Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
INSAN WAWASANKABARREDAKSI

Nihilnya Penegakan Hukum dalam Penanganan Kekerasan Seksual terhadap Hewan

Januari 21, 2022

©Embun/Bal

Manusia dan hewan merupakan dua makhluk hidup yang tidak bisa lepas antara satu sama lain. Kemampuan berpikir dan bernalar yang dimiliki manusia membuat mereka dianggap menduduki tingkatan yang lebih tinggi dari hewan. Meskipun demikian, manusia dan hewan sesungguhnya memiliki posisi yang setara dalam taksonomi. 

Namun, pada kenyataannya banyak ditemukan tindak kekerasan yang dilakukan oleh manusia terhadap hewan, salah satunya tindakan kekerasan seksual. Kabar mengenai seekor orang utan bernama Pony di Kalimantan Tengah yang diperkosa berkali-kali hingga dijadikan pelacur menggemparkan beberapa pihak. Bulu Pony dicukur setiap hari dan ia diperkosa oleh setiap pria yang mengunjungi rumah bordil tempatnya tinggal.

Melihat fenomena yang masih dipandang sebelah mata ini, Balairung berkesempatan mewawancarai Herlina Agustin mengenai kekerasan seksual pada hewan. Ia adalah dosen, peneliti, dan pemerhati satwa dari Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Selain itu, Herlina sempat menjabat sebagai Dewan Penasehat Protection of Forest & Fauna (PROFAUNA) Indonesia periode 2007 hingga 2019.

Bagaimana tanggapan Anda mengenai kekerasan seksual yang terjadi pada hewan?

Pemaksaan kegiatan seksual yang dilakukan sesama hewan saja dapat menimbulkan luka dan trauma, apalagi pelakunya adalah manusia. Perlu diperhatikan bahwa hubungan seksual tidak sebatas pertemuan antarkelamin, percumbuan juga termasuk di dalamnya. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa orang yang melakukan aksi seperti itu jelas memiliki gangguan pada kejiwaannya, kita sebut ini sebagai bestialitas. Fakta umum yang sering terjadi adalah pelaku tidak berani berhubungan seksual dengan orang lain dan memutuskan untuk melampiaskannya pada hewan. Fenomena ini memang masih tabu, baik di dunia hewan maupun di kesehatan. Apabila perilaku tersebut terus dilakukan, sebuah kebiasaan baru yang akan berdampak buruk bagi hewan akan muncul sebagai respons terhadap kondisi ilmiah hewan tersebut. Saya perlu tegaskan bahwa hal ini tidaklah benar dan perlu perhatian yang lebih lanjut.

Anda mengatakan bahwa sebuah kebiasaan baru yang berdampak buruk terhadap hewan dapat muncul, Apa saja itu?

Hewan memiliki masa tertentu untuk reproduksi sesuai siklusnya. Ketika hewan mendapatkan pelecehan seksual, ia akan dipaksa melakukan reproduksi di luar waktu yang seharusnya terjadi. Selain itu, manusia dan hewan jelas memiliki ukuran alat kelamin yang berbeda. Hewan yang mendapat pelecehan seksual akan terluka secara fisik dan mental karena adanya pemaksaan proses reproduksi. Dampak terburuk pelecehan seksual terhadap hewan adalah kematian. Salah satu contoh kasusnya, yaitu kambing di India yang meninggal akibat diperkosa oleh delapan orang. Pada umumnya, hewan akan menunjukkan dua tanda-tanda pasca mendapatkan pelecehan seksual, seperti lebih galak terhadap orang di sekitarnya atau menarik diri dan depresi. 

Bagaimana cara yang tepat untuk menyembuhkan trauma akibat kekerasan seksual pada hewan?

