tionghoa dengan Indonesia. Untuk menyelamatkan kondisi yang demikian ini, pemerintah ketika itu mengeluarkan kebijakan investasi melalui BUMN dan merangsang berkembangnya para pengusaha Indonesia dengan memberikan berbagai lisensi perdagangan, produksi, dan impor. Karena berbagai alasan, ternyata program ini mengalami kegagalan. BUMN terjebak dalam konflik antar-kepentingan politik. Rangsangan dan lisensi yang diberikan oleh pemerintah justru banyak dijual oleh para pemiliknya yang mayoritas pengusaha/birokrat pribumi.
Pada tahun 1957, terjadi berbagai kebijakan sebagai tanda perubahan kebijakan industri Indonesia. Pada saat ini, pemerintah mulai mengambil alih kepemilikan perusahaan Belanda. Dapat pula dilihat, pada masa Demokrasi Liberal (1948–1957), pemerintah mendirikan tujuh BUMN. Sementara, antara tahun 1957–1966, terdapat 89 BUMN yang didirikan oleh pemerintah (World Bank, 1992). Sejak Orde Baru, terjadi perubahan kebijakan investasi menjadi lebih terbuka terhadap dana asing. Dengan berbagai kebijakannya, sektor swasta mendapatkan kesempatan luas untuk berkembang.
Ada beberapa faktor yang sifatnya partikular dan patut diperhitungkan dalam menganalisis persoalan konglomerasi di Indonesia. Pertama, para keluarga dengan deretan nama perusahaannya memiliki hubungan yang erat secara pribadi dengan berbagai level birokrasi sesuai bidang garap bisnisnya. Mereka kemudian memiliki pengaruh tidak hanya pada proses penyusunan dan penetapan kebijakan; tetapi lebih jauh lagi, sangat mampu memengaruhi penerapan kebijakan.
Kedua, hampir semua konglomerat merupakan kelompok keturunan Tionghoa yang memiliki hubungan emosional dan bisnis sangat kuat di dalam kalangannya sendiri. Faktor ini harus diposisikan dengan pandangan yang objektif agar terhindar dari keterjebakan pada semangat primordialisme sempit. Harus diakui dan disadari bahwa keterlibatan kelompok keturunan Tionghoa ini memberi warna tersendiri bagi ekonomi Indonesia dan tidak bisa dihilangkan dari daftar persoalan. Sebagai ilustrasi, berdasarkan data hasil survei yang dikeluarkan Info Bisnis pada November 1993, dari 300 nama konglomerat yang tersaring berdasarkan kriteria pembayaran pajak, hanya 53 pengusaha dengan kemapanan usaha. Lebih jauh lagi; dari sepuluh pengusaha pribumi tertinggi ini, enam di antaranya memiliki hubungan keluarga dengan Presiden Soeharto. Dari sini, kita melihat betapa dominasi keturunan Tionghoa dalam perekonomian kita sangat besar.
Ketiga, konglomerasi telah menjadi sebuah kenyataan dari sistem perekonomian Indonesia kontemporer. Setiap kebijakan ekonomi, terutama yang menyangkut industri, mustahil untuk meniadakan mereka dari pertimbangan. Sebenarnya, Indonesia beberapa waktu yang lalu masih memiliki pilihan untuk tidak meniru pola yang terjadi di Korea Selatan, yang industrinya dikuasai oleh beberapa grup perusahaan raksasa dan kuat. Indonesia seharusnya meniru Taiwan yang pengembangan industrinya berbasis pada perusahaan kecil dan menengah dengan jumlah yang sangat banyak. Akan tetapi, pada kondisi yang seperti sekarang ini, tidak ada pilihan selain memperhitungkan keberadaan para konglomerat yang telah terlanjur berkuasa.
