
©Galang/Bal
“Hidup buruh! Hidup rakyat Indonesia!” seruan itu menggema dengan lantang di Parkiran Abu Bakar Ali pada Kamis (01-05). Aksi peringatan Hari Buruh melibatkan sekitar 50 elemen masyarakat. Sebelum massa bergerak, Irsyad Ade Irawan, selaku Koordinator Aksi membacakan Deklarasi Rakyat Yogyakarta di hadapan peserta aksi. Selepas pembacaan, massa bergerak menuju gedung DPRD DIY, lalu bergerak menuju Titik Nol Kilometer Yogyakarta.
Irsyad, dalam wawancara terpisah, menjelaskan bahwa buruh tengah menghadapi tantangan. Menurutnya, tantangan saat ini muncul dari watak pemerintah yang lebih mengakomodasi kepentingan elite. Hal ini tampak dari pengesahan undang-undang yang merugikan buruh, seperti Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, sementara undang-undang yang melindungi—seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) tak kunjung disahkan. “Itu tidak disahkan oleh negara karena watak negara lebih mengakomodir kepentingan dari elit itu sendiri,” jelasnya.
Kim, perwakilan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), mengutarakan permasalahan buruh di sektor media. Ia menyoroti absennya pengakuan terhadap status pekerja lepas atau freelancer dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia. Akibatnya, pekerja lepas kerap tidak memiliki kontrak kerja yang adil, tidak mendapat jaminan kesehatan, maupun perlindungan lainnya. “Makanya, kita perlu regulasi, kita perlu soal mekanisme mengenai pekerjaan freelance, bagaimana kita mendapat upah yang layak, dapat jaminan kesehatan, jaminan kejiwaan, dan lain-lain,” ujar Kim.
Masalah kesejahteraan juga dialami oleh dosen dan tenaga kependidikan (tendik) di lingkungan kampus. Realisa Masardi, dari Serikat Pekerja Gadjah Mada (SEJAGAD), menjelaskan hasil survei internal mereka membuktikan bahwa penghasilan dosen dan tendik lebih rendah dibandingkan penghasilan dari proyek-proyek tambahan. Ia menyebutkan ini bukan kondisi ideal. “Harusnya institusi sebagai pemberi kerja juga harus memberikan kesejahteraan yang dosen itu tanpa meroyek,” tegasnya.
Isu lain datang dari kalangan pekerja purna migran. Wulan, dari Koordinasi Pekerja Purna Migran Indonesia (KOPPMI), menuturkan bahwa banyak pekerja migran mengalami diskriminasi usia selepas kembali ke Indonesia. “Jadi, kita tersingkirkan, sedangkan pemerintah tidak memperhatikan,” keluhnya.
Dalam kondisi negara yang belum mengakomodasi kepentingan buruh, Kim menegaskan pentingnya persatuan di antara kelas pekerja. Ia menjelaskan bahwa meskipun kelas penindas jumlahnya sedikit, mereka memiliki berbagai sumber daya seperti aparat, uang, serta kuasa untuk memecat pekerja. Sementara itu, kelas pekerja hanya memiliki jumlah yang besar yang bisa dimanfaatkan sebagai kekuatan kolektif. “Menyatukan pikiran dan badan sehingga kita bisa berjuang,” tegasnya.
Penulis: Nabeel Fayyaz
Penyunting: Galih Akhdi Winata
Fotografer: Hadrian Galang