Lingkungan sering kali dieksploitasi untuk memenuhi hasrat manusia yang ekonomisentris. Alih-alih merawatnya, beberapa manusia justru dengan mudahnya menghadapkan lingkungan kepada ganasnya mesin-mesin korporasi. Hal ini tercermin dalam kebijakan pemerintah di ujung Merauke sana.
Kebijakan suatu negara sering kali tidak ramah terhadap lingkungan. Lingkungan yang merupakan salah satu sumber penghidupan justru malah dijadikan ladang eksploitasi besar-besaran demi memenuhi hasrat manusia yang ekonomisentris. Padahal, dampak yang akan terjadi terhadap lingkungan hijau jika dilahap habis oleh mesin-mesin korporasi tidak kalah penting dibahas. Di Indonesia sendiri, hal ini tercermin dalam program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Dalam praktiknya, program MIFEE ternyata membawa dampak negatif terhadap pelbagai unsur alam. Carebesth & Syaiful (2012) menjelaskan bahwa MIFEE adalah program pengembangan produksi pangan terintegrasi yang terdiri dari pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan.
Alasan hadirnya proyek MIFEE di Merauke karena lahan di daerah tersebut dianggap menganggur. Padahal, lahan tersebut telah dikelola oleh masyarakat adat Marind-Anim. Dalam hal ini, pemerintah seolah mengategorikan lahan menganggur atau belum tergarap karena belum adanya intervensi kapital di dalamnya. Selain itu, motivasi komodifikasi lahan menjadi komoditas juga merupakan salah satu pertimbangan alasan daerah ini dipilih (Nurshafira, 2019).
MIFEE sebagai proyek yang bertujuan untuk menyejahterakan rakyat justru membawa kerugian bagi pelbagai unsur ekosistem yang berada di kawasan proyek tersebut. Hal ini dipicu dengan adanya peralihan fungsi lahan di dalamnya. Program MIFEE merupakan respons dari pemerintah terhadap ancaman krisis pangan dan energi serta untuk peningkatan penyediaan pangan nasional. Namun, program ini tidak cukup solutif karena masih terikat dengan paradigma lama (developmentalism) yang belum lepas sepenuhnya dari permasalahan ketimpangan dan standardisasi pangan. Sekitar 90% dari lahan yang direncanakan untuk proyek MIFEE terletak di kawasan hutan yang dipenuhi oleh flora dan fauna (Carebesth & Bahari, 2012). Lebih dari itu, lahan yang akan digunakan juga merupakan kawasan sumber makanan pokok bagi masyarakat sekitar. Hal ini jelas akan berdampak bagi keberlangsungan hidup masyarakat dan seluruh makhluk yang bergantung pada hutan tersebut. Masyarakat dan seluruh organisme di sekitar proyek juga akan semakin sulit mendapatkan air karena peralihan fungsi lahan. Selain itu, proyek ini juga berpotensi mengurangi sumber penyimpanan air.
Tindakan destruktif terhadap unsur alam membuat ahli lingkungan menawarkan paradigma ekosentrisme yang diyakini lebih efektif untuk menjaga lingkungan. Paradigma ini berperan dalam dua ranah, yakni berupa praktis dan filosofis. Dalam ranah praktis, ekosentrisme termanifestasikan dengan praktik gaya konsumsi dengan jumlah yang secukupnya. Di sisi lain, ranah filosofis erat kaitannya dengan konsep ecosophy (ecology and philosophy) yang menjelaskan bahwa lingkungan dan manusia saling terkait dan memiliki ketergantungan satu sama lain. Hal ini membuat manusia harus mempertimbangkan dampak dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan terhadap lingkungan (Nurkamilah, 2018).
Integritas ekologis memang berperan penting dalam keberadaan dan perkembangan manusia. Ekosentrisme sejatinya tidak bisa memiliki sifat yang “misantropis” (antimanusia) (Washington, dkk, 2018). Paradigma ini pun tidak bertentangan dengan pencarian keadilan manusia. Lalu, ekosentrisme juga bukanlah sebuah pandangan yang menekankan pada nilai setara yang dimiliki oleh semua organisme. Dengan demikian, ekosentrisme tidak memiliki tendensi untuk mengerdilkan manusia dan apatis kepadanya. Justru, paradigma ini dapat digunakan sebagai alternatif untuk mengatasi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh manusia itu sendiri (Rowe, t,t). Selain itu, di dalam ekosentrisme semua bentuk kehidupan dianggap memiliki nilai intrinsik. Seluruh unsur alam, baik biotik maupun abiotik dianggap sama-sama patut dihargai dan dijaga (Tete, 2022).
Kecacatan Proyek MIFEE
Kebijakan pemerintah yang memiliki potensi merusak dan memunculkan aksi eksploitasi terhadap alam disebabkan oleh dominasi paradigma antroposentrisme di dalamnya. Berbeda dengan ekosentrisme, antroposentrisme adalah cara pandang yang menganggap bahwa entitas abiotik; seperti, tanah, air, dan udara tidak perlu untuk dihormati dalam kehidupan. Dalam antroposentrisme, manusia menganggap bahwa nilai dan prinsip moral merupakan hal yang hanya terdapat pada manusia saja. Pemikiran semacam ini cenderung memunculkan sistem etik yang hanya berlaku pada manusia. Antroposentrisme mengimplikasikan bahwa kewajiban dan rasa tanggung jawab moral terhadap lingkungan hidup adalah tabu, tidak relevan, serta tidak pada tempatnya (Keraf, 2010). Dalam suatu kebijakan negara, manusia berperan sebagai aktor pembuat kebijakan. Jika manusia beranggapan rasa tanggung jawab moral terhadap alam adalah tindakan yang berlebihan, tindakan eksploitasi terhadap alam lebih rentan terjadi. Pada akhirnya, muara akan tindakan tersebut adalah kerusakan alam yang menjamur.
Sophie Chao, seorang Antropolog asal Australia, menunjukkan bahwa mega proyek ini mendukung hilangnya hutan tropis serta rusaknya habitat orang utan. Selain itu, akibat dari program MIFEE, hutan semakin hilang dan air banyak yang tercemar imbas polusi dari aktivitas pabrik (Tempo.co, 2020). Di dalam unsur air terdapat komponen biotik dan abiotik lainnya. Pencemaran air berpeluang memberi dampak bagi komponen-komponen tersebut.
Lebih lanjut, sekitar 50% dari area perkebunan yang dicanangkan dalam program MIFEE merupakan hutan. Sebagian besar dari hutan tersebut adalah lahan kering primer dan sekunder (Obidzinki, dkk., 2012). Studi yang dilakukan oleh Peh dalam Koh, dkk. (2008) di Semenanjung Malaysia menunjukkan konversi hutan primer dan hutan bekas tebangan/sekunder yang dijadikan perkebunan kelapa sawit berpengaruh pada penurunan spesies burung hutan. Hal ini tentu dapat dijadikan sebagai bahan refleksi untuk program MIFEE di Indonesia yang turut menghadirkan lahan primer dan sekunder. Jika ekspansi lahan sawit tetap dilakukan kepada dua lahan tersebut, tidak menutup kemungkinan bahwa hal serupa juga akan terjadi di Indonesia.
Hutan alam Papua merupakan bank lingkungan regional dan global yang berfungsi sebagai pengatur iklim. Terjadinya deforestasi hutan untuk program MIFEE akan mendorong terjadinya bencana ekologis dan perubahan iklim. Fungsi hutan untuk menyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen akan semakin menurun. Hal ini berakibat pada rusaknya batasan ekosfer yang mengakibatkan manusia beserta entitas lainnya berada di dalam ancaman langsung perubahan iklim (Rumbekwan, dkk., 2021). Banyaknya kekurangan dari proyek MIFEE ini jelas merupakan kecacatan yang mestinya menjadi pertimbangan serius bagi pemerintah.
Hadirnya berbagai dampak negatif terhadap komponen biotik maupun abiotik dalam program. MIFEE menunjukkan paradigma ekosentrisme masih absen dalam mega proyek tersebut. Di dalam program MIFEE, kebijakan yang dilakukan lebih mengedepankan keuntungan bagi manusia sehingga luput akan komponen lainnya yang hadir pula dalam ekosistem. Padahal, sebesar atau sekecil apa pun pengaruhnya; seluruh komponen penyokong ekosistem perlu dihargai keberadaannya.
Laku Ekosentrisme Masyarakat Adat Marind
Di sisi lain, berbeda dengan program MIFEE yang abai terhadap kondisi alam, masyarakat adat Marind justru hidup dengan sangat menghargai alam. Masyarakat Marind hidup dengan dasar ikatan primordial dengan tanah dan hutan (Siswanto, 2014). Suku Marind atau Malind adalah suku terbesar yang mendiami Merauke (Merauke.go.id, 2019). Bagi masyarakat Marind, kepentingan hutan dan tanah merupakan prioritas yang sama pentingnya dengan kepentingan manusia.
Dengan adanya program MIFEE, masyarakat adat Marind yang merupakan penduduk asli berpeluang tersingkir dari rumahnya sendiri. Hal itu terjadi karena pemerintah telah mengakuisisi tanah hutan ‘tanah ulayat’ yang merupakan milik masyarakat adat Marind sejak dahulu (Siswanto, 2014). Lahan yang sudah direnggut akan diubah menjadi lumbung pangan dan berpeluang merusak tatanan ekosistem yang sudah ada. Kemudian, masyarakat adat Marind akan kehilangan identitas mereka ketika hutan mereka telah menjadi rata dengan tanah (Siswanto, 2014). Masyarakat Marind bukan lagi masyarakat Marind yang seutuhnya ketika hutan yang merupakan bagian dari mereka telah hilang. Hal ini jelas akan mengubah prinsip dasar kehidupan masyarakat Marind yang terikat secara primordial dengan tanah dan hutan.
Dampak praktis yang akan cukup terlihat adalah perubahan dari cara masyarakat Marind dan seluruh ekosistem untuk makan. Kebiasaan dalam mencari makanan akan berbeda dibandingkan ketika hutan telah tiada. Hewan dan tumbuhan akan semakin sengsara karena mereka jelas sangat bergantung pada hutan dalam mencari makan. Kemungkinan yang akan terjadi pada hewan dan tumbuhan adalah terpaksa mencari rumah baru atau mati. Masyarakat Marind pun tidak akan dapat mengambil makanan langsung dari hutan seperti biasanya. Perubahan ini jelas akan menyulitkan kehidupan masyarakat Marind yang sangat terikat dengan alam.
Ikatan primordial terhadap hutan dan tanah, serta cara masyarakat Marind berhubungan dengan alam menjadi salah satu bentuk dari laku ekosentrisme. Hubungan masyarakat Marind dengan alam merupakan bagian dari adat istiadat yang sangat menjunjung tinggi nilai dari alam. Masyarakat adat Marind meyakini bahwa mereka dapat menjadi makanan enak bagi yang lain (Chao, 2021). Dengan demikian, masyarakat Marind meyakini bahwa hutan dan seluruh ekosistem yang ada merupakan bagian dari kehidupan yang penting untuk diberi makan. Masyarakat Marind bahkan mengartikan keringat mereka adalah sumber air bagi kerabat yang bukan manusia. Kerabat bukan manusia yang dimaksud adalah tanah, udara, tumbuhan, hewan, dan semua komponen yang ada di hutan. Sebagai sumber kehidupan, keringat yang jatuh ke tanah akan memelihara komunitas serangga dan berbagai “gastropoda” (hewan bertubuh lunak dan bercangkang) di dalamnya.
Selain itu, mayoritas masyarakat Marind akan memilih pemakaman hanya dengan meletakkan jasad orang yang telah meninggal di hutan dengan alasan kebermanfaatan bagi organisme lainnya (Chao, 2021). Daging dari jasad manusia akan menjadi makanan bagi hewan dan akan bermanfaat bagi kesuburan tanah ketika membusuk. Jasad manusia yang diletakkan di hutan secara tidak langsung juga akan mendorong proses berkembang biak. Hal ini akan mewujudkan sebuah siklus rantai makanan yang melibatkan manusia secara langsung. Tradisi semacam ini dapat dibangun karena masyarakat Marind memosisikan diri sebagai kerabat bagi makhluk yang bukan manusia.
Etika kepada alam dan lingkungan merupakan rasa hormat kepada seluruh komponen yang ada di dalamnya. Lingkungan pantas mendapat perlakuan yang sama seperti manusia memperlakukan manusia lain. Upaya memunculkan kesadaran ekosentris adalah ketika manusia menyadari bahwa lingkungan juga memiliki hak atas keberadaannya di bumi. Manusia harus menyadari bahwa mawar memiliki hak untuk tetap mekar, teluk mempunyai hak untuk tetap melekuk, dan air pun juga memiliki hak untuk tetap mengalir.
Kesadaran akan hak lingkungan semacam ini harus menjadi pertimbangan terhadap cara manusia mengambil keputusan. Secara sederhana, manusia harus melihat dari sisi lingkungan itu sendiri sebelum mengambil tindakan. Apakah pohon akan senang ketika manusia menebang pohon secara eksploitatif untuk memegahkan bangunan? Apakah tanah akan merasa senang ketika tanah digali dan ditumpuk dengan beton secara berlebihan? Atau apakah lingkungan akan senang ketika manusia memberi air pada tanaman yang mulai layu? Sebagai tujuan untuk membuat alam merasa senang, jelas pertanyaan ketigalah yang akan sangat relevan. Hal semacam inilah yang dimaksud ketika manusia menganut dan menjunjung paradigma ekosentrisme.
Sebagai bagian dari subsistem dalam ekosistem, manusia harus berupaya untuk menjaga kelestarian subsistem lainnya (Rusmadi, 2016). Setiap subsistem yang ada memiliki peran dan manfaat bagi satu dan lainnya. Oleh karena itu, manusia perlu berperilaku dan berinteraksi secara harmonis demi kelestarian ekosistem. Hal tersebut lambat laun akan menyadarkan manusia bahwa tindakan moral terhadap ekosistem lainnya bukanlah suatu tindakan yang berlebihan.
Ahli lingkungan meyakini bahwa alam dan lingkungan memiliki nilai dalam diri mereka sendiri. Sejauh ini yang dapat dilakukan manusia hanya meraba nilai dari alam. Manusia dapat mencampuri urusan alam, tetapi juga harus memberikan manfaat kepada alam. Dengan menyadari bahwa alam memiliki nilai pada dirinya sendiri merupakan bentuk usaha untuk membuat hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam. Oleh karena itu, sudah sepantasnya bagi masyarakat umum untuk memetik pelajaran dari masyarakat adat Marind tentang cara menghargai alam.
Penulis: Lenny Aurelia Amilia, Fais Adnan Hidayat, Ainayah Putri Az-Zahra (Magang)
Penyunting: Venessa Theonia
Illustrator: Rizky Aisyah Rahmawati
Daftar Pustaka
Carebesth, Syabiq & Bahari, Syaiful. “Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) Berkah atau Bencana Bagi Rakyat Papua”. (Policy Paper, BINA DESA, 2012) https://binadesa.org/wp-content/uploads/2013/08/MIFEE-Berkah-atau-Bencana-bagi-Rakyat-Papua.pdf
Chao, Sophie. “Gastrocolonialism: The Intersections of Race, Food, and Development in West Papua.” The International Journal of Human Rights 26, no. 5 (2021). https://doi.org/10.1080/13642987.2021.1968378.
Keraf, Sonny. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010
Koh & Wilcove. “Is Oil Palm Agriculture Really Destroying Tropical Biodiversity?” Conservation Letters 1, no. 2 (Juni, 2008). https://doi.org/10.1111/j.1755-263X.2008.00011.x
MacKinnon, Barbara & Fiala, Andrew. Ethics: Theory and Contemporary Issues. California: Cengage Learning, 2016.
Merauke.go.id. “Mengenal Marind Anim, Suku Terbesar Merauke di Festival Crossborder Sota 2019”. Merauke.go.id, 2 Juni 2019. https://portal.merauke.go.id/news/4128/mengenal-marind-anim-suku-terbesar-merauke-di-festival-crossborder-sota-2019.html#:~:text=Salah%20satu%20yang%20menarik%20untuk,salah%20satu%20ujung%20Indonesia%20itu.
Mongabay. 2012. “Kala MIFEE Hancurkan Hutan Merauke dan Singkirkan Suku Malind”. Mongabay, 21 Oktober 2012 https://www.mongabay.co.id/2012/10/21/kala-mifee-hancurkan-ahutan-marauke-dan-singkirkan-suku-malind/.
Nurshafira, Tadzika. “Ekonomi Politik Akses atas Lahan: Kontestasi ‘Negara’ dalam Mega Proyek Merauke Integrated Food an Energy Estate (MIFEE)”. Jurnal PolGov 1, no. 1 (2019): 263-297.
Nurkamilah, Citra. “Etika lingkungan dan implementasinya dalam pemeliharaan lingkungan alam pada masyarakat Kampung Naga.” Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, no. 2 (2018): 136-148.
Obidzinki, dkk. “Can Large Scale Land Acquisition for Agro-Development in Indonesia be Managed Sustainably?” Land Use Policy 30, (Juni 2012): 952-965.
Ramadhani, Gilar. 2019. “Mengenal Marind Anim, Suku Terbesar Merauke di Festival Crossborder Sota 2019”. Liputan6.com, 2 Juni 2019. https://www.liputan6.com/lifestyle/read/3982145/mengenal-marind-anim-suku-terbesar-merauke-di-festival-crossborder-sota-2019.
Rumbekwan, A., Fadhilah, A. N., Dirga, S., & Sembiring, B. J. E. 2021. “Food Estate di Papua: Perampasan Ruang Berkedok Ketahanan Pangan?”. Walhi, 2 Juni 2021. https://www.walhi.or.id/food-estate-di-papua-perampasan-ruang-berkedok-ketahanan-pangan
Rusmadi. “The Ecosophy of Islam: A Thematic and Contextual Study of The Environmental Ethics Values in Islam.” Jurnal SMaRT 2, no. 02 (Desember 2016): 237-248.
Rowe, J. Stan. “Ecocentrism and Traditional Ecological Knowledge”. Environment and Ecology. http://environment-ecology.com/ecology-writings/700-ecocentrism-and-traditional-ecological-knowledge.html
Siswanto, Zuhdi. “Patriotisme: Primordialisme Masyarakat Marind Melawan Kosmopolitanisme MIFEE-MP53EI dI Merauke”. Skripsi, Universitas Sanata Dharma. 2016
Suka, Ginting. “Teori Etika Lingkungan: Antroposentrisme dan Ekosentrisme.” Buku Bahan Ajar, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. https://simdos.unud.ac.id/.
Tempo.co. “Kelapa Sawit Membunuh Sagu: Kondisi Suku Marind Papua Jadi Tesis Terbaik di Australia”. Tempo.co, 30 Juli 2020. https://www.tempo.co/abc/5816/kelapa-sawit-membunuh-sagu-kondisi-suku-marind-papua-jadi-tesis-terbaik-di-australia.
Tete, Francis. 2022. “Ecocentrism as Theoretical Framework for Environmental Ethics.” Jurnal Sosialisasi 9, no 2, (Juli 2022): 103-112. https://doi.org/10.26858/sosialisasi.v1i2.34929
Washington, et al. 2018. “Foregrounding Ecojustice in Conservation.” Biological Conservation 228, (October 2018): 367-374. https://doi.org/10.1016/j.biocon.2018.09.011.