Potret Konglomerat Indonesia
Bidang gerak para konglomerat ini merambah dari perbankan dengan segala jenis bisnis keuangannya; agribisnis, perkayuan, perikanan, manufaktur, perdagangan nasional dan internasional sampai dengan transportasi serta real-estate. Dalam konteks konglomerasi, kita menyaksikan bahwa hubungan intercorporate dan interpersonal terjadi sedemikian rapat; baik itu dalam aspek kepemilikan, keluarga, maupun historis. Hubungan ini kemudian menyebabkan peningkatan interdependensi yang tinggi, dan sering kali keputusan politik ekonomi dibuat hanya karena permintaan segelintir orang untuk segudang kepentingannya.
Konglomerasi di Indonesia dapat juga dikaji secara lebih serius dengan melihat inside picture grup tersebut yang di dalamnya akan ditemukan banyak sekali persoalan. Secara umum, terlihat ada tiga persoalan yang perlu perhatian dan penanganannya. Pertama, tidak ada kejelasan tentang core-business. Bersamaan dengan perkembangan bisnis yang multibidang tersebut, para pengusaha umumnya terbawa arus ekspansi dan tidak lagi menyadari core bussiness-nya. Kelompok Darmala (Dharmala Group) merupakan contoh tepat untuk persoalan ini. Dharmala Group tumbuh sebagai perusahaan perdagangan komoditas pertanian yang melakukan backward integration pada budidaya pertanian dan makanan ternak. Pada tahun 1980-an memasuki Indonesia memasuki masa perkembangan bisnis real-estate, perkantoran, serta konstruksi. Uniknya lagi, pada periode yang sama, secara agresif, Dharmala Group memasukibidang jasa keuangan; baik perbankan, leasing, dan investasi. Akhirnya, sekarang, Dharmala Group telah mulai memproduksi, merakit, dan mendistribusikan kendaraan roda dua; membangun usaha bakery, pabrik plastik, hingga biro perjalanan dan jasa konsultan. Melalui potret ini, pengamat akan mengalami kebingungan untuk menentukan bisnis apa yang sebenarnya menjadi bisnis utama. Bahkan lebih jauh lagi, sejauh mana terdapat hubungan antarbisnis unit dalam grup itu. Dari sini, dapat pula dipertanyakan sejauh mana efisiensi dan efektifitas kegiatan bisnis yang dilakukan dapat mendekati nilai optimum.
Kedua, struktur organisasi. Dengan melihat struktur organisasi konglomerat di Indonesia, pengamat akan sulit untuk memperoleh gambaran perusahaan dengan baik, karena struktur itu mengalami perubahan terus-menerus. Selain itu, pada praktiknya, struktur organisasi yang digunakan lebih mendasarkan pada jaringan informasi yang ada. Dengan seringnya tidak mengindahkan struktur yang telah dibangun, maka pembagian otoritas yang telah dilakukan dapat dengan mudah dilanggar.
Ketiga, efisiensi. Tidak ada satu pun set data yang dapat menggambarkan efisiensi perusahaan para konglomerat. Semua gambaran didasarkan pada laporan Bank Dunia. Hal ini memperlihatkan bahwa inefisiensi menjadi sebuah pemandangan normal. Hal ini lebih terasa pada mereka yang telah terlalu lama menikmati keleluasaan dan kemudahan bisnis sehingga efisiensi diabaikan begitu saja karena profit yang relatif tetap dan tinggi.
Keturunan Tionghoa dalam Konglomerasi
Salah satu faktor yang perlu kajian tersendiri adalah dominasi keturunan Tionghoa dalam konglomerasi yang berkembang di Indonesia. Terdapat keunikan dari sejarah perantauan mereka. Selain itu, pada pola kapitalisme yang mereka lakukan pun tidak hanya mengundang munculnya persoalan distribusi kesejahteraan, melainkan secara konsepsi pun memiliki keunikan. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Prof. Gordon Redding, seorang pakar bisnis dan ekonomi Tionghoa, yang melihat adanya corak kapitalisme yang berbeda pada masyarakat Tionghoa bila dibandingkan dengan kapitalisme yang kita pahami selama ini. Kapitalisme kolektif, istilah yang ia gunakan, berbeda dengan kapitalisme individual di Barat. Kapitalisme Tionghoa ini berkaitan dengan perilaku ekonomi Tionghoa perantauan di luar daratan Tionghoa.
