Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Warga Pesisir Semarang dalam Getir Tata Kelola Air
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
LAPORAN UTAMA

Warga Pesisir Semarang dalam Getir Tata Kelola Air

Juni 30, 2025

©Aghits/Bal

Air melimpah ruah dari tanah, laut, hingga sungai di Kampung Tambakrejo, Kota Semarang. Namun, tiada air bersih yang bisa digunakan warga dengan layak. Mereka terus-menerus dirugikan akibat tata kelola air yang awut-awutan.

Air tanah dalam menjadi satu-satunya air layak konsumsi di Kampung Tambakrejo, Kota Semarang. Akan tetapi, penggunaan sumber air itu telah dilarang oleh pemerintah melalui Peraturan Wali Kota Semarang Nomor 23 Tahun 2023 tentang Zonasi Bebas Air Tanah (PERWALI 23/2023). Pasalnya, pengambilan air tanah telah diamini pemerintah sebagai penyebab utama penurunan muka tanah besar-besaran yang membuat Kota Semarang terus dihantam banjir. Larangan ini kian menyulitkan warga Kampung Tambakrejo lantaran pemerintah tak kunjung menyediakan pasokan air alternatif yang layak seiring dengan diberlakukannya aturan tersebut.

Pasang Surut Air Bersih Warga Tambakrejo

Panas menyengat yang akrab dengan pesisir utara Kota Semarang sudah biasa dirasakan Syafi saat menjalani aktivitasnya. Tahun 2000 silam, membeli air jeriken ke desa seberang ialah salah satu kegiatan yang rutin ia lakukan. Tiap tiga hari sekali, Syafi membeli air jeriken dari pengusaha lokal di Desa Cilosari, sebuah desa yang berjarak sekitar 500 m dari rumahnya. Untuk membawa pulang air jeriken tersebut, Syafi menggunakan gerobak yang ia dorong dari tempat penjual air menuju rumahnya di Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, Kota Semarang. Air jeriken yang dibeli Syafi adalah air yang berasal dari sumur air tanah dalam. Dengan uang Rp200,-, ia sudah bisa mendapatkan 20  hingga 30 liter air untuk kebutuhan minum dan masak.

Meski sudah memiliki sumur sendiri, Syafi tetap harus membeli air dari pengusaha lokal lantaran air sumur di rumahnya tak layak dikonsumsi. Air di rumahnya bersumber dari sumur tanah dangkal dengan kedalaman kurang dari 30 m, air yang dihasilkan memiliki rasa payau dan bertekstur pekat. Ia hanya bisa menggunakannya untuk mencuci, itu pun masih harus dibilas lagi. Sementara itu, air sumur yang ia beli bersumber dari sumur tanah dalam dengan kedalaman lebih dari 100 m, memiliki rasa tawar sehingga layak dikonsumsi.

Buruknya kualitas air tanah dangkal di Kampung Tambakrejo tidak terlepas dari peristiwa krisis iklim, utamanya pemanasan global. “Kalau suhunya naik, air akan memuai. Global warming itu menyebabkan kenaikan permukaan air laut,” terang Heri Sutanta, Dosen Teknik Geodesi UGM. Ia menjelaskan bahwa kenaikan permukaan air laut akan menciptakan tekanan air laut ke dalam lapisan tanah. Air tawar di tanah yang dangkal tidak bisa membendung tekanan air laut sehingga air laut bercampur dengan air tanah. Peristiwa yang dinamakan intrusi air laut ini, menurut Heri, membuat air tanah dangkal terasa payau. 

Kondisi air tanah saat mengalami intrusi air laut.

Berbeda halnya dengan air tanah dangkal, Heri mengatakan bahwa kualitas air tanah dalam, seperti di Kampung Tambakrejo, lebih bagus karena tekanan air laut di bagian tanah dalam jauh lebih kecil. “Tekanan dari air laut, semakin jauh tekanannya, semakin berkurang” cakapnya. Menurut Heri, hal ini membuat air laut yang bercampur dengan air tawar di tanah dalam tidak semasif ketika di tanah dangkal.

