
©Winda/Bal
Sabtu (28-05), MAP Corner Klub MKP UGM menyelenggarakan diskusi dengan topik Diferensiasi Kelas dan Ekonomi Politik Pedesaan Indonesia. Diskusi yang dilaksanakan secara daring ini menghadirkan dua narasumber, yakni Muhtar Habibi, dosen Fisipol UGM dan Roy Murtadho, Koordinator Nasional Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam. Diskusi ini membahas tentang diferensiasi kelas ekonomi dan politik di pedesaan Indonesia.
Memulai diskusi, Muhtar Habibi menuturkan bahwa desa memiliki dua wajah yang berbeda. Kesan desa yang harmonis, rukun, dan guyub hanyalah penampakan dari satu sisi saja. Kenyataannya, ada diferensiasi kelas di pedesaan yang berimplikasi pada gejolak politik hingga penguasaan aspek-aspek penghidupan di dalamnya. Glorifikasi kehidupan desa yang tenang tanpa gejolak sebenarnya membuat masalah laten di pedesaan menjadi tersembunyi. Hal ini menurutnya tidak terlepas dari narasi yang dibangun sejak masa Orde Baru yang berupaya untuk menegasikan permasalahan yang ada di desa. “Masalah itu meledak sekarang, misalnya banyak terjadi konflik agraria termasuk protes-protes para buruh terhadap para majikan petani desa,” tuturnya.
Ia juga menambahkan bahwa pedesaan bukanlah sebuah “arena hampa”. Menurutnya, pedesaan adalah arena yang berisi orang-orang dengan kuasa timpang yang tak luput dari adanya dominasi dan eksploitasi. Oleh karena tu, sebagaimana diungkapkan oleh Habibi, upaya modernisasi yang dilakukan dengan membangun lembaga kesejahteraan desa adalah suatu hal yang naif.
Lebih lanjut, Habibi menjelaskan elite desa yang menjadi aktor politik kuat di desa. Menurut Habibi, dalam pertarungan kekuasaan di desa, aktor-aktor tersebut sering kali melakukan perbaikan tatanan sosial hanya jika itu menguntungkan dirinya. Oleh karena itu, menurutnya, upaya mensejahterakan desa hanya dilakukan dengan intervensi dana desa akan berakhir sia-sia apabila dilakukan tanpa melihat ketimpangan yang ada. “Berharap pada elite itu agaknya utopis, mereka pun mungkin akan lebih memilih mengorupsi dana desa demi kepentingan sendiri saat pengawasannya lemah,” jelas Habibi.
Menurut Habibi, kekuasaan elite desa tidak dapat dilepaskan dari buah hasil pembajakan terhadap proyek-proyek pembangunan di desa. Menurutnya, hal ini tidak terlepas dari kecenderungan elite desa untuk membangun kekuatan politik menggunakan jaringan patron-klien. Implikasi yang muncul, menurut Habibi, adalah kekuasaan politik-ekonomi desa hanya dinikmati oleh orang-orang di lingkaran mereka saja. “Dengan demikian, mereka akan dengan mudah menguasai desa seperti membuat aturan yang menguntungkan mereka hingga menguasai akses pembangunan desa,” cetusnya.
Melengkapi penjelasan dari Habibi, Roy menambahkan bahwa gerakan agraria harusnya merespons kondisi politik lokal di desa. Ia menyoroti adanya kelowongan wacana atau kerangka teoritis dalam desakan yang diupayakan oleh kelompok agraria, terutama terhadap kebijakan neoliberal di Indonesia. Menurutnya, hal ini dipengaruhi oleh anggapan bahwa diferensiasi kelas di desa bukan sesuatu yang penting. “Padahal, ini sesuatu yang mendasar di tengah gempuran kebijakan neoliberal, penetrasi modal di desa terhadap hegemoni negara, kriminalisasi petani, hingga perebutan kekuasaan tanah antara petani versus korporasi,” imbuh Roy.
Roy mengungkapkan taktik pendekatan dan strategi untuk melakukan kaderisasi yang bahkan melalui riset partisipatif belum terlaksana dengan baik. Ia berpendapat bahwa para intelektual aktivis belum merasa ada kebutuhan untuk melakukan riset secara persisten di pedesaan karena intervensi struktural ke atas dianggap lebih menjanjikan dan mudah. Hal tersebut, menurutnya, tidak terlepas dari hegemoni wacana aktivisme perlawanan terhadap kekuasaan di tengah kebijakan neoliberal, terutama di era Soeharto dan pasca-Soeharto. “Orang-orang sering kali membayangkan permasalahan utamanya adalah perlawanan terhadap kekuasaan; mulai dari melawan korporasi, konsesi perluasan tambang, perampasan tanah adat, dan lainnya,” jelas Roy.
Menurut Roy, gerakan tani saat ini lebih memilih menggunakan pendekatan politis, dengan menitipkan agendanya pada politisi jahat. Menurutnya, idealnya mereka menggunakan pendekatan struktural ke bawah yang berupaya menjalin relasi mesra dengan petani untuk melihat masalah secara lebih dekat. Ia juga menyoroti bahwasannya saat ini gerakan tani untuk memperjuangkan agenda reforma agraria sangat berantakan. Ia menjelaskan karena sejak awal mereka tidak memiliki analisis yang objektif dan konkrit, serta program kaderisasi yang terstruktur. “Rata-rata mereka tidak memiliki solidaritas untuk melakukan aksi-aksi politik untuk melawan kebijakan yang masuk ke desa,“ tandasnya.
Penulis: Novia Pangestika
Penyunting: Akbar Bagus Nugroho
Fotografer: Winda Hapsari