![©Monica/Bal ©Monica/Bal](https://www.balairungpress.com/wp-content/uploads/2021/12/Monic_Ilustrasi-Magang_Wawasan-7-scaled.jpg)
©Monica/Bal
Polemik yang mewarnai Polri baru-baru ini memberikan sorotan kepada Visi Indonesia Emas 2045 yang mulai berdebu sebab kurangnya realisasi. Lantas, perlukah adanya reformasi?
Berbagai polemik mewarnai Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sepanjang tahun 2021, di antaranya menyangkut sikap institusi yang dinilai represif terhadap masyarakat. Persoalan ini mendapat perhatian dikarenakan pemberitaan dan media sosial. Misalnya, perkara dugaan kekerasan seksual di Luwu Timur, Sulawesi Selatan yang memunculkan ramainya tagar #percumalaporpolisi. Kasus kekerasan tersebut sempat dihentikan tanpa keadilan, tetapi penyelidikannya dibuka kembali setelah mendapat sorotan publik melalui rilis laporan Project Multatuli yang berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Polisi. Polisi Hentikan Penyelidikan”. Namun, laporan ini sempat tidak dapat diakses selama beberapa hari setelah perilisannya. Hal tersebut memicu dugaan tindak represif sehingga kredibilitas kepolisian pun dipertanyakan. Selain itu, aksi penghapusan mural oleh polisi, kasus penggeledahan telepon genggam oleh aparat, dan insiden mahasiswa yang dibanting polisi saat demo di Tangerang, merupakan contoh lain dari permasalahan Polri sebagai lembaga pemerintah dengan masyarakat. Dinamika persoalan tersebut mengindikasikan perlunya perbaikan birokrasi polisi sebagai aparat penegak hukum.
Sebenarnya, Indonesia sendiri telah memiliki regulasi terkait perbaikan birokrasi yang tercantum dalam Visi Indonesia Emas 2045. Visi Indonesia Emas 2045 adalah regulasi pembangunan yang digagas oleh Bappenas di era kabinet Presiden Joko Widodo. Dalam kata pengantarnya, Jokowi menyebut bahwa visi ini merupakan upaya mencapai tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai Pembukaan UUD 1945 dalam rangka menyambut 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Urgensi adanya visi ini diperkuat dengan pendapat Satjipto Rahardjo (1980) yang menyatakan bahwa pembangunan merupakan satu-satunya jalan yang harus ditempuh negara berkembang untuk memerdekakan diri dari segala tuntutan dan kesulitan.
Bambang Brodjonegoro, Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional 2019 menyebutkan bahwa visi dengan waktu penyusunan selama 2 tahun itu dibuat berlandaskan 4 pilar pembangunan pokok. Salah satunya adalah pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola kepemerintahan yang merupakan pilar keempat. Pilar ini memiliki beberapa sasaran yaitu kualitas demokrasi yang semakin baik, reformasi kelembagaan dan birokrasi, pembangunan sistem hukum nasional dan antikorupsi, pelaksanaan politik luar negeri yang bebas-aktif, serta kemampuan pertahanan dan keamanan yang tinggi. Permasalahan yang kini menyelimuti Polri merupakan suatu penghambat reformasi birokrasi dalam Visi Indonesia Emas 2045.
Reformasi Birokrasi dan Perkembangan Paradigma
Reformasi birokrasi merupakan suatu proses perubahan dalam rangka menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih, serta meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja aparatur negara. Isu reformasi birokrasi tidak terlepas dari perkembangan paradigma reformasi birokrasi. Pengetahuan akan hal ini diperlukan agar mampu memahami poin penting dan alasan mengapa suatu paradigma tergantikan, terlebih dalam upaya suatu negara mencapai tujuan tertentu. Peter Aucoin (1990) juga menulis bahwa paradigma adalah model yang menggambarkan realitas dan merumuskan langkah mewujudkan perubahan. Perkembangan paradigma dapat ditelaah secara sederhana melalui pergantian dari old public administration, ke new public management, lalu ke new public service.
Paradigma tertua, Old Public Administration (OPA), memiliki ciri khas berupa tata kelola yang hierarkis dan tertutup. Tata kelola ini dikontrol ketat melalui organisasi pemerintah pusat. Akses keterlibatan masyarakat terbatas dan hak berekspresi tidak terpenuhi sehingga paradigma tersebut mulai ditinggalkan. Masyarakat beralih ke paradigma New Public Management (NPM) dengan pemerintahan yang berdasar logika dan efisiensi bisnis atau manajerialisme. Manajerialisme berbicara tentang pembawaan ideologi manajerial dari perusahaan ke masyarakat melalui institusi sosial (Klikauer, 2015). Terry (1993, 1998) mengemukakan bahwa manajerialisme merupakan ancaman bagi demokrasi dan nilai konstitusi, seperti keadilan, kesamaan, representatif, dan partisipasi rakyat. NPM yang berlandaskan manajerialisme pada akhirnya memiliki kesamaan dengan OPA dalam hal birokrasi, hierarki, dan kontrol (Denhardt dan Denhardt, 2007). Oleh karena itu, dibutuhkan alternatif paradigma terbaru. Hal tersebut diwujudkan melalui paradigma New Public Service (NPS). NPS memuat ide yang kontras dibanding paradigma sebelumnya dengan menjunjung pelayanan publik, pemerintahan demokratis, sekaligus partisipasi rakyat.
Adanya partisipasi rakyat juga menjadi titik berat dari konsep collaborative governance yang telah berkembang selama hampir lima dekade terakhir. Collaborative governance merupakan konsep tentang penyediaan ruang bagi masyarakat dan lembaga pemerintah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan berdasarkan konsensus. Kolaborasi tersebut berupa dialog secara langsung, pembentukan kepercayaan antara kedua belah pihak, komitmen dalam berkolaborasi, pemahaman akan tujuan yang sama, dan perkembangan bertahap di dalam prosesnya. Collaborative governance memberikan harapan akan perluasan ruang demokrasi (Ansell dan Gash, 2007).
Dinamika paradigma dari masa ke masa menunjukkan pola yang sama. Hal tersebut berupa keinginan akan lebih besarnya partisipasi rakyat di dalam pemerintahan, termasuk dalam kinerja aparat penegak hukum. Kami Simmons (2010) mengemukakan bahwa paradigma terkini yang mempromosikan pendekatan reformasi dari bawah ke atas–dari masyarakat ke pemangku kebijakan–mampu mengatasi kurangnya demokrasi dalam tata kelola pemerintahan. Pentingnya partisipasi masyarakat dalam collaborative governance ini juga tertera pada pilar keempat Visi Indonesia Emas 2045 terkait usaha reformasi aparatur penegak hukum.
Upaya Reformasi Kepolisian Jepang dan Amerika
Indonesia sangat membutuhkan reformasi aparat penegak hukum, khususnya Polri, sebagai lembaga yang memiliki diskresi dan kekuatan besar untuk melindungi kepentingan publik. Besarnya diskresi ini mendatangkan ekspektasi bahwa aparat penegak hukum akan dimintai pertanggungjawaban apabila melakukan tindakan sewenang-wenang (Simmons, 2010). Ryuji Okabe (2014) memperkenalkan “paradigma reformasi polisi” dengan mengulas upaya reformasi lembaga kepolisian yang terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Ia melakukan komparasi kondisi kepolisian Amerika Serikat dengan Jepang pada aspek peran akademik, peran pemerintah pusat, peran pemerintah daerah, dan peran kepala kepolisian. Okabe menemukan bahwa Amerika memiliki kekuatan dalam penemuan ide dan strategi reformasi yang dilandaskan pada pendidikan sosial, sedangkan Jepang memiliki kekuatan dalam implementasi karena pembagian wewenang yang efektif. Perbandingan implementasi kedua negara ini memberikan gambaran dan poin penting terkait strategi dan implementasi dalam mewujudkan reformasi kepolisian di Indonesia.
Bratton (1998) mengemukakan bahwa pendidikan sosial merupakan faktor munculnya polisi yang teredukasi. Peran bidang akademik di Amerika telah menghasilkan strategi dan ide yang kuat akan reformasi. Publikasi pada tahun 1967 yang berjudul The Challenge of Crime in Free Society merupakan sebuah momen penting bagi peran akademik dalam reformasi kepolisian. Publikasi tersebut memuat skandal besar polisi, kerusuhan masyarakat, dan lonjakan kasus kriminal di Amerika pada awal 1960-an. Melihat publikasi itu, Presiden Lyndon B. Johnson dan berbagai akademisi mulai melakukan penelitian lebih lanjut tentang keefektifan kebijakan kepolisian. Selain itu, ide broken-windows policing yang merupakan hasil riset akademik oleh Wilson dan Kelling (1982), menemukan bahwa kasus kriminal berat disebabkan oleh kasus kriminal kecil yang tidak segera ditindak. Penemuan baru dalam bidang akademik ini mendukung adanya konsiderasi ulang strategi kebijakan yang berlaku. Namun, implikasinya belum maksimal karena kepolisian negara bagian dan pemerintah pusat tidak berhubungan secara langsung. Berbeda dengan Amerika, peran bidang akademik yang kurang pada reformasi kepolisian di Jepang disebabkan oleh ketidakpercayaan aparat pemerintah dengan badan akademik. Selain itu, rendahnya angka kriminalitas juga menyebabkan peran bidang akademik hanya ada ketika kepolisian merasa perlu (Okabe, 2014).
Pada aspek pemerintahan pusat, konstitusi Amerika Serikat tidak memberikan kewenangan kepolisian kepada pemerintah federal AS sehingga perannya terhadap reformasi polisi menjadi insignifikan (James dan Harrington, 2020). Sebagian besar kewenangan kepolisian dimiliki oleh negara bagian. Besarnya fragmentasi ini mencirikan struktur kepolisian di Amerika. Menurut Okabe, hal tersebut dapat menyebabkan kurangnya hubungan langsung pemerintah pusat yang menjadi sumber rintangan dalam implementasi perubahan di lingkungan polisi lokal. Kepolisian di Jepang terdiri dari 47 polisi prefektur sesuai dengan wilayah yurisdiksinya dan Keisatsu-chō (Agensi Polisi Nasional) yang berada di pusat. Kepolisian prefektur di setiap wilayah bertanggung jawab untuk kegiatan operasional, sedangkan Keisatsu-chō bertugas mengkoordinasi regulasi bagi polisi prefektur. Secara formal, Keisatsu-chō memiliki otoritas untuk mendorong implementasi reformasi ide. Adanya pusat kepolisian nasional inilah yang menurut Okabe merupakan pendorong keberhasilan reformasi kepolisian. Namun, pada praktiknya, Jepang belum memanfaatkan peran Keisatsu-chō secara signifikan. Lebih lanjut, hal ini dikarenakan masih kurangnya usaha Keisatsu-chō dalam penemuan strategi reformasi bagi kepolisian (Okabe, 2014).
Reformasi Kepolisian Indonesia dan Visi Indonesia 2045
Di Indonesia sendiri, reformasi kepolisian pernah dicoba untuk dilakukan melalui Perkapolri No. 8 Tahun 2009. Peraturan tersebut merupakan usaha perubahan Polri secara sistematik dalam aspek struktural, instrumental, maupun normatif. Peraturan tersebut secara normatif merupakan usaha untuk melahirkan sosok dan postur Polri yang profesional, cerdas, dan humanis (Hariwibowo dkk., 2012). Visi Indonesia Emas 2045 juga dikeluarkan sebagai suatu rancangan besar terbaru tentang reformasi birokrasi yang berfokus kepada collaborative governance. Reformasi birokrasi memuat poin penting sikap lembaga, yaitu people driven, locally empowered, dan responsif terhadap isu. Sejalan dengan usaha reformasi birokrasi, Kapolri Listyo Sigit mengeluarkan konsep PRESISI pada Januari 2021. Konsep ini bertujuan untuk menjadikan Polri sebagai lembaga yang kinerjanya prediktif, memiliki responsibilitas dalam tindakan, dan transparan dalam menegakkan keadilan. Menurut Alexander Haryanto (2021), konsep tersebut merupakan komitmen Kapolri Sigit untuk memenuhi rasa keadilan melalui penyelesaian dengan prinsip keadilan restoratif.
Namun, masih ada ketidaksesuaian dalam penerapan reformasi birokrasi dan program PRESISI. Ketidaksesuaian tersebut dapat dilihat pada kasus penangkapan petani jagung pembentang poster kritik di Blitar dan kasus pemukulan terhadap warga Deky Wermasubun oleh anggota Brimob DD alias N yang terhenti di Polresta Bogor. Kasus tersebut bertentangan dengan demokrasi dan partisipasi rakyat. Padahal, keduanya adalah esensi paradigma baru yang juga tercantum dalam Visi Indonesia Emas 2045. Perkembangan paradigma juga menginginkan partisipasi rakyat yang lebih besar dalam pemerintahan.
Untuk melaksanakan reformasi Polri, Indonesia dapat melihat Keisatsu-chō di Jepang. Secara formal, Polri memiliki kedudukan yang sama seperti Keisatsu-chō sehingga kolaborasinya dengan pemerintah pusat dapat mendukung kelancaran reformasi kepolisian di Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 8 UU No. 2 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa Polri berada dan bertanggung jawab di bawah Presiden. Hubungan langsung pemerintah pusat terhadap Polri ini menyebabkan tidak adanya fragmentasi sehingga rintangan dalam implementasi perubahan di lingkungan polisi daerah berkurang.
Potensi tersebut harus dibersamai dengan penanaman nilai sosial dan pengkajian yang matang dalam ide penemuan strategi reformasi kepolisian. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengambilan kunci keberhasilan dari Amerika dalam perumusan ide dan strategi reformasi. Polri jangan hanya berorientasi kepada keadilan semata, tetapi juga melalui kajian ilmu sosial-empiris. Pendekatan hukum yang mengejar keadilan belum tentu menyediakan solusi yang tepat, sedangkan kajian ilmu sosial umumnya mempelajari sumber suatu masalah dan mampu merumuskan kemungkinan solusi yang lebih efektif (Okabe, 2014). Ditambah lagi, pendekatan sosial empiris menitikberatkan peristiwa yang terjadi di lapangan (Mezak, 2006).
Kajian terdahulu menemukan bahwa nilai dari NPS dan collaborative governance yang berupa kolaborasi polisi dengan masyarakat terbukti memberikan banyak manfaat (Li, 2017). Namun, kolaborasi hanya bisa dicapai apabila polisi dapat menyediakan ruang untuk menumbuhkan rasa kepercayaan masyarakat. Faktor yang mendorong kepercayaan tersebut meliputi komitmen antara kedua belah pihak, perlindungan bagi saksi pengadilan, dan komunikasi yang baik. Polisi harus menemukan cara komunikasi yang efektif dan efisien untuk mewadahi laporan serta respon akan tindak kriminal yang terjadi. Menurut Li, beberapa faktor tersebut merupakan hal krusial dalam adanya kolaborasi masyarakat dengan polisi.
Berkaca dari uraian di atas, Polri perlu untuk berbenah. Sinergi dalam bentuk hubungan kepolisian dengan pemerintah pusat, perumusan strategi melalui pendekatan sosial-empiris, dan pemberian ruang bagi partisipasi rakyat adalah beberapa upaya untuk meningkatkan kualitas polisi dan institusinya. Langkah ini memerlukan realisasi serius demi mempercepat tercapainya target-target dalam rangka membentuk reformasi kepolisian sesuai dengan Visi Indonesia 2045 yang katanya emas.
Penulis : Rafi Akmal Raharjo, Najma Alya Jasmine (Magang)
Penyunting : M. Ihsan Nurhidayah
Illustrator : Alif Monica (Magang)
Referensi
Ahmad, Jamaluddin. 2012. “Perjalanan Old Public Administration (OPA), New Public Management (NPM), New Public Service (NPS) Menuju Manajemen Publik Kelas Dunia.” Praja, No. 1: 1-25.
Ansell, Chris, and Alison Gash. 2008. “Collaborative Governance in Theory and Practice.” Journal of Public Administration Research and Theory: J-PART 18, No.4.
Aucoin, Peter. 1990. “Administrative Reform in Public Management: Paradigms, Principles, Paradoxes and Pendulums.” Governance: An International Journal of Policy and Administration, No. 3: 115–137.
Denhardt, Janet, dan Robert Denhardt. 2007. The New Public Service: Serving, Not Steering. Expanded Edition. London: M.E. Sharpe, Inc.
Hariwibowo, Gatot, Andy Fefta Wijaya, dan Mardiyono. 2012. “Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Upaya Implementasi Reformasi Birokrasi POLRI (Studi Pada Polres Pacitan Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010).” Wacana 15, No. 3: 18–28.