Perilaku ekonomi Tionghoa perantauan sangat dipengaruhi oleh tiga warisan utama. Pertama, paternalisme yang berasal dari etika Konfusius yang melatarbelakangi struktur masyarakat Tionghoa dan memberi legitimasi hirarki berdasarkan rasa hormat terhadap atasan dan tanggungjawab ke bawah. Kedua, personalisme sebagai sebuah kekuatan yang berhubungan dengan pembentukan hubungan kepercayaan inter-individu yang menggantikan ketiadaan hubungan dengan institusi dan struktur kemasyarakatan. Ketiga, rasa tidak aman bagi sekelompok etnis. Pengalaman sosial mereka berkaitan dengan keberadaannya sebagai etnis minoritas merupakan faktor kunci dalam pembentukan visi ini. Ketiga kekuatan ini terbukti telah mampu memosisikan keturunan Tionghoa ini pada posisi yang sangat strategis. Hal ini terlihat bahwa dengan jumlah populasi yang hanya tiga persen, mereka telah berhasil menguasai 70 persen ekonomi nasional. Kerja keras, ulet, dan dukungan lembaga keuangan mungkin menjadi kunci suksesnya selain jalan pintas. Tradisi merantau dan kerja keras boleh jadi memang kunci sukses; tetapi bila mengamati keberhasilan konglomerat, kedekatan dengan birokrasi juga harus diperhitungkan sebagai faktor utama.
Sebenarnya, sudah tidak perlu lagi ada kekhawatiran mengenai nasionalisme dan kecintaan para konglomerat keturunan Tionghoa ini terhadap Indonesia. Akan tetapi, pengalaman empiris menunjukan betapa banyak kalangan mereka tidak peduli dengan situasi masyarakat di sekeliling mereka dan tidak pula mau menerapkan etika dalam berbisnis dan bermasyarakat. Ketidakpedulian ini, bila dikoreksi secara jujur, tidak terbatas pada kalangan keturunan Tionghoa saja. Namun, karena mereka memiliki stereotipe ini secara kolektif, maka mereka butuh perjuangan panjang untuk memperoleh kepercayaan dari masyarakat akan kebersamaannya sebagai satu bangsa. Oleh karena itu, ketika para taipan dunia berkumpul di Hong Kong beberapa waktu yang lalu, kecemasan dan kecemburuan yang luar biasa bisa saja timbul.
Barangkali, sudah waktunya bagi para pengusaha keturunan Tionghoa untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka pun bagian dari masyarakat yang tidak semata-mata mencari laba, tetapi juga manfaat. Oleh karena itu, kegiatan kemasyarakatan yang realistis dan konkret harus segera dimulai. Apabila tidak segera dilakukan, akan muncul perasaan bahwa keberadaan mereka merupakan sebuah penjajahan bentuk baru yang tidak dapat dikategorikan sebagai kolonialisme secara hukum. Hal tersebut menjadi tugas semua pihak untuk kemudian menghindarkan terjadinya kesadaran macam ini dengan kegiatan konkret dan merakyat.
Buruh dan Para Konglomerat
Tidak lagi dikatakan bisnis bila tidak mencari untung. Memang benar, kini, tidak seperti zaman kejayaan liberalisme klasik, maksimalisasi laba bukan merupakan satu-satunya tujuan bagi sebuah perusahaan. Sekarang ini, terdapat pandangan yang lebih luas. Salah satu pandangan yang sedang populer saat ini adalah menggeser konsep the stockholder’s benefits menjadi the stakeholder’s benefits, atau manfaat bagi semua pihak. Persoalan konglomerasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan persoalan buruh.
Kita dapat melihat sebuah kenyataan bahwa orientasi dan referensi ekonomi konglomerat kita lebih mengarah pada model etika bisnis Barat yang tidak memberikan porsi yang layak pada persoalan buruh. Sehingga, dalam aplikasi kehidupan bisnis di Indonesia, etika bisnis yang digunakan tidak memfasilitasi kehidupan para buruh, bahkan cenderung menekan. Negara Barat sudah mencapai taraf negara makmur, hal ini dapat dilihat dari hak kaum buruh yang sudah lebih terjamin dan sejahtera. Tetapi di Indonesia, yang terpenting adalah menghilangkan kesalahan kapitalisme klasik sebagaimana yang terjadi di awal industrialisasi yang menghisap tenaga buruh. Oleh karena itu, masalah buruh, seperti upah yang adil, keselamatan di tempat kerja, kesehatan, dan sebagainya; perlu menjadi isu pokok bagi penciptaan atmosfer bisnis konglomerat yang lebih manusiawi dan lebih meng-Indonesia.
“Keamanan” Ekonomi Indonesia
Secara umum, memang kita dapat melihat bahwa ekonomi kita memiliki struktur yang kokoh dan tangguh. Latar belakang dari fenomena ini adalah karena kuatnya dominasi dari para pengusaha kelas atas dalam percaturan ekonomi Indonesia. Sementara, pengusaha menengah dan kecil yang seharusnya menjadi pilar dan ujung tombak, belum memainkan perannya sama sekali.
Ketidakseimbangan ini, menurut Fajar Prasongko (Bisnis Indonesia, 1992), mirip dengan bentuk piramida terbalik. Hanya segelintir orang yang menguasai bagian terbesar dari bagian ekonomi, sementara mayoritas hanya menikmati sebagian kecil saja. Situasi seperti ini akan dengan mudah mengguncang perekonomian Indonesia, bila satu diantara konglomerat itu tumbang. Dampak yang terjadi akan meluas ke banyak arah, karena tidak bisa dimungkiri mereka telah terlanjur menguasai titik titik strategis perekonomian Indonesia. Hal ini jelas kondisi yang tidak sehat.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa para pengusaha kelas atas memang memiliki banyak saluran dan kemudahan dalam menjalankan dan mengekspansi bisnisnya. Tetapi yang menjadi persoalan, tidak ada upaya konkret dari mereka untuk secara kolektif dan sistematis meningkatkan perekonomian masyarakat dengan membantu perangsangan tumbuhnya kewirausahawanan di kalangan pengusaha kecil. Kalau kita melihat kekayaan dan omset para konglomerat di tahun 1992 yang jumlahnya sekitar 300-an orang dengan 53 diantaranya pribumi, kita melihat kekayaan sebesar Rp70 triliun dan omzetnya sebesar Rp131 triliun. Sebuah angka yang sangat mengagumkan bila dibandingkan dengan jumlah simpanan 3,5 juta anggota dan omzet koperasi di seluruh Indonesia (4000 unit) yang hanya mencapai Rp2 triliun dan Rp5 triliun (Info Bisnis, Nov. 1993).
Kondisi demikian menimbulkan kekhawatiran, sebagaimana yang ditulis oleh Prof. Sarbini Sumawinata dalam Business News Oktober 1992, “Struktur sosial-ekonomi Indonesia cenderung memusat pada puncak pimpinan tertinggi baik nasional maupun regional/lokal,” katanya. Kondisi ini perlu segera diubah, terutama menyangkut pemusatan kekuatan ekonomi yang hanya dipegang oleh segelintir orang baik pribumi maupun keturunan Tionghoa. Meskipun tidak ada data statistik yang akurat mengenai para konglomerat, taksiran Bank Dunia menerangkan bahwa penjualan dari lima grup perusahaan terbesar kira-kira sama dengan 10% GDP Indonesia pada tahun 1990. Berangkat dari hal ini, Jendral (Purn.) A. H. Nasution dalam surat terbukanya menjelang hari HUT ABRI pada 5 Oktober 1993, mengatakan kekhawatirannya dengan mengingatkan bahwa sudah saatnya bagi ABRI untuk meningkatkan kemampuan kelompok menengah Indonesia agar dapat berperan dalam perekonomian nasional. Lebih jauh lagi dikatakan, “Kalau ABRI setia pada doktrinnya, tidak ada jalan lain kecuali memilih strategi ekonomi nasional yang didukung oleh kelas menengah Indonesia yang meluas dan berakar.” Terlepas dari pro dan kontra ide Nasution ini, dapat dilihat betapa rawannya ketahanan ekonomi Indonesia. Bencana ekonomi mungkin tidak terasa secara drastis dan dramatis, tetapi lambat laun dan sistematis akan menggerogoti penopang perekonomian Indonesia.