Buruknya kualitas air tanah dangkal membuat Warga Kampung Tambakrejo memanfaatkan air tanah dalam. Pada tahun 2011, salah seorang warga bernama Dawam membangun sumur tanah dalam. Wiwik, paman dari Dawam, mengatakan bahwa sumur itu dibangun lantaran Dawam membutuhkan air yang bersih untuk menjaga kehigienisan produk usaha ikan pari miliknya. Hal ini membuat Dawam mulai membuka usaha penjualan air dari sumur tanah dalam sekaligus. Syafi bercerita bahwa inisiatif Dawam tersebut disambut baik oleh warga yang antusias ingin memasang saluran pipa dari sumur Dawam. “Kita saling nyempuyung (bekerja sama). Jadi, Pak Dawam seneng iso ndodoli banyu ning situ (senang bisa jual air di situ) dan warga bisa menggunakan manfaat itu,” ungkap Syafi.

Selama 10 tahun, warga Kampung Tambakrejo hidup dengan air dari sumur tanah dalam milik Dawam. “Kita dapat saluran air artesis [tanah dalam-red] lewat paralon. Aku ingat waktu itu setiap masang meteran bayar Rp200.000,- satu rumah,” cakap Syafi. Air tersebut dapat mereka gunakan untuk mencuci dan memasak sehingga tidak perlu membeli air tambahan dari desa seberang. 

Keadaan berubah saat warga harus pindah rumah imbas Proyek Strategis Nasional normalisasi sungai Banjir Kanal Timur (BKT) pada Juli 2018. Kampung Tambakrejo yang semula berada di bantaran sungai BKT berpindah ke area Kalimati, Kelurahan Tanjung Mas, pada Januari 2021. Di sana, Pemerintah Kota Semarang menganti rugi rumah-rumah warga dengan rumah deret. Rumah tersebut diberikan sepaket dengan air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Semarang. “Semenjak kita menempatkan sini, mau enggak mau kita tetap pakai air PDAM,” terang Syafi dengan nada pasrah. 

Kampung Tambakrejo pascarelokasi. ©Aghits/Bal

Pergantian sumber air membuat Syafi merasakan perbedaan kualitas air yang kontras. Pasalnya, Syafi merasa bahwa air PDAM tidak layak dikonsumsi karena berbau bahan kimia terlalu tajam. Bahkan, menurut Syafi, air PDAM kerap keruh akibat perbaikan dari instalasi pipa yang sering rusak. “Kadang kayak air keruh gitu, loh. Airnya kayak jadi kecampur lumpur,” ungkapnya. Akibatnya, Syafi perlu mengendapkan air PDAM terlebih dahulu saat hendak menggunakannya.

Tak hanya soal kualitas, harga air PDAM yang tidak terjangkau juga menjadi masalah bagi warga Kampung Tambakrejo. Syafi dibebankan golongan pelanggan Rumah Tangga III dengan biaya Rp5.000,- per m3 untuk pengeluaran air sebesar 21 hingga 30 m3 per bulan. Harga tersebut belum termasuk biaya perawatan pipa yang dapat mencapai Rp30.000,-. “Itu ya akhirnya jadi beban ekonomi,” ucapnya. Padahal, sebelum memakai PDAM, Syafi hanya perlu membayar Rp2.500,- hingga Rp5.000,- per m3 untuk biaya air tanah dalam dari sumur milik Dawam.

Tarif air minum pelanggan PDAM Kota Semarang.

Kesulitan biaya tidak terantuk pada itu saja. Lantaran air PDAM tidak layak dikonsumsi, Syafi harus mengeluarkan uang sebesar Rp5.000,- tiap dua hari sekali untuk membeli 18 liter galon air minum. Beragam masalah biaya PDAM tersebut membuat Syafi merasa bahwa air tanah dalam jauh lebih terjangkau. “Dulu waktu kita pakai air artesis, sehari 1 m3, katakan Rp2.500,-. Itu enggak ada biaya lain,” cakap Syafi.

Pengalaman seperti itu tak hanya dirasakan oleh Syafi, warga Kampung Tambakrejo lain seperti Akhsis, Anita, Marzuki, dan Muslimah juga mengalami hal serupa. Syafi dan warga lainnya lantas berharap bisa kembali menggunakan air dengan kualitas yang lebih layak daripada air PDAM. Bahkan, jika boleh memilih, Syafi mengaku ingin beralih ke sumur air tanah dalam lagi. Tak hanya Syafi, Akhsis juga menginginkan hal serupa. “Karena airnya lebih bersih, lebih murah, lebih bagus lah,” ujar Akhsis. 

Sayangnya, warga Kampung Tambakrejo tidak pernah diberi kesempatan untuk menentukan sumber air yang bisa mereka gunakan. Hal ini karena dalih penurunan muka tanah di pesisir Kota Semarang yang menjadi alasan munculnya larangan penggunaan air tanah dalam oleh Pemerintah Kota Semarang. “Tambakrejo termasuk dalam zona merah, yaitu daerah yang dilarang melakukan pengambilan air bawah tanah [air tanah dalam-red] karena risiko penurunan muka tanah dan intrusi air laut yang tinggi,” ungkap Agustina Wilujeng Pramestuti, Wali Kota Semarang, saat diwawancarai melalui WhatsApp pada Rabu (02-06-2025).

Pangkal Amblesnya Pesisir Semarang

Penurunan muka tanah memang menjadi salah satu pemicu terjadinya bencana banjir yang kerap melanda wilayah pesisir Kota Semarang, salah satunya di Kampung Tambakrejo. Dalam penelitiannya, Heri menghitung penurunan muka tanah di pesisir Kota Semarang dengan hasil rata-rata 10 cm per tahun. Penurunan tersebut diprediksi masih terjadi hingga saat ini. “Sekarang ini masih pada periode ketika tanahnya itu masih tetap turun,” ungkap Heri.

Namun, penyebab penurunan muka tanah di pesisir Kota Semarang bukanlah karena pengambilan air tanah dalam di Kampung Tambakrejo semata. Lampiran PERWALI 23/2023 menyebutkan bahwa zonasi kritis air tanah dalam membentang dari wilayah timur Kecamatan Semarang Barat hingga Kecamatan Genuk. Sementara itu, dari utara ke selatan, zonasi ini mencakup Kecamatan Semarang Utara hingga Kecamatan Semarang Tengah. Banyak industri yang beroperasi di wilayah tersebut. Bagas Yusuf Kausan, Peneliti Amerta Air Indonesia, mengatakan bahwa industri tersebut turut menggunakan air tanah dalam.

Area merah merupakan zona kritis cekungan air tanah Semarang-Demak.

Menurut Bagas, industri yang ada jauh lebih masif dalam menggunakan air tanah dalam. “Sebenernya yang paling banyak memakai itu ya pelabuhan karena pelabuhan butuh air untuk dibawa ke kapal,” ungkapnya. Salah satu industri yang membutuhkan banyak pasokan air adalah Pelabuhan Tanjung Emas. Pada tahun 1996 hingga 2005 saja, kebutuhan air di Pelabuhan Tanjung Emas mencapai rata-rata 247.500 m3 untuk pasokan umum dan rata-rata 100.500 m3 untuk pasokan kapal. Hal ini jauh berbeda dengan warga yang hanya membutuhkan sekitar 10 hingga 30 m3 air tiap bulannya.

Grafik Kebutuhan Air Pelabuhan Tanjung Emas Semarang Tahun 1996–2005.

Pelabuhan Tanjung Emas sebetulnya telah terdaftar sebagai pelanggan PDAM. Akan tetapi, Bagas mengungkap bahwa kebutuhan air yang terlalu banyak membuat pelabuhan tetap mengambil air tanah dalam hingga saat ini. “Hitung-hitungannya, kalau pakai PDAM mahal. PDAM enggak akan cukup sih menurutku, secara debit, untuk kebutuhan pelabuhan yang sangat besar,” tegasnya. 

Lebih lanjut, Bagas menilai bahwa sejumlah industri di kawasan tersebut tidak jujur dalam mendaftarkan izin penggunaan sumur. Dari data yang Bagas peroleh, pada tahun 2020, Kementerian ESDM hanya mendata 68 sumur tanah dalam di Kota Semarang. Sementara itu, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang justru mencatat sumur tanah dalam di Kota Semarang berjumlah 811. “Data tersebut tidak masuk akal,” cakapnya.

Data tersebut menunjukkan bahwa pengambilan air tanah dalam masif dilakukan oleh industri dengan cara yang tak jujur. Namun, menurut Bagas, pihak yang selama ini sering disalahkan atas pengambilan air tanah dalam justru adalah penduduk perkampungan seperti warga Kampung Tambakrejo. Padahal, inisiatif pembuatan air tanah dalam terjadi karena warga Kampung Tambakrejo tidak memiliki pilihan lain. “Mereka itu enggak ada opsi lain sebenernya, kalau mau hitung-hitungan pemakaian, jauh dibanding pelabuhan. Jadi, ketimpangannya di situ,” terang Bagas.

