
©Alika/Bal
Kamis (21-04), Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) menggelar aksi di Tugu Pal Putih. Aksi ini dilakukan dalam rangka menyerukan sejumlah tuntutan, antara lain mengenai kenaikan harga BBM dan minyak goreng. Pada pukul 15.00, massa aksi berkumpul di Bundaran UGM yang kemudian dilanjutkan dengan longmars menuju Tugu Pal Putih. Selama aksi berlangsung, kemacetan sempat terjadi dari arah timur Tugu Pal Putih akibat aparat kepolisian yang enggan mengatur arus lalu lintas.
Ragnar Lodbrok, salah satu Koordinator Lapangan, menyebut tuntutan yang paling mendesak adalah penolakan terhadap kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11 persen, kenaikan harga BBM dan minyak goreng, serta wacana kenaikan harga listrik. Menurutnya, pemerintah belum serius dalam menanggapi kenaikan harga minyak goreng karena masih terdapat ketidakmerataan distribusi. “Masalah ini tidak terlepas dari keterlibatan pemerintah karena mereka yang memegang kekuasaan terkait penentuan harga,” tegasnya.
Sehaluan dengan Ragnar, Raka Ramadhan selaku perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mengakui urgensi isu kenaikan harga minyak goreng dan BBM. Ia merujuk pada tragedi kematian seorang perempuan bernama Rita Riyani pada Minggu (13-03) di Kita Samarinda, Kalimantan Timur. Rita meregang nyawa karena kelelahan setelah mengantre di swalayan selama berjam-jam demi mendapatkan minyak goreng. ”Kejadian itu menjadi pukulan duka bagi kita semua. Kita dapat melihat bahwa kita sedang terperangkap dalam keadaan krisis,” tutur Raka.
Raka menuntut sikap dari pemerintah untuk tidak menutup mata dari penderitaan yang tengah mendera rakyat. Minyak goreng dan BBM adalah kebutuhan pokok seluruh rakyat sehingga sudah sepatutnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mampu menanggulangi permasalahan kenaikan harga tersebut. “Pemerintah harus menyadari bahwasanya ini bukanlah permasalahan biasa, tapi permasalahan serius yang harus ditindak secara cepat dan serius,” tegasnya.
Di balik runyamnya lonjakan harga BBM dan minyak goreng, Raka menuding adanya sejumlah pihak yang meraup keuntungan. Hal itu dicerminkan dengan jelas dari kebijakan menaikan harga kebutuhan pokok yang tidak memayungi kepentingan hidup rakyat. “Kita berada di tengah arena politik yang dibajak oleh partai oligarki ekonomi. Kebijakan yang dikeluarkan hanya melanggengkan agenda ekonomi dari partai itu sendiri,” jelas Raka.
Tidak berbeda dibandingkan Raka, Humas ARB yang menolak disebutkan namanya sepakat bahwa negara tidak dapat bekerja dengan efektif dan efisien. Ia memaklumi argumen pemerintah yang mengaku kewalahan menghadapi perang kelangkaan stok. Namun. menurutnya, kelalaian pemerintah dalam menangani kerugian Pertamina seharusnya bisa dirampungkan jika tidak terjadi kesalahan manajemen. “Dengan dalih demikian, maka tidak janggal jika kita mencurigai adanya orang yang bermain di belakang,” paparnya.
Terkait peran pemerintah dalam subsidi, Ragnar berpendapat bahwa negara seharusnya tidak merampas subsidi rakyat. Selaras dengan itu, Raka memaparkan bahwa subsidi pemerintah akan berguna untuk menekan harga. “Sejatinya, pemberian subsidi harus sesegera mungkin dilakukan oleh pemerintah ataupun dengan kebijakan-kebijakan untuk menormalkan kembali harga bahan pokok,” terang Raka.
Lebih lanjut, Humas ARB menyebut aksi ini akan terus berlanjut, terlebih lagi jika ada permasalahan-permasalahan yang perlu direspons. Humas ARB menyinggung soal bentuk aksi yang beragam, salah satunya aksi melalui media sosial yang akan menjadi aksi terdekat setelah aksi ARB. “Setelah jam berbuka, kita akan melakukan aksi media. Harapannya masyarakat turut mengikuti aksi ini,” tegasnya.
Salah satu peserta aksi, Becky, perwakilan Pembebasan Pusat Mahasiswa, berharap aksi ini akan mendesak negara untuk kembali menjalankan amanat konstitusi. Menurutnya, pemerintah telah gagal menjalankan amanat Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa kekayaan alam seharusnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. “Harapannya, pemerintah membuka ruang demokrasi untuk partisipasi publik dalam penelitian kebijakan dan segera mengatasi krisis ekonomi yang terjadi,” pungkasnya.
Penulis: Ananda Ridho Sulistya, Maria Adelina Puspaningrum, dan Sidney Alvionita Saputra
Penyunting: Han Revanda Putra
Fotografer: Alika Bettyno Sastro