Pink tax sering disebut sebagai bentuk diskriminasi harga berbasis gender. Akan tetapi, istilah ini tidak bisa dikaji hanya dari segi gender saja. Diperlukan identifikasi dari semua variabel yang relevan untuk menjelaskan perbedaan harga barang perempuan dan laki-laki.
Perempuan membayar 7% lebih mahal pada perlengkapannya dibandingkan laki-laki. Pisau cukur perempuan dijual dengan harga 11% lebih mahal dibanding pisau cukur laki-laki. Lalu, harga produk perawatan tubuh perempuan juga 13% lebih mahal dibandingkan produk laki-laki (Lafferty, 2019). Statistik tersebut digunakan untuk membuktikan keberadaan pink tax. Pink tax merupakan istilah biaya atau harga tambahan yang ditujukan kepada perempuan dan dikenakan pada barang atau jasa homogen dengan laki-laki. Meskipun bukan merupakan pajak secara nyata, pink tax mengacu pada pajak informal yang konsumtif dan diskriminatif terhadap perempuan bentukan industri kapitalis (Murthy, 2021). Dengan menggunakan alasan perbedaan fitur unik, seperti tambahan bahan anti aging pada moisturizer; harga yang lebih tinggi ini seolah-olah dibenarkan. Pink tax tidak serta-muncul, sejarah kuasa dan industri berperan penting dalam pembentukan perbedaan harga.
Stigmatisasi Perempuan
Sudut pandang gender menawarkan ruang pembahasan yang lebih luas. Pembahasan gender diperuntukkan bagi kedua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, untuk membahas struktur sosial di masyarakat (Kaplan dan VanderBrug, 2014). Dalam kajian gender, terdapat dua orientasi gender dominan, yakni maskulin dan feminin. Maskulin sering diidentikkan dengan sifat kelaki-lakian, dicirikan sebagai kekuatan dan dominasi. Laki-laki diidentikkan dengan sektor publik (buruh, pekerja kantoran, dan lain-lain). Adapun feminin lebih sering dilekatkan dengan sifat keperempuanan, dicirikan sebagai kasih sayang dan kelemahlembutan. Oleh karena itu, perempuan distereotipekan pada perannya dalam ruang domestik yang dipahami sebagai aktivitas atau pekerjaan rumah tangga (Bem, 1981)
Sebelum Revolusi Prancis, tepatnya abad ke-17, pembahasan gender terikat pada penampilan fisik yang merupakan simbol diskriminasi kelas. Kalangan aristokrat baik perempuan maupun laki-laki merias diri dari ujung rambut ke ujung kaki. Hingga pada akhir abad ke-18, perbedaan penampilan antarjenis kelamin menjadi simbol utama pengaturan asimetri kekuasaan sosial. Laki-laki dan perempuan akhirnya terjebak dalam sebuah dikotomi gender dalam tataran citra kecantikan. Lalu, berdandan dan kata sifat cantik hanya mengacu menjadi milik perempuan (Setyorini, 2016). Perempuan semakin terkotakkan dalam stigma yang tidak memberi ruang pengembangan diri bagi perempuan.
Stigma ini diperparah dengan adanya norma dan budaya yang dikhususkan kepada perempuan. Perombakan pemahaman dan standardisasi tatanan kecantikan dilakukan agar perempuan dapat diterima sebagai komoditas pemuas bagi hasrat patriarkis. Meskipun kecantikan selalu dikaitkan pada perempuan, pada kenyataannya laki-laki ikut andil dalam pembentukan standar kecantikan wanita. Pembahasan mengenai kecantikan dan feminitas tidak dapat dilepaskan dari struktur budaya patriarki. Budaya ini berkuasa untuk memberikan pengakuan atas feminitas perempuan. Di sisi lain, patriarki memberikan tuntutan kepada perempuan untuk selalu mencari pengakuan atas feminitasnya dari laki-laki; termasuk mengenai kecantikannya (Prabasmoro, 2003).
Pembentukan Standar Kecantikan
Kecantikan masih menjadi konsep yang abstrak karena tidak dapat merepresentasikan bentuk ideal fisik. Hal ini didasari oleh kompleksitas keberagaman tubuh manusia dan kekuasaan. Mengacu pada teori pendisiplinan tubuh milik Foucault (1978), konstruksi kecantikan terjadi ketika kontrol tubuh terikat pada hubungan kepatuhan utilitas berupa kontrol teliti terhadap tubuh. Tubuh perempuan menjadi objek konstruksi atas kuasa yang termanifestasi dalam suatu sistem politik, sosial, dan budaya yang ada.
Di Indonesia, negara yang memiliki keberagaman ras dan etnik, wacana kecantikan bergerak dinamis dari zaman ke zaman. Namun, satu hal yang tidak berubah adalah cara masyarakat Indonesia memandang kulit putih sebagai sebuah kecantikan (Suyono, 2002). Ayu Saraswati, dalam bukunya Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional (2014), beranggapan bahwa kecantikan adalah konstruksi transnasional. Anggapan putih sebagai standar kecantikan bukanlah berawal dari pengaruh bangsa kolonial, melainkan sudah ada sejak Jawa prakolonial. Hal ini dibuktikan melalui penyebaran cerita Ramayana yang sudah berkembang pada masa itu. Dalam cerita Ramayana, banyak penggambaran cantik yang disandingkan dengan warna putih. Contohnya, penggunaan metafora “rembulan” untuk mengatakan cantik pada perempuan. Perumpamaan ini mengacu pada rasa yang muncul ketika melihat rembulan yang dikaitkan dengan wacana kecantikan haruslah putih dan bersinar.
Kedatangan para kolonial di Indonesia menjadi jalan untuk melanjutkan wacana kecantikan sekaligus menegaskan superioritas ras kolonial. Proyeksi kecantikan berdasarkan dinamika ras dapat dijelaskan, direpresentasikan, dan ditafsirkan untuk mengorganisasi dan mendistribusikan sumber daya melalui alur rasial tertentu (Omi dan Winant, 1994). Standar kecantikan yang dianggap pada puncak kolonialisme (1900–1943) adalah kulit putih Kaukasia. Terdapat penekanan pada putih Kaukasia karena sekalipun masyarakat Asia lain berkulit putih, mereka tetap tidak dianggap sebagai “putih”, tetapi berkulit kuning. Pembedaan ini dilakukan sebagai upaya pelanggengan superioritas ras Kaukasia, ras penjajah (Demel, 2001).
Setelah Kemerdekaan, bangsa Indonesia berupaya merekonstruksi kecantikan yang berperspektif rasial. Sebab, ras tidak dapat merepresentasikan suatu hal karena kemurnian ras sendiri tidaklah jelas (Suryadinata, 1988). Upaya perubahan perspektif rasial ditekankan langsung oleh Sukarno yang anti-Barat menjadi wacana kecantikan Indonesia. Selain untuk wacana kecantikan, perubahan ini diharapkan dapat mendukung gagasan kecantikan bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam ras. Selama pasca-Kemerdekaan, wacana kecantikan Indonesia belum menampilkan sepenuhnya cantik masyarakat Indonesia. Pemilihan model pada majalah-majalah kecantikan, seperti majalah Cosmo, Popular, Femina, dan lainnya masih belum terlepas dari representasi kecantikan Barat. Hal ini dapat dilihat dari belum tersentuhnya perwakilan kecantikan dari belahan Indonesia lainnya.
Konstruksi kecantikan pasca-Kemerdekaan langgeng sebab adanya ketimpangan kuasa dan kebebasan antara laki laki dan perempuan. Ketimpangan ini, menurut Simone de Beauvoir disebabkan oleh fungsi biologis perempuan sebagai alat reproduksi dan dilihatnya perempuan sebagai objek. Oleh karena itu, seorang anak perempuan akan menyalurkan segala keinginan dan kekurangan dalam imajinasi cita-citanya bahwa ia akan dibebaskan oleh seorang pria idaman. Dalam rangka mewujudkan cita-cita tersebut, ia memelihara diri agar bisa menjadi semenarik mungkin (Heraty Toeti, 2018).
Kapitalisasi Standar Kecantikan oleh Industri
Semenjak era Industrialisasi, nilai sosial perempuan bergeser dan berdampak pada pemberian nilai ekonomi bagi perempuan. Dengan banyaknya perempuan yang bekerja di luar rumah dan independen secara materiel, terjadi peralihan nilai sosial pencapaian perempuan dari pencapaian domestisitas menuju pencapaian kecantikan (Wolf, 2004). Kemampuan ekonomi yang semakin baik mendorong keleluasaan perempuan untuk membelanjakan uangnya demi kepuasan diri sendiri. Berangkat dari hal ini, perempuan dipandang menjadi sasaran yang tepat dan memiliki peluang besar untuk menjadi konsumen setia dari industri kecantikan. Dari sinilah peran industri kapitalis bermain dengan mitos standar kecantikan dan iklan.