Agenda yang Perlu Diperhatikan
Ada beberapa persoalan yang harus segera mendapatkan jawaban berkaitan dengan persoalan di atas. Pertama, penguatan sistem hukum dagang di Indonesia. Hukum dagang di Indonesia perlu dievaluasi dan diperbarui, karena hukum dagang yang berlaku saat ini masih merupakan peninggalan kolonial Belanda yang sudah ketinggalan zaman. Selain itu, karena pertumbuhan bisnis yang pesat dalam beberapa dekade belakangan ini, masih banyak wilayah bisnis yang belum terjamah oleh regulasi/hukum. Kedua, peningkatan keterbukaan konglomerat mengenai bisnis yang dijalankannya, sehingga masyarakat dan pemerintah dapat mengetahui. Hal ini tentu tidak akan dilakukan begitu saja oleh para konglomerat. Oleh karena itu, kekuatan penekanan perlu dilakukan untuk memosisikan agar konglomerat terpaksa membuka kondisinya. Perlu pula diketahui, tidak semua informasi bisa dibuka, karena bagaimanapun kegiatan mereka juga memiliki rahasia. Akan tetapi, apabila ternyata BKPM, misalnya, memperoleh data yang salah akibat para konglomerat tidak jujur, maka persoalannya bisa menjadi lain.
Ketiga, keperluan mengurangi hubungan antara penguasa dan pengusaha yang institusional dan tidak personal, apalagi telah menjadi sebuah kolaborasi. Hubungan dengan pemerintah telah menyebabkan munculnya monopoli oleh beberapa konglomerat. Pada tahun 1980-an, di balik berbagai deregulasi yang dijalankan pemerintah, terjadi koneksi yang meningkat pada industri tertentu dengan birokrasi dan telah mengalami kesuksesan. Contoh yang sangat jelas misalnya pada komoditas karet dan rotan, dengan diperkirakan sewa yang telah ditandatangani oleh para konglomerat mencapai nilai beberapa triliun rupiah. Keempat, swastanisasi, bila dijalankan, perlu dilakukan dengan perencanaan matang dan arif yang berbasis pada efisiensi dan orientasi pasar alih-alih koneksi. Karena bila hal ini terjadi, maka swastanisasi yang dilakukan bukan untuk mencapai peningkatan, tetapi malah untuk meningkatkan keuntungan segelintir orang. Hal ini bisa dilihat dari fenomena penanganan dan perawatan pesawat Garuda Indonesia yang sebelumnya dilakukan sendiri, kini diambil alih oleh Sempati Air. Contoh lain pada kasus yang sama, Garuda Indonesia harus melepaskan pesawat dan jalur penerbangannya.
Langkah konkret harus segera diambil. Akan tetapi, kemauan pemerintah maupun konglomerat untuk memperbaiki kondisi ini harus dimulai dengan kesadaran bahwa selama ini mereka telah diuntungkan oleh situasi ekonomi dan politik. Maka, sudah saatnya untuk membalas budi dengan penyebaran kesejahteraan kepada semua lapisan masyarakat tanpa terbatas geografis. Tanpa usaha ini, maka para konglomerat dengan tidak sadar sedang membangun kecemburuan dan kekecewaan kolektif masyarakat Indonesia yang sewaktu-waktu dapat meledak.
Artikel ini ditulis dengan penyuntingan ulang oleh Edo Saut Hutapea.