
©Alisha/Bal
Dalam rangka penyadaran kembali akan tujuan gerakan sosial, Rumah Pengetahuan Amartya menyelenggarakan webinar bertajuk “Gerakan Sosial di Sisa Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf” pada Rabu (9-11). Webinar yang diselenggarakan melalui Zoom ini dihadiri oleh beberapa narasumber, yaitu Wilson Obrigado, Aktivis ā98; Asfinawati, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); dan Taufiq Firdaus, Aktivis Aliansi Rakyat Bergerak.
Wilson membuka diskusi dengan menceritakan gerakan sosial pada 1998 yang memiliki sejarah panjang. Menurut Wilson, gerakan sosial muncul karena adanya rasa senasib sepenanggungan, seperti tuntutan masyarakat pada masa Orde Baru. Tuntutan itu muncul karena korupsi, kolusi, dan nepotisme yang membuat rakyat tidak lagi percaya dengan rezim Soeharto. Kondisi itu mendorong terbentuknya gerakan sosial untuk menurunkan Soeharto dari jabatanya.
Selain itu, Wilson juga memaparkan contoh gerakan sosial pada zaman Orde Baru, seperti Konferensi Persatuan Gerakan Rakyat (KPGR) yang bertujuan untuk mempersatukan elemen-elemen gerakan masyarakat. Selain KPGR, ada juga gerakan sosial lain, yakni Partai Perserikatan Rakyat (PPR) yang membawa gagasan sosial-demokrasi sekaligus reformasi agraria. āGerakan sosial masyarakat pada saat itu dibentuk untuk melawan dominasi kapitalis dan politik oligarki,ā ucap Wilson.
Nyatanya tidak semua gerakan sosial berjalan dengan lancar. Banyak gerakan dan partai yang memutuskan untuk berhenti, āKPGR menghilang begitu saja dan tidak menjadi kualitas yang baru dari gerakan sosial atau gerakan politik alternatif,ā jelas Wilson. Ia juga menambahkan bahwa ada partai baru yang masih diperdebatkan, yaitu Partai Buruh. āPartai tersebut perlu merangkul banyak gerakan sosial yang lebih luas untuk membuktikan bahwa mereka bisa menjadi kendaraan kolektif,ā ungkap Wilson.
Menanggapi hal tersebut, Asfinawati melihat bahwa pengalaman setiap gerakan dan zaman itu berbeda, tidak tepat jika kita menyamakan semuanya. Meskipun begitu, menurut Asfinawati, perbedaan itu tetap ada titik temu yang bisa dirumuskan. Ia menjelaskan, hal yang utama adalah tujuan gerakan sosial itu sendiri. āMeskipun ada gerakan dan isu yang sama, sebetulnya makna masalah itu bagi semua orang bisa berbeda dan perbedaan itu akan sangat menentukan penyelesaian dan tujuannya akan sejauh mana,ā tegasnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa gerakan itu seharusnya bertahap. Adapun tahapannya dimulai dari rasa ketidakpuasan yang hanya dialami beberapa orang, sampai rasa ketidakpuasan itu bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat. Dengan demikian, hal tersebut dapat menimbulkan suatu pergerakan sosial.
Sependapat dengan para pembicara sebelumnya, dalam hal ini Taufiq lebih menaruh atensi pada upaya perbaikan internal gerakan. Menyoal problem internal, perlu adanya upaya mendamaikan tensi antargerakan agar tidak terpecah. Kemudian menurutnya, pengambilan keputusan harus melalui musyawarah agar demokratis dan mengantisipasi adanya perpecahan. Dengan itu, ia optimis bahwa gerakan akan bertahan lama dengan sendirinya.
Taufiq juga sedikit menyinggung perihal komitmen internal terkait problem kekerasan seksual yang terjadi di tubuh gerakan. Ia menyampaikan, banyak gerakan yang pecah karena maraknya kasus kekerasan seksual dan itu harus segera diselesaikan dengan menindak keras pelaku. āDibutuhkan komitmen dari gerakan untuk memberikan ruang yang sebesar-besarnya dan kebebasan tempat untuk perempuan agar tidak mengamini adanya ketimpangan gender,ā imbuhnya.Ā
Penulis: Salsabila Koirunānisa, Hadistia Leovita Subakti, Novia Pangestika Purwandari (Magang)
Penyunting: Viola Nada Hafilda
Fotografer: Alisha Bintang Maharani (Magang)