
©Albert/Bal
Sosialisasi anti kekerasan seksual di Universitas Gadjah Mada (UGM) rupanya belum dilakukan secara optimal. Meski dalam Peraturan Rektorat No. 1 Tahun 2020 (PPKS) Pasal 4 Ayat 2 B sudah mengatur secara spesifik, namun kebijakan tersebut harus dikawal kepastian implementasinya. Menyikapi hal itu, Lembaga Eksekutif Mahasiswa, Fakultas Ilmu Budaya (LEM FIB) yang bekerja sama dengan Lembaga Mahasiswa Fakultas Filsafat (LMFF) mengadakan audiensi secara daring, bersama penyelenggara Mata Kuliah Wajib Kurikulum (MKWK) UGM, Kamis (5-8). Adapun agenda utamanya yaitu rekomendasi pengarusutamaan gender dalam MKWK Pendidikan Pancasila.
Mengawali audiensi, Alysia Noorma selaku Menteri Kajian Strategis LEM FIB UGM, menyampaikan isi rekomendasi yang telah dikaji oleh tim dari kementriannya. Dalam paparannya, perlu ada implementasi nyata guna menciptakan lingkungan kampus yang anti kekerasan seksual, yakni sosialisasi melalui MKWK Pendidikan Pancasila. “Pendidikan Pancasila merupakan mata kuliah yang ideal untuk menjadi media sosialisasi anti kekerasan seksual di kampus,” paparnya.
Menurut Alysia, Pancasila merupakan pedoman moral seluruh warga negara Indonesia, sehingga dapat diaktualisasikan dalam menanggapi maraknya fenomena kekerasan seksual di kampus. Dalam hal ini, muatan materi dalam MKWK Pendidikan Pancasila seyogianya juga mengarusutamakan tema gender. Dengan begitu, diharapkan MKWK Pendidikan Pancasila dapat menginkorporasikan pengarusutamaan gender dalam proses belajar mengajar.
Sebagai bentuk rekomendasi sistem pembelajaran, Alysia berpendapat bahwa pendekatan problem based learning cocok untuk diterapkan. Pendekatan ini, menurutnya memiliki peran penting dalam meningkatkan kesadaran peserta didik atas isu gender secara umum dan secara khusus menyoal kekerasan seksual. “Sebab, dengan pendekatan ini, pembelajaran yang mendorong perwujudan kampus anti kekerasan seksual berlangsung secara reflektif dan afektif,” ujarnya.
Lebih lanjut, Alysia menambahkan, perlu adanya penyampaian materi mengenai konsep gender dan interseksionalitas dalam kegiatan belajar mengajar. Ringkasnya, konsep gender berkaitan dengan kesadaran adanya heteronormativitas yang ada di masyarakat, sedangkan interseksionalitas adalah perspektif analitis dalam memandang fenomena kekerasan sosial dari berbagai lokasi sosial. “Kedua materi tersebut perlu diajarkan, agar menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan tidak diskriminatif dalam memandang kasus kekerasan seksual,” jelasnya.
Mustofa Anshori Lidinillah, kepala pengelola MKWK saat ini menyambut secara positif dan mengapresiasi atas rekomendasi dari LEM FIB tersebut. Menurutnya, pengarusutamaan gender menjadi usulan penting dari inovasi berkala yang dilakukan oleh tim MKWK. Sehingga, sangat dimungkinkan apabila substansi pengarusutamaan gender diakomodasi sebagai salah satu materi perkuliahan. “Prinsipnya, kami sangat mengapresiasi dengan segala upaya positif untuk membuat proses pembelajaran di UGM itu makin aktual dan kontekstual,” tandasnya.
Terkait dengan rekomendasi pembelajaran dengan pendekatan problem based learning, Mustofa mengafirmasi bahwa saat ini, di tingkat nasional sedang diproses sistem pembelajaran MKWK yang sinergis. Artinya, sistem pembelajaran tidak hanya bertumpu pada problem based learning, tapi akan menjadi project based learning. Menurutnya, project based learning dapat terwujud dalam aksi-aksi sosial, seperti dalam program tematik Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau kegiatan workshop dengan tema gender.
Menyambung apa yang disampaikan Mustofa, Sri Yulita Pramulia Panani, salah satu tim inovasi MKWK Pendidikan Pancasila, mengungkapkan bahwa ide yang dilontarkan oleh LEM FIB berada dalam waktu yang tepat. Sebab, pada awal semester gasal 2021/2022 ini, tim MKWK Pendidikan Pancasila memiliki agenda evaluasi dan membuat inovasi pembelajaran untuk Rencana Program Kegiatan Pengajaran Semester (RPKPS) di semester berikutnya. “Pengarusutamaan gender ini akan kita elaborasi dengan isu Pancasila, agar menjadi satu kurikulum yang padu dan membawa kebaharuan pandangan mahasiswa terhadap kasus kekerasan seksual,” ujarnya.
Sebagai langkah selanjutnya, Mustofa dan Yulita sepakat untuk membawa hasil diskusi audiensi ini ke rapat tim inovasi MKWK dan bersedia untuk memberikan hasil rapatnya kepada LEM FIB. Harapannya, agar mereka dapat mengikuti perkembangan rekomendasinya itu. Selain itu, keduanya juga setuju untuk melibatkan LEM FIB atau mahasiswa yang memiliki minat terhadap isu pengarusutamaan gender dalam rapat atau diskusi bersama tim perumus MKWK. Yulita menandaskan, apabila di semester gasal ini belum terealisasi, maka pengawalan terhadap pengarusutamaan gender dalam materi MKWK Pendidikan Pancasila akan diwujudkan di semester berikutnya.
Penulis: Albertus Arioseto, Valentino Yovenky
Penyunting: Haris Setyawan
Ilustrator: Albertus Arioseto