Haryanto, Alexander. 2021. “Apa Itu Konsep Presisi Yang Digagas Calon Kapolri Listyo Sigit?” Tirto.id. https://tirto.id/apa-itu-konsep-presisi-yang-digagas-calon-kapolri-listyo-sigit-f9AU. [Diakses pada 18 November 2021, pukul 12.13]
Iftitahsari. 2021. “Mengapa Percuma Lapor Polisi Dan Apa Yang Harus Dibenahi Dari Institusi Ini.” Projectmultatuli.Org. 2021. https://projectmultatuli.org/mengapa-percuma-lapor-polisi-dan-apa-yang-harus-dibenahi-dari-institusi-ini/. [Diakses pada 30 November 2021, pukul 19.51]
James, Nathan, dan Ben Harrington. 2020. “What Role Might the Federal Government Play in Law Enforcement Reform?” In Focus 4: 1-4
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia. 2019. Ringkasan Eksekutif Visi Indonesia Emas 2045.
Klikauer, Thomas. 2015. “What Is Managerialism?” Critical Sociology, No. 41(7-8): 1103-1119.. https://doi.org/10.1177/0896920513501351.
Li, Michael. 2017. “Collaborative Governance and Partnership in Policing.” Open Journal of Science 5, No. 12. https://doi.org/10.4236/jss.2017.512004.
Maharani, Tsarina. 2021. “Viral Di Medsos, Bolehkah Polisi Masuki Wilayah Privasi Di Ponsel Warga?” Kompas.com. 2021. https://nasional.kompas.com/read/2021/10/19/063000
91/viral-di-medsos-bolehkah-polisi-masuki-wilayah-privasi-di-ponsel-warga?page=all. [Diakses 11 November 2021, pukul 20.32]
Mezak, Meray. 2006. “Jenis, Metode Dan Pendekatan Dalam Penelitian Hukum.” Law Review. Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol.3, No. 3.
Okabe, Ryuji. 2014. “Police Innovation Paradigm in the United States and Japan.” Police Practice and Research, 192–206. https://doi.org/10.1080/15614263.2012.754125.
Rahardjo, Satjipto. 1980. Hukum Dan Masyarakat. 10th ed. Bandung: Angkasa Offset.
Rusdianto, Eko. 2021. “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan.” Projectmultatuli.org. https://projectmultatuli.org/kasus-pencabulan
-anak-di-luwu-timur-polisi-membela-pemerkosa-dan-menghentikan-penyelidikan/. [Diakses 11 November 2021, pukul 20.26]
Ridho, Rasyid. 2021. “Dibanting Polisi Hingga Kejang, MFA: Saya Harap Ini Insiden Terakhir.” Kompas.com. 2021. https://regional.kompas.com/read/2021/10/23/153646478/dibanting-polisi-hingga-kejang-mfa-saya-harap-ini-insiden-terakhir. [Diakses 11 November 2021, pukul 20.37]
Rizal, Jawahir Gustav. 2021. “Penghapusan Mural Oleh Aparat, Bagaimana Negara Menyikapi Kritik Di Ruang Publik?” Kompas.com. https://www.kompas.com/tren/read/2021/08
/18/073000165/penghapusan-mural-oleh-aparat-bagaimana-negara-menyikapi-kritik-di-ruang?page=all. [Diakses 11 November 2021, pukul 20.30]
Simmons, Kami Chavis. 2010. “New Governance and the ‘New Paradigm’ of Police Accountability: A Democratic Approach to Police Reform.” Catholic University Law Review 59, No. 2: 373-476.
Taher, Andrian Pratama. 2021. “Di Balik Ekspos Arogansi & Kekonyolan Polisi Era Kapolri Sigit.” Tirto.id. https://tirto.id/di-balik-ekspos-arogansi-kekonyolan-polisi-era-kapolri-sigit-gkFe. [Diakses 11 November 2021, pukul 20.00]
Tim Detik.com. 2021. “IPW Minta Polri Transparan Hadapi #PercumaLaporPolisi.” https://news.detik.com/berita/d-5761642/ipw-minta-polri-transparan-hadapi-percumalaporpolisi. [Diakses 11 November 2021, pukul 20.16]
Sahara, Wahyuni. 2021. “Mereka Yang Ditangkap Karena Bentangkan Poster Saat Menyambut Jokowi.” Detik.com. https://nasional.kompas.com/read/2021/09/13/15365341/mereka-yang-ditangkap-karena-bentangkan-poster-saat-menyambut-jokowi?page=all. [Diakses 11 November, pukul 20.21]