Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Warga Pesisir Semarang dalam Getir Tata Kelola Air
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KILAS

Rantai Nilai Singkap Wajah Baru Imperialisme

November 5, 2022

©Azza/Bal

Penerbit Independen mengadakan diskusi bertajuk “Mengapa Buku Rantai Nilai Penting untuk Dibaca?” pada Rabu (02-11). Diskusi ini bertujuan untuk membedah buku Rantai Nilai karya Intan Suwandi. Adapun, turut hadir Arif Novianto selaku editor dan Alnick Nathan selaku penerjemah. Diskusi yang dilangsungkan melalui twitter space akun Penerbit Independen ini menyoroti berbagai permasalahan bentuk Imperialisme Baru yang telah dianalisis oleh penulis.

Alnick mengawali diskusi dengan realitas imperialisme yang sering dikaitkan dengan pendudukan berbasis kekuatan militer. Menurutnya, banyak orang justru terpaku pada definisi ini dan mengabaikan aspek lain yang juga menjadi titik kunci, terutama ekonomi. Titik kunci yang dimaksud Alnick berhubungan dengan proses ekonomi dan politik yang melibatkan monopoli raksasa. “Upaya perusahaan kapital untuk mengatur suatu wilayah ekonomi tidak selalu menggunakan cara militer, tetapi juga bisa dengan mendikte hasil produksi melalui kontrak dagang,” tegasnya.

Alnick memaparkan gaya imperialisme yang lebih menitikberatkan aspek ekonomi ini dampaknya dapat dilihat di negara-negara berkembang. Ia turut menambahkan contoh nyata dari alur produksi perusahaan-perusahaan multinasional dalam memperoleh keuntungan. Perusahaan seperti ini memiliki satu kantor pusat di negara asal, dan pabrik produksi yang mengambil lahan dan suplai bahan dari negara berkembang. “Namun, hasilnya tetap dipasarkan pertama kali di negara mereka,” tegasnya.

Masyarakat pertama yang merasakan dampak dari pola mengakar ini adalah kaum buruh. Menurut Alnick, hal ini disebabkan oleh perusahaan multinasional yang cenderung mencari buruh murah dengan produktivitas yang setara dengan buruh di negara maju yang upahnya jauh lebih tinggi. Hal ini juga diperparah oleh ketergantungan perusahaan eksportir dengan permintaan pasar yang di kontrol penuh perusahaan multinasional. “Yang seharusnya kekayaan kita bisa dinikmati oleh masyarakat, justru malah diboyong ke negara asal mereka,”ujarnya.

Alnick menjelaskan bahwa dalam proses ekonomi tersebut terdapat elemen besar, yaitu value commodity chain.  Istilah ini merujuk pada rantai nilai kerja yang menjadi mekanisme perpanjangan kontrol dan kekuasaan perusahaan multinasional. Dengan kata lain, proses industri dari suatu negara dapat dikuasai oleh negara lain. “Melalui rantai nilai kerja ini, mereka mampu mendeteksi kegiatan produksi, teknik produksi, dan kegiatan ekonomi di suatu negara tanpa sekalipun harus hadir secara langsung atau menguasai secara langsung, ” ucap Alnick.

Selain itu, upah buruh juga menjadi perkara sentral. Menurut Alnick, ada perbedaan upah antara negara maju yang berperan sebagai imperial dengan negara berkembang yang menjadi tawanan. Kondisi ini menyiratkan struktur ekonomi yang dianggap tidak adil. Para buruh tidak mendapatkan kesetaraan dan kekayaan yang diborong oleh perusahaan luar.

Jika suatu negara berpartisipasi dalam rantai ini, maka negara tersebut juga akan maju. Namun, hal ini akan membuat negara tersebut bergantung terhadap perusahaan multinasional maupun global north. Mereka tidak mampu menciptakan perekonomian yang otonom dan memenuhi kebutuhan masyarakat sendiri. “Seharusnya kekayaan yang dihasilkan oleh suatu masyarakat dinikmati oleh masyarakat itu sendiri, bukan diborong oleh oknum luar,” ujar Alnick.

Alnick menegaskan bahwa sudah banyak literatur kebijakan negara ini untuk menangani isu tersebut, penulis  memperdalami proses bukan dari perspektif penjajah, melainkan dari perspektif perusahaan pemasok. Di proses penulisan buku ini, Intan telah mewawancarai manajer dan eksekutif perusahan-perusahaan pemasok. “Mereka mengeluh bahwa transfer pengetahuan yang terjadi itu hanya untuk mendukung produksi, dan bukan untuk memajukan pengetahuan Indonesia,” jawab Alnick. 

Sebagai penutup diskusi, Arif menegaskan kembali ide yang digagas oleh Intan dalam buku Rantai Nilai. Jika diteropong dengan ajaran Marx, sejatinya upaya meningkatkan perekonomian di suatu negara tanpa melibatkan militer tidak dapat dipandang sebagai praktik imperialisme. Dalam teorinya, Marx mendefinisikan imperialisme sebagai upaya pendudukan melalui proses militer. “Intan Suwandi berupaya mengkritik pandangan itu dengan menjelaskan mengapa dan seperti apa imperialisme yang hadir dengan wajah baru,” tandas Arif. 

Penulis: Muhammad Ilyan, Muhammad Wildan, dan Titik Nurmalasari (Magang)
Penyunting: Sidney Alvionita
Fotografer: Akhmad Azza Luthfika (Magang)

3
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...

Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...

Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah

Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan

Jejak Trauma Kolektif Korban Kekerasan Orde Baru dalam...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Warga Pesisir Semarang dalam Getir Tata Kelola Air

    Juni 30, 2025
  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM