
©Alika/Bal
Dalam rangka peluncuran Program Jurnalisme Aman, Yayasan Tifa mengadakan webinar bertajuk “Kebebasan Berekspresi, Perlindungan dan Keamanan Jurnalis di Indonesia”. Webinar yang diadakan pada Senin (11-04), dimoderatori oleh Daniel Awigra dari Human Rights Working Group (HRWG). Webinar Ini dilaksanakan secara daring dan menghadirkan empat narasumber sekaligus, yakni Eni Mulia, Direktur Eksekutif Perhimpunan Pengembangan Media Nasional (PPMN); Nenden S. Arum, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet; Herlambang P. Wiratraman, Akademisi Fakultas Hukum UGM; dan M. Agung Dharmajaya, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers. Selain itu, Lambert Grijns selaku Duta Besar Kerajaan Belanda di Indonesia juga turut memberi sambutan melalui audio visual.
Berdasarkan pemaparan Shita, Jurnalisme Aman adalah sebuah program yang diinisiasi oleh Yayasan Tifa bersama Human Rights Working Group (HRWG) dan Perhimpunan Pengembangan Media Nasional (PPMN), guna merespon berbagai tantangan yang muncul dalam isu perkembangan keamanan jurnalis di Indonesia. Melalui program ini; Yayasan Tifa, HRWG, dan PPMN bekerjasama untuk berkontribusi pada sudut keselamatan jurnalis. “Terutama bagaimana menghentikan serangan dan ancaman, baik berupa fisik maupun non fisik, pada jurnalis yang menjalankan tugasnya,” ujar Shita.
Jurnalisme Aman sendiri sudah didukung oleh Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Indonesia. Lambert mengatakan bahwa keamanan jurnalis adalah permasalahan global, tidak hanya di Indonesia saja. “Saat ini awak media di seluruh dunia sedang terancam,” ujar Lambert. Ia merujuk pada data UNESCO bahwa setiap lima hari ada jurnalis yang terbunuh karena pekerjaan mereka yang membawakan berita dan informasi untuk kepentingan publik.
Sejalan dengan Lambert, Nenden menyampaikan upaya SAFEnet mengadvokasi kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis. Kurangnya keberanian korban dalam melaporkan kasusnya menjadi hambatan yang sering ditemui SAFEnet. “Hal ini terjadi karena tidak ada dukungan dari perusahaan media dan kurangnya kepercayaan mereka terhadap proses hukum,” tutur Nenden.
Lebih lanjut, menurut Nenden, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga seringkali menjerat jurnalis. SAFEnet mencatat setidaknya ada 24 jurnalis yang terjerat UU ITE. “Padahal, jurnalis memiliki Undang-undang Pers dan Surat Keputusan Bersama (SKB) polri terkait implementasi Undang-undang Pers,” ujar Nenden.
Menurut Agung, kekerasan yang terjadi terhadap jurnalis di lapangan makin hari makin bertambah. Selama ini Dewan Pers menerima banyak aduan. “Namun, aduan itu diterima ketika kasus sudah berjalan sehingga Dewan Pers tidak bisa melakukan banyak tindakan,” tuturnya.
Agung mengatakan untuk menangani hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan pembekalan terkait mekanisme kerja kepada para jurnalis. “Seperti memastikan isu yang akan dibahas, siapa yang mendampingi, dan melakukan pelaporan ke perusahaan dalam rentan waktu tertentu,” tutur Agung. Dengan demikian, jika dalam rentan waktu tersebut tidak ada laporan, pihak perusahaan dapat melakukan pencegahan awal.
“Ada tiga masalah yang kami identifikasi untuk coba kami tangani dengan memberikan usulan, solusi, ataupun perbaikan,” ucap Eni. Pertama ketiadaan standarisasi panduan dalam merespons kasus-kasus keamanan terhadap jurnalis. Kedua, dukungan perusahaan dan organisasi media terhadap risiko keselamatan jurnalis yang masih minim. Ketiga, perlunya koordinasi dan kerjasama yang kuat antarinisiator untuk memberikan respons dan mitigasi yang efektif terhadap semua kasus yang ada.
Mengutip dari laporan Committee to Protect Journalists (CPJ), Eni menyampaikan jika selama tiga tahun terakhir jumlah jurnalis yang dipenjarakan di seluruh dunia sangat tinggi. “Pada bulan Maret lalu, UNESCO menyampaikan ada 455 jurnalis yang terbunuh karena liputannya dan sebagian besar dari kasus pembunuhan tersebut tidak terungkap,” tambahnya.
Menurut Eni, berdasarkan survei yang dilakukan Sweet Spot, yang paling mengancam bagi kebebasan pers adalah pemerintah, yaitu sebesar 27,77%. Kemudian; masalah ekonomi, kekerasan terhadap jurnalis, dan sosial media yang dapat menyebabkan tersebarnya informasi salah menjadi faktor-faktor lain yang mengancam kebebasan pers.
Penulis: Aisyah Masruro dan Salma Shidqiyah
Penyunting: Muhammad Alfimansyah
Fotografer: Alika Bettyno Sastro