Pun, pengambilan air tanah dalam bukanlah satu-satunya penyebab penurunan muka tanah di pesisir Kota Semarang. Bagas menemukan bahwa kondisi tanah yang masih labil hingga beban konstruksi bangunan yang terlalu berat dari industri juga menyebabkan penurunan muka tanah yang signifikan di pesisir Kota Semarang. Hanya saja, penyebab yang lebih sering disorot adalah pengambilan air tanah dalam. “Itu kenapa sering disebut? Karena dengan air tanah dalam, pemerintah dengan pabrik-pabrik itu jadi terbebas dari masalah,” terang Bagas. Pembiaran oleh pemerintah terbukti dengan tetap berlangsungnya aktivitas industri di pesisir Kota Semarang.

©Aghits/Bal

Area industri di Kelurahan Tanjung Emas memiliki luas 163 ha yang lebih besar dibanding area permukiman dengan luas 92 ha.

Seloroh Air Bersih bagi Warga

Seiring dengan polemik air tanah dalam, Agustina mengaku bahwa Pemerintah Kota Semarang sebetulnya telah berkomitmen memberikan layanan PDAM sebagai solusi sumber air bersih yang legal dan aman di Kampung Tambakrejo. Berkaitan dengan komitmen tersebut, Yudi Indarto selaku Direktur Utama PDAM Kota Semarang mengatakan bahwa Kampung Tambakrejo telah menjadi area prioritas layanan air bersih dari PDAM Kota Semarang. “Kami terus perbaiki sistem dan juga kembangkan cakupan layanan di daerah tersebut [Kampung Tambakrejo-red] karena kasihan mereka. Mereka itu kan enggak punya alternatif sumber,” terangnya.

Faktanya, penyaluran air bersih hanya menjadi omong kosong pemerintah belaka. Meski begitu, Yudi berdalih bahwa sebetulnya kualitas air PDAM Kota Semarang sudah memenuhi standar baku air minum yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2023. Hanya saja, kualitas air berubah saat disalurkan ke rumah-rumah warga karena pipa-pipa PDAM yang sudah tua dan sering bocor. “Sampai ke masyarakat itu cuma sebatas air bersih, tapi di instalasi pengolahannya, sebenarnya kualitasnya sudah air minum,”  terang Yudi.

Sadar akan buruknya kualitas pipa PDAM, Yudi berencana menyalurkan pipa baru yang lebih baik ke beberapa tempat di Kota Semarang sebagai area percontohan. Akan tetapi, alih-alih memprioritaskan kawasan pesisir, ia justru mengarahkan perbaikan pipa ke kawasan industri kopi dan perumahan di area Semarang Barat. “Di Kelurahan Candi ada satu industri besar ya, namanya Kapal Api. Kita lagi mau support dengan standar kualitas air minum” cakap Yudi. Sementara di Kampung Tambakrejo, Yudi mengatakan bahwa upaya perbaikan pipa belum bisa dilakukan karena letaknya dinilai terlalu jauh dari instalasi pengolahan air. 

Nihilnya komitmen PDAM membuat Bagas merasa warga Kampung Tambakrejo harus menanggung kerugian yang bertubi-tubi. “Permasalahan PDAM yang kayak gini yang dirugikan siapa? Warga juga. Kualitas airnya buruk. Dia [warga-red] jadi harus beli dari galon,” tegasnya. Bagas merasa bahwa Pemerintah Kota Semarang seharusnya bisa menyalurkan air yang layak pakai dan lebih ekonomis bagi warga. 

Penulis: Aghits Azka Aghnia
Penyunting: Leoni Nevia
Fotografer: Aghits Azka Aghnia

*Liputan ini merupakan hasil program fellowship “Jurnalisme Peduli Pesisir, Selamatkan Urip Wong Jawa Tengah” bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

2
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Kelakar UGM, KKN Tak Boleh Kelar

Sendat Tetes Air Wadas dalam Jerat Tambang

Petani Pundenrejo dalam Belenggu “Hama” PT LPI

Setengah Mati Orang-Orang Bantaran Rel Kereta Api

Kicau Riuh Kampus Hijau UGM

Timbulsloko Tenggelam dalam Pasang Surut Kebijakan

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Warga Pesisir Semarang dalam Getir Tata Kelola Air

    Juni 30, 2025
  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM