Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Warga Pesisir Semarang dalam Getir Tata Kelola Air
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KABARKILASREDAKSI

Kenang Tragedi Semanggi, Aksi Kamisan Sebut Pemerintah Ingkar Janji

November 21, 2021

©Sidney/Bal

Rintik hujan yang membasahi Kota Yogyakarta tidak mengurungkan semangat belasan orang yang berpartisipasi dalam Aksi Kamisan pada Kamis (18-11). Aksi Kamisan kali ini bertajuk “23 Tahun Tragedi Semanggi, Pemerintah Tetap Ingkar Janji”. Massa aksi berbaris dalam naungan payung hitam di depan Tugu Yogyakarta. Mereka menggaungkan tuntutan kepada pemerintah untuk segera mengusut Tragedi Semanggi yang telah diabaikan selama puluhan tahun dengan membentangkan dua spanduk. Masing-masing spanduk bertuliskan “Mengutuk Segala Bentuk Pemufakatan Jahat” dan “Kejahatan terhadap Kemanusiaan adalah Pelecehan Ajaran Tuhan”. 

Aksi dilanjutkan dengan refleksi bersama yang dipimpin oleh Mutia Iftiyani selaku perwakilan dari massa. Refleksi diawali dengan pemaparan mengenai Tragedi Semanggi secara singkat oleh Mutia. Lebih lanjut, Mutia menjelaskan bahwa Tragedi Semanggi masih relevan diangkat karena pemerintah tak kunjung menyelesaikan kasusnya. Menurutnya, Aksi Kamisan juga dilaksanakan guna menegur pemerintah yang tak kunjung menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat lainnya. 

Wira Surya, aktivis asal Kalimantan Selatan, menuturkan masih banyak kasus pelanggaran HAM yang belum terungkap. Wira juga mengisahkan terjadinya “Jumat Kelabu”, kerusuhan di Kalimantan Selatan yang berujung pada pembakaran ruko-ruko. “Sama seperti Tragedi Semanggi yang ditelantarkan hingga detik ini, tidak ada yang mengetahui pelaku yang membakar ruko dan mengunci warga sipil sehingga mereka mati terpanggang di dalam sana,” ungkap Wira. 

Wira memandang bahwa pemuda harus bisa merefleksikan Aksi Kamisan ini sebagai evaluasi diri ke depannya. Ia juga menyebutkan peran anak muda sebagai generasi emas di negeri ini yang akan menjadi pemimpin di masa depan. “Dengan demikian, para pemuda dapat menjadi pemimpin yang lebih baik dari pemimpin yang sedang menjabat sekarang,” imbuhnya.

Muhammad Rasyid, mahasiswa Fakultas Teknik UGM, mengaku bahwa baru kali ini dirinya turun langsung dalam Aksi Kamisan. Rasyid juga mengungkapkan kegelisahannya terhadap pengusutan pelanggaran HAM di Indonesia. Rasyid menyatakan kekagumannya terhadap pemerintah Jerman yang mampu memburu dan mengadili pelaku-pelaku pelanggaran HAM berat. “Jika negara lain bisa, mengapa di Indonesia tidak?” tandasnya. 

Sementara itu, salah seorang aktivis bernama Ali juga memendam rasa kecewa. Ali merupakan salah satu aktor yang berperan dalam pembentukan Aksi Kamisan pertama kali pada tahun 2007. Ia menjuluki para aktivis yang berbalik arah dengan mendukung sistem pemerintahan masa kini sebagai penjilat. Sebab, Ali beranggapan bahwa para aktivis tersebut melupakan perjuangan kaum marjinal dan justru semakin menekan kehidupan mereka. “Mereka menjadi penjilat atau jauh dengan masyarakat sehingga tidak sensitif,” tandas Ali menumpahkan kekecewaannya. 

Menurut Ali, salah satu contoh matinya sensitivitas HAM para mantan aktivis yaitu penyelenggaraan Festival HAM 2021. Ali memaparkan jika Festival HAM 2021 mengundang sejumlah pelanggar HAM untuk menjadi pembicara. “Parahnya, aktor-aktor penyelenggara acara itu yang dulunya memperjuangkan HAM,” ungkapnya. 

Penulis: Dhestia Arrizqi Haryanto, Sidney Alvionita Saputra (Magang)
Fotografer: Sidney Alvionita Saputra (Magang)
Penyunting: Viola Nada Hafilda

8
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...

Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...

Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah

Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan

Jejak Trauma Kolektif Korban Kekerasan Orde Baru dalam...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Warga Pesisir Semarang dalam Getir Tata Kelola Air

    Juni 30, 2025
  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM