Instalasi padi, telinga, dan suara-suara aneh yang terdengar sakral memenuhi seluruh ruangan pertama Artjog. Ekspresi penasaran dan kagum terlihat dari wajah para pengunjung yang sedang melihat-lihat instalasi Suara Keheningan karya pasangan suami istri, Agus Wage dan Titarubi. Suara Keheningan menjadi karya pembuka di Artjog 2024 yang bertema āMotif: Ramalanā. Tema ini mengeksplorasi ramalan dan persepsi tentang waktu yang dipengaruhi oleh imajinasi, kreativitas, serta elemen budaya. Melalui āMotif: Ramalanā, para seniman menghadirkan kembali peristiwa masa lalu dan berbagai harapan di masa depan.
Dalam karya Suara Keheningan, Agus dan Titarubi berusaha mengangkat isu pangan sebagai tema ramalan mereka. Transformasi tradisi pertanian tradisional ke pertanian modern menjadi fokus utama mereka, salah satunya tradisi rapalan-rapalan tandur. Tradisi yang bertujuan mengapresiasi alam saat musim panen ini telah terkikis oleh pemakaian mesin pertanian. Aris (bukan nama sebenarnya) salah satu pengunjung merasa isu soal pangan ini sangat relevan untuk diangkat saat ini, “Oke sih itu dijadiin fasad ya, sama Artjog,” ucap Aris.
Selain Suara Keheningan, di lantai pertama juga ada karya yang ramai dikunjungi pengunjung, Pembacaan Serat Centhini, Empat Puluh Malam, dan Satunya Hujan. Karya ini berasal dari tembang-tembang di Serat Centhini yang kemudian dinarasikan oleh Nicholas Saputra dan Happy Salma. Instalasi berbentuk dua manusia ini dilengkapi dengan headphone serta bangku untuk pengunjung yang hendak mendengarkan pembacaan tembang. Menurut Aini, adanya instalasi ini memberikan suatu pengalaman yang sangat menarik. “Ada sejarah-sejarah yang dibawakan melalui aktor-aktor itu juga jauh lebih menarik,” ungkap Aini.
Kemudian berpindah ke lantai dua, terdapat Capturing Aroma karya Tempa yang berisi instalasi minyak atsiri, beragam pajangan flipbook, dan sejumlah lagu. Melalui rangkaian instalasi ini, Tempa berusaha merefleksikan peristiwa yang berhubungan dengan aroma, seperti penemuan parfum legendaris. Tempa merasa bahwa aroma adalah suatu bentuk yang rapuh sehingga untuk membangkitkan narasi personal dan subjektif diperlukan penggunaan visual dan suara. Aurel, selaku gallery sitter, berpendapat semua rangkaian ini adalah satu kesatuan, āKarena ini kan yang di frame ini terinspirasi juga dari rumah produksi atsiri ya, dari artisnya yang residensi di rumah atsiri. Jadi ini semua kaya nyambung,” ungkapnya.
Selanjutnya di lantai paling akhir, terdapat Noir: Under Construction History of Surrealism and Consumerism Days karya Trio Muharam. Trio Muharam berusaha menggambarkan bahwa kehidupan sehari-hari juga bisa menjadi suatu bentuk konsumerisme lewat estetika film noir dan medium kode QR. Dalam instalasi karya ini, bentuk konsumerisme itu tergambarkan ketika pengunjung membayar hasil scan ramalan yang telah dibacakan oleh gallery sitter. Zulfi, salah satu pengunjung, menganggap keunikan ini juga bagian dari seni, “Kan sekarang seni bisa mungkin meluas bisa multimedia, jadi ya bagus, bisa sih,” tangkasnya.
Secara garis besar, berbagai respons ditemui di beberapa pengunjung Artjog tahun ini. Menurut Aini, harga tiket sebesar 75 ribu rupiah sepadan dengan pengalaman yang ditawarkan Artjog. Banyak hal yang bisa dikulik di Artjog, mulai dari ekspresi ataupun cerita di dalam karya-karyanya. Namun, di sisi lain, Aris menilai karya yang dipamerkan Artjog tahun ini masih berkualitas standar, padahal tema Ramalan bisa dieksplor lebih luas lagi. Selain itu, tawaran kuratorial juga dirasa kurang. āTema Artjog kemarin kan Lamaran, terus sekarang dijadiin Ramalan kayak main-main gitu,ā papar Aris.
Penulis:Ā Fatimah Azzahrah
Penyunting: Ahmad Arinal Haq
Fotografer: Fatimah Azzahrah