Iklan menjadi strategi paling efektif untuk menarik konsumen. Dalam industri yang ditopang oleh sistem kapitalisme, konsumsi menjadi tuntutan pasar kapitalisme yang semakin masif dan manipulatif. Berbagai upaya dilakukan dengan tujuan menciptakan kapasitas konsumsi, terutama menggunakan iklan (Kasiyan, 2008). Di tengah gempuran persebaran iklan dan teknik manipulasi tinggi yang rapi, lahirlah masyarakat hedonis dan konsumtif. Iklan dalam pelbagai bentuk media juga memiliki kekuatan untuk mengonstruksi realitas dan memengaruhi pandangan masyarakat (Susanti dan Rochman, 2016). Industri dan media massa menjadikan perempuan sebagai target utama sekaligus ikon model dalam iklan. Sasarannya adalah konsumen yang tidak menyadari maksud terselubung dari iklan-iklan tersebut (Widyastanto, 2006).
Kebanyakan produk industri kapitalis memiliki sasaran khalayak perempuan. Hal itu didukung dengan agresifnya penyebaran simbol kecantikan melalui media yang berimplikasi anggapan atau standar kecantikan didasarkan pada suguhan media (Fitryarini 2013). Gambaran perempuan harus berkulit putih, berkulit mulus, atau wangi menjadikan tubuh dan kecantikan sebagai objek persuasif (Fasya, 2006). Secara tidak langsung, tercipta efek kecemasan bahwa perempuan yang tidak mencapai standar tidak akan dicintai. Imbasnya, perempuan berusaha untuk membenahi tubuh mereka menjadi sempurna dengan mengonsumsi berbagai produk yang memberikan citra feminin.
Perempuan menjadi objek konsumerisme karena dianggap sebagai konsumen pasif yang menerima dan mengkonsumsi segala komoditas yang ditawarkan oleh industri (Listyani, 2017). Beragam produk dengan label khusus perempuan banyak beredar di pasaran. Kehadirannya berkembang dengan pelbagai warna, aroma, macam, dan bentuk yang menarik konsumen perempuan. Menurut data Kementrian Perindustrian Indonesia (2018), sebagian besar perempuan dari kalangan remaja hingga dewasa telah menjadikan kosmetik wajah sebagai kebutuhan primernya. Baik dari segi perawatan wajah atau tata rias, “wajah” telah menjadi gaya hidup dan penentu tingkat kepercayaan diri (Wiharsari, 2019). Muncul gagasan bahwa menjadi perempuan itu mahal sebab kebutuhan pengeluaran perempuan yang beragam. Pengeluaran tambahan untuk aksesori, kosmetik, pakaian terutama pengeluaran untuk produk kecantikan rela dikeluarkan demi mencapai tolok ukur cantik sesuai standar kecantikan di masyarakat. Timbul pula ide mengenai perbedaan harga produk laki-laki dan perempuan. Produk perempuan dinilai memiliki harga lebih mahal dibandingkan produk laki-laki, di sinilah istilah pink tax muncul.
Antara Diferensiasi dan Diskriminasi
Pink tax terjadi karena adanya pemasaran produk dan jasa yang didasarkan pada jenis kelamin, terutama melalui modifikasi kemasan. Sebanyak 80% dari produk-produk sehari-hari memiliki target gender (Moshary, Tuchman, dan Bhatia, 2021). Perusahaan harus membedakan produk yang ditargetkan pada jenis kelamin yang berbeda sehingga konsumen memilih sendiri produk yang dirancang untuk kelompok mereka. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan keuntungan maksimal dari produk bertarget gender. Strategi pemasaran produk dirancang untuk mengeksploitasi stereotipe gender. Jika tidak dibedakan, sebenarnya konsumen dapat mengamati harga dan membeli barang lawan jenis serta tidak ada larangan untuk melakukannya.
Tidak adanya perhatian khusus terhadap pengaturan harga produk perempuan yang lebih mahal mengimplikasikan sikap tak acuh subjek, bisa pemerintah, masyarakat, atau lembaga pengawas sejawat, terhadap eksploitasi perempuan. Perbedaan harga produk berdasarkan gender ini melampaui aspek warna produk dan kemasan. Meskipun dibuat oleh produsen yang sama, terdapat selisih perbedaan harga cukup besar ketika produk telah didistribusikan dan dijual di gerai ritel. Misalnya, dalam studi Moshary, Tuchman, dan Bhatia, (2021), harga satuan untuk produk perempuan di toko lebih tinggi 11% daripada produk laki-laki secara keseluruhan.
Mirisnya, industri sendiri tidak bisa disalahkan dengan undang-undang atas adanya perbedaan pengemasan berdasarkan gender dan distribusi dari produknya karena undang-undang hanya melarang perbedaan harga bukan perbedaan pemasaran. Di Indonesia, eksistensi pink tax belum banyak disadari karena tuntutan kekuasaan, kapitalisasi, dan konstruksi kecantikan yang masih mengakar ditambah minimnya riset serta jurnal terkait. Beda halnya dengan di Amerika Serikat, di sana terdapat Undang-Undang Pencabutan Pajak Merah Muda. The Pink Tax Repeal Act atau Undang-Undang Pencabutan Pajak Merah Muda di Amerika Serikat melarang perbedaan penetapan harga berdasarkan gender (Crawford, 2022). Dengan demikian, sebenarnya sangat mungkin untuk membatasi laku pink tax di Indonesia.
Ketidaksadaran akan pink tax terlihat dengan adanya asupan media yang mengkonstruksi tubuh perempuan secara transisional dan perlahan. Sebagai contoh, isu-isu yang dihadirkan Majalah Cosmo mengenai kecantikan. Cosmo adalah salah satu majalah transisional populer yang berasal dari Amerika Serikat. Majalah itu menampilkan berbagai produk kecantikan untuk tubuh perempuan agar terlihat cantik dan feminin. Menariknya, majalah itu menampilkan iklan produk bukan sebagai beban, melainkan suatu kebebasan atas kendali ekspresi diri (Saraswati, 2013). Bukti keberhasilan media dalam mengonstruksi tubuh perempuan adalah adanya peningkatan pasar kecantikan dan perawatan diri yang awalnya US$6.03 miliar menjadi US$ 8,46 miliar pada 2022 (Kemenperin, 2020).
Penutup
Adanya sistem kekuasaan dan patriarki melahirkan konstruksi kecantikan yang menjerat perempuan. Akibatnya, hal tersebut dimanfaatkan oleh industri untuk mengapitalisasi produk-produk berdasarkan konstruksi kecantikan. Dari kapitalisasi ini muncullah pink tax, yaitu disparitas harga berbasis gender. Keberadaan pink tax atau disparitas harga konsumen berbasis gender terus bertahan meski sudah diidentifikasi. Penggunaan media massa sebagai penyebaran iklan membentuk tuntutan ekspektasi fisik tertentu dari perempuan sepanjang sejarah hingga hari ini. Stereotipe gender dalam masyarakat didukung dengan kekuasaan industri yang mendorong konsumen perempuan rela membayar harga mahal untuk mencapai standar kecantikan masyarakat.
Konstruksi kuasa dalam masyarakat menekankan keyakinan bahwa harga bukanlah suatu masalah besar sehingga produk-produk khusus perempuan laris terjual. Kemudian, muncul gagasan mengenai pink tax sebagai bentuk diskriminasi harga dan gender dari perdagangan produk khusus perempuan. Pink tax merupakan fenomena cerminan realitas pasar dari usaha industri kapitalis untuk meraup untung sebanyak-banyaknya dari para perempuan.
Penulis: Ayu Farryla Wira Susanto, Fida Afra’ Effendi, Nafiis Anshaari (Magang)
Penyunting: Irdha Dewi Mahardika
Fotografer: Natasya Mutia Dewi (Magang)
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. Sangkan Peran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Bem, Sandra. L. “Gender Schema Theory: A Cognitive Account of Sex Typing.” Psychological Review 88, no. 4 (1981): 354–364. https://doi.org/10.1037/0033-295X.88.4.354.
Crawford, Bridget J. “Pink Tax and Other Tropes.” Yale Journal of Law & Feminism (7 Maret 2022): Forthcoming. http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.4052085
Demel, Walter. 2001. “The Images of the Japanese and the Chinese in Early Modern Europe: Physical Characteristics, Customs and Skills. A Comparison of Different Approaches to the Cultures of the Far East.” Itinerario 25: 34–53. 10.1017/S0165115300014972
Fasya, Teuku K. Kata & Luka Kebudayaan. Medan: USU Press, 2006.
Fitryarini, Inda. “Iklan dan Budaya Popular: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan Perempuan oleh Iklan di Televisi.” Jurnal Ilmu Komunikasi 6, no. 2 (2013). https://doi.org/10.24002/jik.v6i2.199
Foucault, Michel. The History of Sexuality Volume 1. New York: Pantheon Books, 1976.
Kemenperin RI. “Kian Kinclong, Industri Kosmetik Nasional Tumbuh 20 Persen.” Kemenperin RI, 19 Maret 2018. https://kemenperin.go.id/artikel/18954/Kian-Kinclong,-IndustriKosmetik-Nasional-Tumbuh-20-%20Persen
Kemenperin RI. “Perubahan Gaya Hidup Dorong Industri Kosmetik.” Kemenperin RI, 27 Januari 2020. https://kemenperin.go.id/artikel/21460/Perubahan-Gaya-Hidup-Dorong-Industri-Kosmetik
Kaplan, Sarah., dan VanderBrug, Jackie. “The Rise of Gender Capitalism.” Stanford Social Innovation Review 12, no. 4 (2014): 36–41. https://doi.org/10.48558/BVFT-E655
Kasiyan. Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008
Lafferty, Mackenzi. “The Pink Tax: The Persistence of Gender Price Disparity.” Midwest Journal of Undergraduate Research 11, (2019): 56-72. http://research.monm.edu/mjur/files/2020/02/MJUR-i12-2019-Conference-4-Lafferty.pdf
Listyani, R. H. “Tubuh Perempuan: Tubuh Sosial yang Sarat Makna.” An-Nisa’ 9, no. 1 (2017). http://dx.doi.org/10.35719/ansa.v9i1.592
Moshary, S., Tuchman, A., dan Bhatia, N. “Gender‐Based Pricing in Consumer Packaged Goods: A Pink Tax?” SSRN, 302 (Desember 2021). http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3882214
Murthy, Aishwarya. “Capitalism & Patriarchy: The Cost of Being A Woman – The Pink Tax”. Woman Unbounded, (28 Januari 2021). https://www.womenunbounded.com/post/capitalism-patriarchy-the-cost-of-being-a-woman-the-pink-tax
Omi, Michele, dan Winant, Howard. Racial Formation in the United States: From 1960s to 1990s. New York: Routledge, 1994.
Saptari, Ratna, dan Holzner, Brigitte. Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997.
Saraswati, Ayu. Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional. Tangerang: Margin Kiri, 2014.
Setyorini, Ari. “Kecantikan dan Dialektika Identitas Tubuh Perempuan Pascakolonial dalam Cerita Pendek China Dolls dan When Asian Eyes Are Smiling.” Jurnal Lingua Idea, 7(2), (2016): 1-17. http://linguaidea.fib.unsoed.ac.id/index.php/jurnal/article/view/62
Solihin, Olih. “Terpaan Iklan Mendorong Gaya Hidup Konsumtif Masyarakat Urban.” Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi UNIKOM, 5(2) (2016). https://doi.org/10.34010/jipsi.v5i2.225.
Suryadinata, Leo. Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1988.
Susanti, Dede, dan Rochman, Kholil L. “Analisis Terhadap Komodifikasi Tubuh Perempuan Dalam Iklan Es Krim Magnum Versi Pink & Black.” Komunika, vol. 10, no. 2, pp. (2016): 201-218. https://doi.org/10.24090/komunika.v10i2.944.
Suyono, Seno J. Tubuh Yang Rasis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Prabasmoro, Aquarini. P. Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Feminitas, & Globalitas dalam Iklan Sabun. Bandung: Jalasutra, 2003.
Widyastanto, Hari P. “Stereotipe Perempuan Dalam Iklan Di Televisi (Analisis Semiotik Iklan Neo Hormoviton versi “Makan Malam”, Hand and Body Marina versi “Festival Film Hitam dan Putih” dan Sabun Mandi Lux versi “Play with Beauty”. Disertasi doktoral, Universitas Muhammadiyah Malang, 2006.
Wiharsari, Julinar C. “Konsep Kecantikan dan Pemanfaatan Produk Kosmetik Wajah Pada Mahasiswa Surabaya.” Skripsi, Universitas Airlangga, 2019.
Wolf, Naomi. The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women. New York: HarperCollins Publishers, 2002.
Wolf, Naomi. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Bandung: Niagara, 2004.
Heraty, Toeti. Transendensi Feminin Kesetaraan Gender Menurut Simone De Beauvoir. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2018.