
©Aiken/Bal
Asosiasi Tradisi Lisan Jawa Timur dan Komunitas Seni Budaya BrangWetan menyelenggarakan diskusi bertajuk “Transgender dalam Cerita Panji” pada Rabu malam (30-04). Diskusi juga menjadi bagian program Relevansi dan Aktualisasi Budaya Panji yang memang diselenggarakan secara berkala. Agenda ini menjadi ruang penting dalam menelaah kembali nilai-nilai pluralisme gender dalam budaya tradisional Indonesia. Turut hadir dalam diskusi tersebut Seno Gumira Ajidarma, Sastrawan; Prof. Wardiman Djojonegoro, Promotor Budaya Panji; Dede Oetomo, Aktivis GAYa Nusantara; dan Henri Cahyono, Ketua Komunitas Seni Budaya BangWetan.
Dalam diskusi, kisah cinta seorang tokoh bernama Panji Semirang dari masa Majapahit dijadikan sebagai sebuah pemantik. Perjuangan Panji yang memuat jejak budaya yang lebih dalam tentang gender yang beragam dan bisa diterima di dalam masyarakat Majapahit. “Karena pada masa pluralisme gender di Majapahit, keberadaan laki-laki bertubuh feminin diterima sebagai kewajaran. Artinya, sudah terdapat subkultur transgender,” ucap Seno.
Seno bercerita, tokoh Putri Candra Kirana yang dua kali menyamar menjadi laki-laki, yaitu Panji Semirang dan Warga Asmara untuk membuktikan kesetiaan dan keteguhannya kepada Raden Inu Kertapati. Ia melanjutkan dalam berbagai adegan Panji Semirang tampil sebagai laki-laki feminin, sementara Raden Inu menunjukkan ketertarikan tanpa mengetahui identitas asli sang tokoh. “Raden Inu jatuh cinta pada Candra Kirana saat ia masih mengenalnya sebagai laki-laki,” ungkap Seno. Ia juga menyoroti bahwa rayuan Raden Inu dan penyamaran Panji mencerminkan hadirnya peran gender nonkonvensional dalam cerita rakyat.
Seno melanjutkan pada adegan lain, saat Raden Inu, seorang pria berperawakan gagah bergas bisa menunjukkan mata penuh birahi. Sastrawan itu mendeskripsikan hasrat Raden Inu bukan kepada seorang perempuan, tetapi kepada Panji, laki-laki langsing, luwes, cantik, dan molek. Ia juga menjelaskan bahwa hasrat seksual Panji bahkan muncul, menyambut baik niatan Raden Inu. “Jadi, pada adegan tersebut melibatkan penonton kedalam pengaduan pemilahan seksual, seolah-olah pasangan sesama jenis adalah sahih,” terang Seno.
Dede sendiri menerangkan bahwa budaya Indonesia dahulu tidak pernah memberikan label-label khusus di dalam gender. Bahkan, Dede menekankan bahwa gender tidak perlu dikotak-kotakkan, budaya Indonesia sebenarnya cair. “Namun, saya akan lebih berhati-hati dalam penggunaan label di masa sekarang,” terangnya. Pasalnya, saat ini label-label seperti transgender dan segala identitas gender baru muncul di masa saat ini.
Seno juga menjelaskan kisah Panji mengalami pergeseran makna atau intermediasi budaya yang mengakibatkan perubahan konstruksi gender. Menurut pengamatannya, ia melihat dominasi agama hegemonik dan ilmu pengetahuan modern memarjinalkan wacana keberagaman gender. “Dalam hal ini adalah tanda-tanda transgenderisme itu sepertinya tersembunyi ya, jadi seperti ada, tapi harus dibongkar dulu ke dominasi orientasi heteroseksual,” ujar Seno.
Dede juga mempertanyakan perihal kisah-kisah seperti Panji dan Centini yang bisa bergeser makna kecairan gender di Indonesia. Ia bahkan menuntut pemerintah untuk mulai memperhatikan hal ini. “Loh, katanya untuk melestarikan budaya leluhur. Ya, ini dia,” sebut Dede. Padahal, jika mengikuti teori-teori sosial-budaya, ia menyebutkan bahwa orang-orang dalam pendidikan modern sudah mulai mempelajari teori-teori queer.
Lulut Adi, salah satu peserta diskusi ikut memberikan pernyataan dalam diskusi ini. Dalam naskah Panji ini, ia yang memang ikut terlibat dalam alih aksaranya menyebutkan bahwa perubahan perempuan menjadi laki-laki ini juga memiliki modus politik. “Ia kesulitan untuk masuk ke dalam lingkungan kerajaan,” ungkap Lulut. Jika dikaitkan dalam masa kini, bahkan dalam pemilu kemarin para lelaki banyak dipengaruhi perempuan. Jadi, dalam dunia politik perempuan memiliki ruang politik yang besar juga.
Dede juga menambahkan bahwa sedari dulu keberagaman memang sudah bermacam-macam, hanya saja peraturannya berbeda. Itu alasan adanya hegemoni, hanya saja ia menekankan bahwa hegemoni itu bocor. “Di Aceh saja masih ada yang berani [menjadi bagian heteronormativitas-red] walau ada ancaman cambuk, semangat manusia itu nggak hilang,” terangnya.
Penulis: Azmi Hanief Zeinadin dan Lintang Pertiwi
Penyunting: Fachriza Anugerah
Illustrator: Aiken Gimnastiar