Penyembuhan secara fisik merupakan hal pertama yang harus dilakukan untuk menghilangkan trauma pada hewan. Hewan tersebut harus diperhatikan apakah sudah memenuhi lima prinsip kesejahteraan hewan (five freedoms of animal welfare). Pertama, bebas dari rasa haus dan lapar. Kedua, bebas dari rasa ketidaknyamanan. Ketiga, bebas dari rasa sakit, cedera, dan penyakit. Keempat, bebas mengekspresikan perilaku alamiah. Kelima, bebas dari ketakutan dan rasa tertekan. Setelah fisiknya sehat dan memenuhi lima prinsip kesejahteraan hewan, trauma tersebut bisa lebih cepat disembuhkan apabila dibandingkan dengan manusia.

Menurut Anda, apakah speciesism ini merupakan salah satu faktor penyebab manusia melakukan hal seenaknya pada hewan?

Speciesism berkaitan dengan diskriminasi, yaitu dengan memperlakukan makhluk hidup berdasarkan spesiesnya. Speciesism ini sendiri mencakup banyak hal, tidak hanya mengenai kekerasan seksual yang dilakukan kepada hewan. Ketika melakukan kekerasan seksual, manusia merasa lebih dominan daripada binatang. Hal itu merupakan speciesism yang luar biasa tidak etis. 

Apakah tindakan kekerasan seksual seperti ini termasuk dari salah satu wujud penganiayaan hewan yang dapat mengganggu kesejahteraan hewan seperti dalam UU nomor 41 pasal 1 ayat 42 tahun 2014?

Di Indonesia tidak ada undang-undang khusus yang bicara soal pelecehan/kekerasan seksual terhadap hewan, sehingga semua masuknya ke dalam UU Peternakan. Kemudian, permasalahan lain yang muncul dari tindakan ini adalah kerugian yang didapat oleh hewan seperti terluka, infeksi, hingga mati. Hal-hal itu tidak ada aturan hukumnya. Tidak ada juga aturan atau prosedur yang dijalankan bagi para pelaku.

Apakah sejauh ini pihak berwenang mau mengusut kasus sejenis yang mungkin dianggap remeh oleh sebagian besar masyarakat?

Sejauh ini belum bisa kita lihat dari kasus Pony di Kalimantan. Tidak ada upaya penegakan hukumnya, tidak jelas juga (aturan hukumnya). Orangutan termasuk satwa yang dilindungi sehingga yang menaungi dia adalah Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem Nomor 5 Tahun 1990. Akan tetapi, untuk masalah yang diderita oleh Pony, tidak terdapat aturan yang jelas untuk menjerat pelakunya.  

Di negara lain seperti Amerika sudah diberlakukan aturan hukum bagi pelaku kekerasan seksual terhadap hewan. Apa harapan Anda bagi kondisi serupa di Tanah Air?

Seperti yang sudah kita bahas, ini adalah masalah kelainan jiwa dan seksual yang harus diterapi. Kemudian, kita tetapkan hukum perlindungan bagi hewan agar hewan tidak lagi diperlakukan semena-mena. Kita tahu sendiri di Indonesia masih banyak yang menganut speciesism, hewan dijadikan hal nomor kesekian dan dapat diperlakukan sesuai keinginannya. Pada akhirnya, kita harus lebih banyak menaruh perhatian pada hewan.

Penulis: Cindra Karunia, Anastasya Egidia Amanda, Salsabila Faiha’ (Magang)
Penyunting: Fahmi Aryo Majid
Ilustrator: Embun Dinihari (Magang)

0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Hajriansyah: Seni Realisme Revolusioner Lukiskan Semangat Perlawanan Rakyat

Muhidin M. Dahlan: Ekosistem Aktivis Pengaruhi Disorientasi Aktivisme

Henke Yunkins: Penggunaan AI Tanpa Regulasi Ancam Pekerja...

Muhammad Karim: Ekspor Pasir Laut Rugikan Nelayan dan...

Edi Dwi Atmaja: Ketidakjelasan Penanganan Konflik Monyet Ekor...

Meila Nurul Fajriah: Hambatan Paling Besar Para Pembela...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025
  • Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan Mahasiswa

    Mei 24, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM