Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
SASTRA

Jejak Tan dan Puisi-Puisi Lainnya

Oktober 28, 2024

©Rezi/Bal

JEJAK TAN
: Tan Malaka

apa yang kau buru sepanjang jalan cadas ini,
tan?

roda-roda kemiskinan berganti kulit,
berubah jadi menara baja,
tinggi menusuk langit,
serupa ular haus petir

pintu-pintu kebodohan terkunci rapat,
melahirkan manusia besi,
nyawanya terjebak listrik,
membelit kabel sunyi

kayu dan bajak sudah pulas,
merayakan mimpi panjang bermusim-musim,
mengubur hijau sawah dalam hamparan beton,
berasap dan tabah tergilas matahari,
waktu melilit mesin,
tak pernah tidur, tak kenal henti

mata sudah lama buta,
penat meneteskan air asin,
enggan berbagi lukisan,
egois memiliki warna sendiri,
hitam

tan,
walau jerit kesakitan sampai ke liangmu,
walau arwah busuk memanggilmu,
walau debu-debu palsu memelukmu,
jangan bangkit,

teruslah berbaring,
ingatlah buai rahim bumi,
yang melahirkanmu,
tatkala bukit masih berbaris sempurna,
tunggulah tunas masa depan,
bunga-bunga akan menyembul melampaui ilalang,
angin dan cahaya tak membiarkan,
mimpi-mimpi mati diberangus pengecut

Semarang, 1 Oktober 2024

 

DOA YANG TAK PANTAS
: Tan Ek Tjoan

di sini, tak ada tulip mekar, tak ada kincir air,
hanya ada bukit, gunung, dan rimba perawan,
berbisik-bisik dengan bahasa ganjil

di eropa jauh, suara mortir bernyanyi lantang,
seperti sangkakala dibunyikan lucifer,
mengiris-iris tulang setipis benang

kunikmati setangkup roti tawar semir mentega dan gula pasir,
kuseruput secangkir teh hitam priangan,
memandangi pekerja kebun lalu-lalang,
membungkuk memanggul pacul,
sungguh, kuk yang kau pasang tidak ringan,
dan aku tersenyum pada eden,
bumi asing yang menyusuiku siang malam

seharusnya kudoakan martir tanah lahir kekasih tuhan,
tapi aku tak pantas berbincang dengan tuhan,
sebelum pribumi mengutukku jadi anjing buduk,
biarkan kunikmati lagi roti dan teh ini,
hingga aku gila dan lupa dosa sejarah

bapa kami yang ada di surga,
jadilah sesuai kehendak-Mu,
namun di bawah matahari hindia,
jadilah segala kehendakku,
atas kepala orang-orang pribumi

Semarang, 15 September 2024

 

TAN DI MALAM PERAYAAN
: Tan Peng Liang

papa!
apa papa alpa,
di malam sincia ini,
ada pintu tua mendamba sapa,
meski tanpa ang pau merah menggigil di tangan

perayaan sederhana hanya ilusi bodoh,
di atas dipan rapuh,
mama menantimu,
walau dari dunia bawah tanah,
menggigit mawar cinta, kue keranjang tiga susun,
dan kue bulan biji teratai,
akankah hantu ca bau kan kalijodo itu,
hilang serupa asap dupa

sincia berlalu,
perayaan tahun baru tak berkilau,
mimpi musim semi berbalik arah,
peri bunga menutup kelopaknya,
dalam cinta yang tersayat keji,
hanya dewa akhirat yang tahu,
siapa terlebih dulu menjejak gerbang kekal itu,
papa,
ataukah mama?

Semarang, 18 Desember 2024

 

TAN DI RANTAU
: Tan Peng Nio

di dadamu pernah tumbuh hutan liar,
tempat rusa memadu kasih siang malam,
tempat burung pulang dari rantau tanpa sesat,
tempat hijau menghalang senja hingga hangus

di dadamu pernah mengalir ilmu beraroma teh hijau,
mendidih di dasar hati,
bergetar dalam napas para pencari kebenaran,
sehingga kuat meninju dunia,
seperti mesiu yang akan meledak

di dadamu pernah tumbuh pisau-pisau,
buas menggores kulit,
ganas mencacah daging,
garang memotong tulang,
menjadi debu tak berbau

di dadamu juga tumbuh rumah singgah,
tempat tinggal anak-anak patah sayap,
yang tercabik karena gagal terbang,
kalah bertarung,
agar bangkit menghadap mentari

akhirnya kita jumpa,
di bawah langit tanpa suara mandolin dan awan jambon serupa peoni,
aku menemui diammu

cici,
kau tidur di bumi asing,
waktu terus memburu bayang-bayang,
kau diam dalam pejam mata,
di tanah serupa ibu,
nisan tanpa sajak romantis,
dikelilingi ilalang, pohon pisang, dan perdu jawa,
serasa pulang ke tanah leluhur,
kota tembok sepuluh ribu li
yang memelukmu sambil meratap

Bekasi, 18 Desember 2023

 

SUARA TAN
: Tan Go Wat

menurut saya punya cerita,
dari tanah leluhur,
yang masyhur disebut tiongkok,
kita orang mata sipit, kulit kuning,
jago dagang, jago layar,

tiada takut mengadang ombak,
tiada jerih mengurai onak,
sampai tiba di tanah jawa,
bertemu pribumi yang sahaja

saya sematkan jin bun pada waktu,
sebuah mantra untuk bertahan hidup,
tangguh pada tubuh,
juga jiwa yang tak tergoyahkan

seperti brahma, wisnu, dan siwa,
manunggal dalam tiga murti yang luhur
seperti dharma dan sangga,
manunggal dalam harmoni tiga ratna budha yang agung

seperti dulur papat,
manunggal dalam satu pancer
seperti rasa, pikir, kata, laku yang tauhid,
manunggal menghadap kiblat barat

bulan basah,
hari kering,
saya memandang dunia yang hampir mati,
seperti secawan anggur yang terabaikan,
namun di tengah impitan batu dan lempung sawah,
tunas iman tumbuh mengelilingi,
sebentuk kubah wangi jadilah,
dilena waktu yang tak tidur

Semarang, 15 Oktober 2024

 

TAN DALAM LABIRIN
: Tan Tjeng Bok

pertunjukan usai,
layar jatuh,
musik merangkak pergi,
para pemain sandiwara lenyap dalam bayangan,
kursi penonton melompong,
dan kau, kau di sana,
berdiri di panggung kosong

tepuk tangan mati bersama siang,
apa yang kau hirup semasa hidup,
tak satu pun kau bawa menuju lahad,
engkau payah mengumpulkan jejak,
di hadapanmu hanya sebuah buku kosong,
kau kebingungan menulis lakon baru,
semua kata mencari pesta yang lebih meriah,
tak ada yang menunggumu,
dan kau, kau terlalu lambat,
terlalu abu,
terlalu gagu

Bekasi, 15 Desember 2023


Christya Dewi Eka

Lahir di Jakarta, berdomisili di Semarang, lulusan Fakultas Sastra
Indonesia, Universitas Diponegoro, Semarang tahun 2003. Beberapa karyanya dimuat dalam
puluhan antologi puisi, media cetak, dan media online, seperti Republika, Klasika Kompas,
Suara Merdeka, Radar Pekalongan, Ayo Bandung, Kurung Buka, dan lain-lain.

3
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Rumah Api

Kota Kata

Cita-Cita Karima

Surat Pengadilan

Repih dan Puisi-Puisi Lainnya

Pigura Hidup dan Puisi-Puisi Lainnya

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025
  • Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan Mahasiswa

    Mei 24, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM